- Perusahaan tambang tembaga PT Gemilang Limpah Internusa (GLI) di Pacitan, Jawa Timur, terus teroperasi meskipun masyarakat mengeluhkan lahan pertanian tercemar hingga tanaman rusak dan gagal panen. Warga sudah melaporkan dan pihak berwenang sudah turun ke lapangan tetapi perusahaan masih beroperasi. Mereka mendesak perusahaan setop operasi.
- Agus Juliawan, Koordinator Pokmas Peduli Pacitan, mengatakan, telah mendatangi Kantor Dinas Lingkungan Hidup untuk menanyakan perkembangan terbaru terkait kasus ini. Dinas Lingkungan Hidup memastikan proses hukum terus berjalan. Tengah bulan ini tim gabungan akan kembali turun lapangan.
- Sebelumnya, Balai Gakkum telah menyampaikan sejumlah rekomendasi menyusul laporan dugaan pencemaran oleh warga terhadap aktivitas GLI. Rekomendasi diberikan kepada sejumlah pihak pada tengah Mei lalu. Termasuk Pemerintah Pacitan yang diminta melakukan pendataan luasan lahan terdampak berikut nilai kerugiannya.
- Wahyu Eka Setiawan, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, mengatakan, kasus dugaan pencemaran GLI sudah begitu terang benderang. Seyogyanya, perusahaan berhenti beroperasi sembari menunggu proses penyelidikan. Dengan begitu, para petani sekitar tidak terus menerima dampak buruk dari kegiatan perusahaan ini.
Perusahaan tambang tembaga PT Gemilang Limpah Internusa (GLI) di Pacitan, Jawa Timur, terus teroperasi meskipun masyarakat mengeluhkan lahan pertanian tercemar hingga tanaman rusak dan gagal panen. Warga sudah melaporkan dan pihak berwenang sudah turun ke lapangan tetapi perusahaan masih beroperasi. Masyarakat mendesak perusahaan setop operasi.
Informasinya, Balai Pengamanan Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terus mendalami dugaan pencemaran tambang tembaga milik PT. Gemilang Limpah Internusa (GLI) di Pacitan, Jawa Timur. Tengah bulan ini tim gabungan dari Gakkum KLHK dijadwalkan datang ke lokasi guna mencari bukti tambahan.
Agus Juliawan, Koordinator Pokmas Peduli Pacitan, mengatakan, telah mendatangi Kantor Dinas Lingkungan Hidup untuk menanyakan perkembangan terbaru terkait kasus ini. “Dinas memastikan proses hukum terus berjalan. Tengah bulan ini tim gabungan akan kembali turun,” katanya.
Sebelumnya, Balai Gakkum telah menyampaikan sejumlah rekomendasi menyusul laporan dugaan pencemaran oleh warga terhadap aktivitas GLI. Rekomendasi diberikan kepada sejumlah pihak pada tengah Mei lalu. Termasuk Pemerintah Pacitan yang diminta melakukan pendataan luasan lahan terdampak berikut nilai kerugiannya.
Cici Roudlatul Jannah, Kepala Dinas Lingkungan Hidup, mengatakan, masing-masing pihak mendapat rekomendasi berbeda. Khusus Pemerintah Pacitan, rekomendasi berkaitan penanganan terhadap petani terdampak.
“Jadi, rekomendasi kepada kami adalah bupati diminta mendata nilai kerugian para petani. Kalau ke pihak lain saya kurang tahu karena rekomendasinya berbeda-beda,” kata Cici saat ditemui Mongabay, akhir Mei lalu.

Cici tak merinci berapa total kerugian yang dialami para petani. Yang pasti, hasil pendataan itu nanti akan diserahkan ke Gakkum guna mediasi antara perusahaan dan petani.
Bagi Cici, rekomendasi itu kian memperkuat dugaan pencemaran dari kegiatan GLI, sebagaimana laporan warga. Terlebih, dari uji sampel oleh Balai Gakkum sebelumnya, beberapa parameter diketahui melebihi baku mutu.
Dia memastikan, penggantian ganti rugi terhadap petani tidak serta merta menghapus proses hukum yang tengah berjalan. Menurut dia, sampai saat ini, proses itu terus berjalan dan sedang penanganan Balai Gakkum. “Tetap. Semua masih proses. Kami juga berharap supaya kasus ini bisa segera tuntas,” katanya.
Persoalan GLI sejatinya sudah berlangsung lama, bahkan sejak awal perusahaan asal Tiongkok ini beroperasi. Belakangan, desakan penutupan kembali mencuat menyusul kerusakan lahan-lahan pertanian warga karena tercemar limbah tambang.

