- Hutan dan lahan gambut yang hilang di Ketapang, Kalimantan Barat, oleh operasi perusahaan hutan tanaman industri, PT Mayawana Persada, berdampak bagi masyarakat adat yang hidup di sekitarnya. Wilayah adat terganggu sampai bencana mengintai.
- Masyarakat banyak yang kehilangan sumber ekonomi. Kini, mereka sebagian bekerja serabutan tak terkecuali dirinya. Masyarakat bertahan hidup menjadi buruh tani hingga kuli bangunan.
- Tak hanya kesulitan hidup karena sumber ekonomi maupun sungai pangan hilang, masyarakat pun mulai merasakan terdampak bencana, seperti banjir berkepanjangan. Luapan banjir air sungai pasang makin sering datang, kadang bertahan sampai sebulan.
- Hari Kurniawan, Komisioner Komnas HAM mengatakan, perampasan lahan dan penggusuran hutan adat Masyarakat Dayak di Kalimantan Barat ini tidak dapat dibenarkan. Komnas HAM, berkomitmen memantau kasus itu.
Hutan dan lahan gambut yang tergerus di Simpang Hulu, Ketapang, Kalimantan Barat, oleh operasi perusahaan hutan tanaman industri, PT Mayawana Persada, berdampak bagi masyarakat adat yang hidup di sekitarnya. Wilayah adat terganggu sampai bencana mengintai.
Tarsisius Fendi, Kepala Adat Dusun Lelayang, Desa Kualam Hilir, Simpang Hulu, Ketapang, ingat betul ketika PT Mayawana Persada belum datang ke kampung mereka. Masyarakat hidup tentram dan bahagia mengandalkan pertanian di hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
“Penghasilan masyarakat dari sadap karet, petani, jual sayur dari ladang yang alami,” katanya kepada Mongabay di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Di kebun karet saja, dalam sehari masyarakat bisa hasilkan sekitar Rp200.000. Belum lagi lahan pertanian seperti sayur mayur, buah maupun padi.
“Sadap karet sehari bisa 25 kilogram dikalikan harga karet sekarang Rp8.000-an. Bisa Rp200.000-an sehari,” katanya..

Semua itu berubah saat Mayawana mulai ekspansi dan membuka hutan adat di Dusun Lelayang pada 2021. Masyarakat mulai kehilangan penghasilan karena hutan adat terampas perusahaan hutan tanaman industri ini.
“Mereka (masyarakat) kehilangan pekerjaan. Yang nyadap karet sekarang jadi kuli,” ucap Fendi.
Masyarakat banyak yang kehilangan sumber ekonomi. Kini, mereka sebagian bekerja serabutan tak terkecuali dirinya. Masyarakat bertahan hidup menjadi buruh tani hingga kuli bangunan yang hanya dibayar Rp60.000-an sehari.
“Saya sekarang gak tetap pekerjaannya. Dulu nyadap karet, sekarang lahan saya dirampas,” kata Fendi.
Dia kini buruh tani, kadang juga kuli bangunan. Kalau ada warga yang masih punya lahan dan perlu bantuan, katanya, akan memangilnya dan dapat upah. “Kalau ada pekerjaan lain kayak kuli bangunan saya kerjakan juga.”
Begitu juga istrinya juga jadi buruh tani untuk memenuhi keperluan hidup dan membiayai dua anak mereka.
“Dulu, penghasilan saya jual sayur seminggu Rp3 juta, itu belum termasuk sadap karet. Sekarang, jangankan jutaan ratusan ribu saja susah,” katanya.
Kalau kondisi terus berlanjut, katanya, kemiskinan di masyarakat bisa makin tinggi.

