- Pada bulan Mei-Juni 2004 kapal riset ekspedisi laut Ocean Xplorer (OceanX) Leg-2 melakukan penelitian di perairan sebelah barat Sumatera.
- Ofri Johan, seorang Peneliti Pusat Riset Konservasi Sumberdaya Laut dan Perairan Darat, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengikuti pelayaran ilmiah ini.
- Penelitiannya menjumpai jika karang-karang yang mengalami pemutihan karang (bleaching) berulang dalam periode beberapa dekade terakhir ini belum pulih seutuhnya.
- Eksplorasi bersama kapal OceanX, menjumpai satu jenis spesies baru yaitu Podabacia kunzmanni serta satu jenis karang baru lagi yang perlu tahapan identifikasi dengan bantuan ahli taksonomi
Penulis merasa bangga dapat bergabung dengan kapal riset OceanX di Leg-2 24 Mei-22 Juni 2024 untuk area wilayah Barat Sumatera yaitu dari Aceh hingga perairan Padang, Sumatera Barat. Tim ekspedisi terdiri dari peneliti BRIN dan OceanX, juga diikuti berbagai instansi seperti Pushidrosal, Yayasan Konservasi Indonesia, peneliti IPB dan UNHAS.
Bagi penulis, riset ini melanjutkan hasil penelitian sebelumnya di perairan Padang, Sumatera Barat. Dimana sejak tahun 1999, melalui Coral Reef Rehabilitation and Management Project (COREMAP), penulis mengembangkan titik-titik transek pengamatan terumbu karang permanen untuk melihat perubahan ekologis, baik penurunan dan pemulihan kondisi karang yang ada.
Pengamatan yang telah berlangsung lebih dari dua dekade ini pun telah dilanjutkan oleh kader peneliti-peneliti lain dan berlanjut tersebar di semua area dan instansi di Indonesia. Salah satu titik pengamatan itu berada di perairan Padang, Sumatera Barat, yang meliputi tiga area yaitu dekat, sedang dan pulau terluar yang jauh dengan daratan di perairan Padang.
Dengan pengamatan jangka panjang, maka para peneliti dapat memantau faktor-faktor dampak sedimentasi dan antropogenik lainnya, serta faktor-faktor alami penyebab seperti dampak peningkatan suhu, penyakit karang, dan predator karang.

Berulangnya karang yang terpapar bleaching
Kejadian karang mengalami bleaching (pemutihan) ini terjadi berulang kali, sejak adanya transek permanen terpantau pada tahun 1997, 2010, 2016 dan 2024.
Di tahun 1997, pemutihan karang di perairan barat Sumatera ini disebabkan oleh beragam faktor, termasuk akibat dampak kebakaran hutan yang menghambat cahaya matahari sampai ke perairan disebabkan oleh kabut kebakaran.
Kebakaran hutan menurut kalangan saintis juga menjadi penyumbang unsur Fe (besi) yang dapat memicu kesuburan perairan yang menyebakan blooming algae. Terbukti sebelum kejadian coral bleaching didahului oleh populasi alga yang berlimpah di luar batas normal.
Kejadian algae blooming dapat menurunkan oksigen dan menutupi penetrasi cahaya matahari yang dibutuhkan oleh karang. Pada saat malam hari, alga yang termasuk kelompok tumbuhan berubah menjadi sama-sama membutuhkan oksigen dengan hewan-hewan karang.
Selain perairan Padang, wilayah terdekat seperti perairan Mentawai di Sumatera Barat pernah dilaporkan tentang adanya kejadian blooming algae ini. Masyarakat Mentawai saat itu melaporkan adanya kejadian laut merah dan bercahaya pada malam dan pagi hari pada waktu yang sama kejadiannya di Perairan Padang.
Kekurangan oksigen ini meningkat dengan bertambahnya kedalaman laut, yang dapat berakibat fatal bagi karang. Kematian karena kekurangan oksigen bagi karang, jauh lebih mematikan dibandingkan dampak peningkatan suhu.
Sebagai contoh, berdasarkan data pada tahun 1998, tutupan karang dilaporkan 0% di perairan Padang. Sementara itu, kematian massal akibat peningkatan suhu umumnya masih menyisakan jenis-jenis karang yang tahan terhadap peningkatan suhu. Juga, area yang memiliki arus serta berombak menyebabkan peradukan oksigen dapat meredam dampak peningkatan suhu.
Berdasarkan sebuah presentasi di forum internasional yang pernah penulis ikuti, kejadian kematian karang akibat algae blooming ini pun ternyata juga terjadi di Vietnam.