Amdal tak beres
Sebelumnya, pertemuan juga digelar di Desa Cokrokembang, Kecamatan Ngadirojo yang merupakan salah satu area terdampak kegiatan GLI. Selain kepala desa, pertemuan itu juga dihadiri perwakilan perusahaan, kepolisian, Pemerintah dan DPRD Pacitan.
Dalam pertemuan itu, Juli Agus Setiawan, Koordinator Pengurus Kelompok Masyarakat Peduli Sesama Pacitan, mempertanyakan kajian analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) GLI. Menurut dia, sangat mungkin dokumen amdal tambang yang beroperasi sejak 2008 itu tidak beres hingga operasi perusahaan mencemari lahan-lahan pertanian warga.
“Hasil lab internal perusahaan juga menunjukkan data yang mencengangkan. Secara riil, juga bisa kita lihat bagaimana kondisi sungai dan juga lahan-lahan pertanian warga. Secara kasat mata, bagaimana pengelolaan limbah padatnya juga sangat memprihatinkan,” katanya.
Dia sudah beberapa kali protes kepada perusahaan. Namun, janji untuk perbaikan tata kelola limbah tak kunjung terwujud. Alih-alih, material berbahaya dan beracun itu dikelola seadanya hingga mengkontaminasi irigasi dan menyebabkan para petani gagal panen.
“Di terowongan lama yang tidak terpakai itu, dibiarkan begitu saja hingga limbah masuk ke sungai, tidak masuk di IPAL. Dampaknya luar biasa ketika musiam hujan, masuk ke sawah.”
Juli pun mendesak aktivitas pertambangan ditutup sementara sembari menunggu proses hukum yang tengah berjalan.
Tuntutan itu, katanya, juga sejalan dengan hasil kesepakatan pada 2018 yang menjadi dasar pembukaan kembali GLI setelah sebelumnya ditutup. Pada poin empat kesepakatan itu dinyatakan, bila terjadi pencemaran pada tarap mengkhawatirkan, kegiatan GLI harus dihentikan.
“Jadi, pada 2014 itu sempat ditutup atas rekomendasi dari Dinas Lingkungan Hidup Jawa Timur. Berdasar kesepakatan 2018, kemudian dibuka kembali. Saat ini, saya berharap kesepakatan itu di-review kembali atau dicabut berdasarkan situasi terbaru karena pencemaran yang terjadi sekarang sudah sangat mengkhawatirkan”.

Sebelumnya, kata Juli, tim Balai Gakkum sudah mendatangi lokasi dan memasang plang menandai bahwa site tambang sedang dalam pengawasan. Sayangnya, pemasangan papan tidak membawa konsekuensi apapun karena perusahaan tetap beroperasi seperti biasa.
Bagi Juli, melihat begitu parahnya dampak di lapangan, sangat mungkin operasi GLI cacat sejak awal. Mulai dari proses penyusunan dokumen amdal hingga izin operasi yang berlaku mundur, terbit 2010 namun berlaku sejak 2008.
Dalam industri pertambangan, dokumen amdal berisikan analisis mengenai dampak dari setiap tahapan kegiatan pertambangan terhadap lingkungan. Karena itu, dokumen ini harus menjawab dua tujuan pokok.
Pertama, operasional pertambangan harus memastikan biaya lingkungan, sosial dan kesehatan. Kedua, memastikan upaya pengendalian, pengelolaan, pemantauan, serta langkah-langkah perlindungan secara terintegrasi.
“Amdal pertambangan harus dapat menjamin bahwa suatu usaha atau kegiatan pertambangan dapat memanfaatkan mengelola sumber daya alam secara efisien, meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif terhadap lingkungan hidup. Yang kita lihat ini kan tidak,” kata Juli.
Mongabay berusaha meminta penjelasan terkait perkembangan penanganan kasus ini kepada Balai Gakkum wilayah Jawa Bali dan Nusa Tenggara (Jabalnusra). Saat dihubungi melalui nomor ponselnya, Kepala Balai Gakkum Jabalnusra, Taqiyyudin, tak merespon.