Bencana dan kriminalisasi
Tak hanya kesulitan hidup karena sumber ekonomi maupun sungai pangan hilang, masyarakat pun mulai merasakan terdampak bencana, seperti banjir berkepanjangan. Luapan banjir air sungai pasang makin sering datang, kadang bertahan sampai sebulan.
Dugaan masyarakat, kerusakan hutan dan lahan gambut makin memperparah kondisi lingkungan. Pemukiman masyarakat Desa Kualan Hilir terletak di sekitar Sungai Kualan.
“Aktivitas susah karena banjir satu meter. Sebelum Mayawana masuk banjir memang ada, tapi paling setahun sekali. Sekarang setiap bulan,” katanya.
Masyarakat Lelayang, hilang lahan begitu saja. Perusahaan menganggap, daerah itu kawasan hutan negara yang pemerintah berikan kepada perusahaan.
Konsesi ini juga menimbulkan konflik antara masyarakat dengan perusahaan, beberapa mereka mendapat kriminalisasi dan intimidasi. Setidaknya, ada empat kali kriminalisasi dialami masyarakat.
Pertama, pada 2021, Kepala Desa Sekucing Kualan ditangkap dan dipenjarakan selama 1,5 tahun atas tuduhan membakar lahan Mayawana. Padahal, saat itu kepala desa membuka ladang atau lahan akan jadi tempat bercocok tanam.
Kedua, pada 2022, Daniel Ariyanto, anak Patih Adat Desa Kualan Hilir, ditangkap dan masuk penjara enam bulan atas tuduhan melakukan pencabutan dan perusakan tanaman akasia perusahaan. Lahan itu sebelumnya punya Daniel yang diklaim Mayawana.
Ketiga, pada 2022 juga, Abel, Sekretaris Desa Kualan Hilir dilaporkan ke Polres Ketapang oleh Mayawana. Isi laporan menyatakan, Abel bersama-sama masyarakat Kualan Hilir demo di KM 18 menghentikan operasi Mayawana.
Keempat, Fendi bersama dua warga lain Agustus 2023 dipanggil Polda Kalbar untuk dimintai keterangan atas laporan Mayawana atas tuduhan perusakan.

Pada akhir April lalu, perwakilan masyarakat adat dari Kualan Hilir ini datang ke Jakarta. Mereka mendatangi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham). Mereka mengadu dugaan pelanggaran yang dilakukan perusahaan ini.
Mereka bersama koalisi yang terdiri Walhi Nasional, Walhi Kalimantan Barat (Kalbar), Satya Bumi, Link-Ar Borneo, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalbar, dan AMAN Ketapang Utara. Ada juga, LBH Pontianak, Greenpeace Indonesia, Forest Watch Indonesia, Pantau Gambut dan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK).
Hendrikus Adam, Direktur Eksekutif Walhi Kalbar mengatakan, upaya masyarakat beserta koalisi sempat membuahkan hasil. KLHK menerbitkan surat penghentian aktivitas penebangan logged over area (LOA) pada areal kerja perizinan berusaha pemanfaatan hutan hutan tanaman Mayawana lewat surat tertanggal 28 Maret 2024.
Dalam surat itu, KLHK juga memerintahkan Mayawana melakukan pemulihan lingkungan terhadap hutan yang gundul karena penebangan. Namun, katanya, perintah ini tak diindahkan, perusahaan tetap menjalankan aktivitas.
“Situasi di lapangan, ternyata ekspansi terus dilakukan,” kata Adam.
Dia meminta, KLHK menindak tegas dengan mencabut izin perusahaan ini. Hutan yang tergusur, katanya, merupakan merupakan lahan gambut lindung, rumah satwa langka dan sumber kehidupan masyarakat.
“Kehadiran Mayawana berdampak pada terabaikannya hak-hak masyarakat.”
Hingga kini, banyak warga kehilangan lahan begitu saja. Kondisi makin mengintimidasi warga kala ada aparat di konsesi. Masyarakat pun, katanya, mendatangi Kompolnas untuk meminta aparat bersikap profesional dan imparsial.
“Bertindak sesuai Undang-undang kepolisian, yakni menjadi pelayan dan pelindung masyarakat bukan justru membuat takut.”
Mongabay bersama tim kolaborasi berupaya mengkonfirmasi Mayawana. Pada 27 April, daftar pertanyaan dikirim pada Ardian Santoso, Humas Mayawana di Pontianak.
Secara berturut-turut mulai dari 30 April, 1 Mei dan 3 Mei 2024, tim kolaborasi menanyakan jawaban konfirmasi pada Ardian, namun tidak ada tanggapan.
Pada 4 Mei 2024, anggota tim bertemu Ardian dan kembali menanyakan perihal konfirmasi. Saat itu, dia meminta waktu hingga 6 Mei 2024. Hingga artikel ini terbit, belum ada jawaban.
Hari Kurniawan, Komisioner Komnas HAM mengatakan, perampasan lahan dan penggusuran hutan adat Masyarakat Dayak di Kalimantan Barat ini tidak dapat dibenarkan. Komnas HAM, berkomitmen memantau kasus itu.
Cak Wawa, sapaan akrabnya mengatakan, Masyarakat Adat Dayak sudah menempati daerah itu sejak hampir 50 tahun lalu. Sebelum itu, masyarakat hidup berpindah-pindah.
“Kemudian dengan datangnya Mayawana kehidupan mereka terganggu. Ini tentu negara harus hadir untuk memperhatikan hak mereka.”

*******
Kala Perusahaan Kayu Babat Hutan Alam dan Gambut Ancam Orangutan Kalimantan