Karang yang mengalami bleaching belum sepenuhnya pulih
Penulis menemukan bahwa karang yang mengalami bleaching belum pulih seutuhnya. Berdasarkan penelitian pada transek permanen pada tahun 2014, tutupan karang hidup 0% belum pulih seperti semula dalam kurun waktu 17 tahun. Pada tahun 2014, data tutupan tertinggi ditemukan 66%, yang masih dibawah 76% yang merupakan tutupan tertinggi sebelum kejadian coral bleaching di titik transek permanen Pulau Pieh.
Berikut faktor-faktor penyebabnya:
1. Indukan Karang
Pemulihan yang lambat ini berkorelasi dengan tidak adanya indukan karang yang ada di sekitar lokasi perairan dimana karang mengalami kematian. Pertumbuhan ini memerlukan larva dan recruitment baru dari wilayah terdekat, seperti Nias, Sumatera Utara.
Secara teoritis, jenis karang Acropora adalah jenis karang yang memiliki pertumbuhan tercepat. Dalam dua tahun karang ini bisa menghasilkan larva setelah berumur dua tahun.
Larva karang sendiri membutuhkan perjalanan panjang hingga ke lokasi terdekat hingga sampai ke perairan Padang. Pengamatan pada tahun 2001, -atau empat tahun setelah kejadian coral bleaching, karang di perairan ini belum dapat dijumpai, kecuali yang berukuran kurang dari 0,5 cm.
2. Substrat
Hal lain yang adalah faktor substrat keras tempat larva karang dapat menempel. Karang baru tidak bisa tumbuh pada karang mati yang belum stabil seperti patahan karang (rubble) yang mudah berpindah terbawa arus dan ombak.
Karena belum kokoh, sering dijumpai rubble yang bertumpuk di satu lokasi dan berpindah karena terbawa arus dan ombak, bahkan berpindah ke perairan lebih dalam dengan kemiringan tajam (drop off).
Hal ini menyebabkan karang baru yang sudah menempel akan rentan mati. Pada pengamatan menggunakan metode transek lintang (LIT) di tahun 2001 dan 2007, dijumpai ukuran karang yang masih kecil (<5 cm) pada kedalaman 10 meter, namun sudah mulai tampak pulih di kedalaman 3 meter.
3. Predator
Karang dalam kondisi proses pemulihan, tidak terlepas dari ancaman bintang laut mahkota berduri, atau Acanthaster plancii (Crown of Thorns-COT) yang menjadi predator karang.
Pengamatan eksplorasi yang dilakukan oleh penulis bersama kapal OceanX menjumpai dua lokasi yang diserang COT yaitu perairan Nias yang terhitung sekitar 30 individu dan perairan Padang satu individu di dalam satu area penyelaman 560 m2.
Berdasarkan referensi, maka kondisi normal populasi COT adalah jika ditemukan maksimal 10 individu COT per hektarnya. Secara alami, keberadaan COT diperlukan sebagai penjaga keseimbangan populasi secara alami. Namun, populasi COT yang melebihi ambang normal akan dapat mematikan karang secara massal.
Pada tahun 2016, dari perairan Padang COT yang berhasil dipindahkan dari terumbu karang sekitar 1.000 individu, hal ini juga dilaporkan pernah dilakukan di perairan Pulau Menjangan, Bali dan Raja Ampat.
Predator alami COT adalah terompet triton (Charonia tritonis) dan ikan napoleon wrasse (Cheilinus undulatus). Sepanjang survei ini, di sekitar 30 titik selam bersama OceanX, penulis belum menemukan kedua predator COT tersebut.
4. Penangkapan yang Merusak
Saat melakukan survey, peneliti masih kerap mendengar beberapa kali ledakan di saat menyelam, yang mengindikasikan masih digunakannya bahan peledak untuk menangkap ikan.
Di beberapa wilayah lain di Indonesia hal ini telah ditinggalkan. Seperti di Selat Dampier, Raja Ampat dan Kepulauan Seribu Jakarta. Hal ini tak lepas dari keberhasilan pelibatan masyarakat dalam pemanfaatan terumbu karang untuk wisata bahari seperti jasa penyelaman, resort dan penyedia jasa transportasi bagi penyelam.
Selain wisata bahari, nelayan juga sudah mulai diperkenalkan dengan budidaya rumput laut, lobster, kepiting, kerang hijau, ikan kerapu dan yang lainnya.

Simpulan: Pentingnya Riset dan Koleksi Karang
Kejadian kematian karang yang berulang kali, jelas memerlukan dokumentasi yang mencatat lengkap perihal jenis-jenis karang yang masih atau pernah ada di perairan barat Sumatera setelah kematian massal akibat kematian massal, serta coral bleaching, yang terjadi berulang-ulang kali.
Hal ini yang telah dicoba rintis sejak tahun 1996 oleh Fakultas Perikanan Bung Hatta, Padang yang hingga saat ini telah berhasil mengoleksi dan mengidentifikasi sekitar 800-an spesimen, yang berasal dari 163 jenis karang, 58 genera dari berbagai jenis karang hermatifik dan ahermatifik.
Diantaranya adalah 11 genus new record yang belum pernah dilaporkan keberadaannya di perairan Sumatera Barat dan satu jenis spesies baru yaitu Podabacia kunzmanni yang ditemukan pada eksplorasi bersama kapal OceanX, serta satu jenis karang lagi yang perlu tahapan identifikasi dengan bantuan ahli taksonomi.
*Dr. Ofri Johan, M.Si. Peneliti Pusat Riset Konservasi Sumberdaya Laut dan Perairan Darat, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Penulis mengucapkan terima kasih atas segala dukungan dari tim OceanX dan peneliti lain sehingga survei untuk mengungkap keanekaragaman biota hayati bawah laut ini dapat berjalan lancar.