Sugianto, Penanggung Jawab Lapangan GLI, yang ditemui seusai pertemuan menolak permintaan warga untuk menutup kegiatan perusahaan. Dia bilang, ditutup atau tidak, potensi pencemaran tetap terjadi. “Tidak ada pengaruhnya. Sama saja (dampaknya) mau berhenti atau tidak.”
Namun,dia tak membantah bila pengelolaan limbah GLI selama ini tak beres. Karena itu, saat ini, mereka tengah menggandeng pihak ketiga (konsultan) asal Yogyakarta untuk kajian sekaligus memperbaiki Instalasi pengolahan air limbah (IPAL) perusahaan.
“Saya melihat memang ada beberapa yang perlu diperbaiki karena sebelumnya tidak ada penanganan spesifik. Inilah sekarang kita melibatkan pihak ketiga yang lebih kompeten untuk menangani permasalahan ini, karena basic kami di pertambangan.”
Sugi bilang, saat ini konsultan masih menyusun laporan hasil pemantauan semester pertama. Hasil laporan itu yang akan dipakai sebagai dasar kajian penanganan limbah tambah. Perusahaan juga tengah mengajukan persetujuan teknis pembuangan dan pemanfaatan air.
“Jadi, semua masih dalam proses., termasuk penyusunsn detail engineering design IPAL-nya,” katanya.
Terkait proses hukum yang tengah berjalan, dia menyerahkan sepenuhnya kepada penyidik di Gakkum. Dia memastikan akan mematuhi apapun konsekuensi dari hasil penyelidikan nanti.
“Prinsipnya kami siam melakukan apapun. Perusahaan perlu bertanggung jawab atas semua dampak yang terjadi. Kami siap dengan apapun keputusan Gakkum nanti.”

Wahyu Eka Setiawan, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, menyoroti langkah Gakkum yang dinilai tidak serius menangani kasus ini. Langkah Gakkum, yang membiarkan perusahaan beroperasi dinilai mencederai para petani.
“Gakkum memang memasang plang di lokasi. Tetapi, dengan tidak menutup kegiatan perusahaan, itu sama saja dengan membiarkan pencemaran terus terjadi. Dimana-mana selalu seperti ini, tidak pernah jelas penanganannya,” kata Wahyu.
Dengan kegiatan perusahaan jalan terus, kata Wahyu, lahan petani yang terdampak diperkirakan terus meluas.
Bagi Wahyu, kasus dugaan pencemaran GLI sudah begitu terang benderang. Seyogyanya, perusahaan berhenti beroperasi sembari menunggu proses penyelidikan. Dengan begitu, para petani sekitar tidak terus menerima dampak buruk dari kegiatan perusahaan ini.
Merujuk Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, ada dua langkah hukum bisa ditempuh untuk menjerat perusahaan ini, pidana dan perdata.
Pidana, kata Wahyu, untuk meminta pertanggungjawaban secara pidana atas dugaan pelanggaran lingkungan perusahaan. Terutama berkaitan dengan kerusakan lingkungan sekitar karena pencemaran. Untuk perdata, katanya, dalam pemulihan sekaligus mengganti kerugian para petani.
Wahyu menilai, dugaan pencemaran GLI terhadap lahan pertanian ini sebagai kasus besar. Para petani menggantungkan hidup dari lahan pertanian mereka. Dia nilai, respons aparat penegak hukum seolah tidak serius.=
“Pelanggaran itu sudah sangat jelas karena dampak di lapangan sudah begitu kelihatan. Pemerintah punya otoritas melakukan dua gugatan sekaligus. Seharusnya pemerintah jalankan Undang-undang ini.”
******
Cemari Lahan Pertanian, Siapa Pemilik Tambang Tembaga di Pacitan?