- Yogi Purdadi Bin Saman, perantara penjual cula badak jawa menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Negeri Pandeglang, Banten, Selasa (16/7/2024). Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Pandeglang menuntut Yogi hukuman 4,5 tahun penjara dengan denda Rp100 juta atau diganti kurungan penjara 3 bulan.
- Jaksa menilai, Yogi secara sah dan meyakinkan melakukan tindakan, memperniagakan, menyimpan, atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi. Atau, barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut, atau mengeluarkanya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain dalam atau di luar Indonesia.
- Di ruangan lain PN Pandeglang, pembeli cula badak Jawa, Liem Hoo Kwan Willy alias Willy menjalani sidang perdana. Willy didakwa melanggar Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya.
- Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Marsya Handayani, menyoroti penegakan hukum yang belum memasukkan variabel kerugian lingkungan dalam dakwaan. Situasi ini merugikan keberlanjutan lingkungan, karena telah lebih dulu dirusak.
Sidang kasus perdagangan cula badak jawa hasil perburuan di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), kembali digelar.
Yogi Purdadi Bin Saman, perantara penjual cula badak jawa menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Negeri Pandeglang, Banten, Selasa (16/7/2024). Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Pandeglang menuntut terdakwa hukuman 4,5 tahun penjara dan denda Rp100 juta atau diganti kurungan penjara 3 bulan.
“Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa Yogi Purwadi, masa hukuman dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara, dengan perintah tetap ditahan,” terang JPU Vera Farianti Havilala, saat membacakan amar tuntutan.
Jaksa menilai, terdakwa secara sah dan meyakinkan melakukan tindakan, memperniagakan, menyimpan, atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi. Atau, barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut, atau mengeluarkanya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain dalam atau di luar Indonesia.
Menurut Vera, terdakwa terbukti melanggar Pasal 40 ayat (2) Jo Pasal 21 ayat (2) huruf d Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Hal memberatkan terdakwa adalah merugikan negara dan pihak balai TNUK.
Baca: Ada Indikasi Oknum Orang Dalam Terlibat Perburuan Badak di Ujung Kulon
Seperti pengakuannya, Yogi menjual cula badak ke seorang warga negara China empat kali. Hubungan itu, dia dapatkan melalui relasi ayahnya bernama Saman yang lebih dulu mengenal almarhum Erik, rekan Liem Hoo Kwan Willy alias Willy.
Dari Willy inilah Yogi dipertemukan dengan Ai. Nama Ai terungkap pada sidang sebelumnya, pasca-majelis hakim menanyakan kunjungannya ke rumah Willy. Dia mengaku bertransaksi cula badak itu kepada seseorang bernama Ai.
Menurut keterangan Yogi, hubungan Ai dengan Willy adalah teman. Willy punya peran penting sebagai fasilitator. Selama di Indonesia, diketahui Ai mengontrak kamar di rumah Willy.
Dalam pergerakannya, Yogi selalu datang ke rumah Willy. Pada 2020, pola ini juga dilakukan ayahnya Yogi melalui Erik ke Willy. Ini menjadi titik awal Yogi berhubungan dengan Willy dan Ai.
Di tahun tersebut, tepatnya April, terjadi transaksi cula badak senilai Rp260 juta. Desember, Yogi bersama Erik kembali melakukan transaksi dengan nominal lebih tinggi, yakni Rp315 juta.
“Uang tunai diserahkan kepada Erik dan Yogi, langsung dari Sunendi. Yogi mendapat bagian dari Sunendi sebesar Rp5 juta,” kata Vera.
Transaski ketiga kembali dilakukan. Harga cula disepakati Rp275 juta, awal Desember 2021. Transaksi paling besar terungkap pada Agustus 2022, seharga Rp525 juta. Terakhir, transaksi terjadi pada Desember 2022 seharga Rp200 juta.
Yogi mengaku, menjadi perantara penjual cula badak hasil perburuan empat kali. Dia mengatakan, dua cula sebelumnya dijual oleh bapaknya melalui Erik.
Meneruskan usaha bapaknya, Yogi mendapatkan keuntungan Rp20 juta dari keseluruhan transaksi. Adapun “jatah” dari penjualan itu dilakukan secara cash dan transfer.
Baca juga: 26 Badak Jawa Mati Diburu, Pengamanan Ujung Kulon Lemah?
Dalam persidangan itu, majelis hakim yang diketuai Joni Mauliddin Saputra, bertanya kepada terdakwa setelah mendengar amar tuntutan yang dibacakan JPU. Joni menawarkan Yogi perihal pembelaannya. Hal yang meringkan tuntutan adalah terdakwa koperatif serta mengakui perbuatannya.
Dengan baju tahanan dan sandal jepit merah, Yogi banyak tertunduk. Tubuhnya lunglai. Suaranya samar, ketika menyampaikan permintaan ke majelis hakim terkait hukumannya.
“Saya mohon yang mulia majelis hakim membebaskan saya, apabila dianggap terjerat melanggar hukum, saya mohon jatuhkan hukuman seringan-ringannya. Saya sebagai tulang punggung keluarga harus memberi nafkah keluarga dan membiayai anak-anak,” ucapnya.
Yogi yang berprofesi sebagai penjual lukisan itu berdalih menjadi korban. Dia beralasan tidak mengetahui bahwa cula badak tersebut hasil perburuan di TNUK.
“Jika saya tahu itu hasil perburuan, sudah pasti akan saya tolak. Saya tidak akan menjadi perantara,” imbuhnya.
Sidang perdana si bandar
Di ruangan lain Pengadilan Negeri Pandeglang, pembeli cula badak Jawa, Liem Hoo Kwan Willy alias Willy menjalani sidang perdana. Willy didakwa melanggar Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya.
“Bahwa terdakwa sudah beberapa kali terlibat langsung maupun tidak atau turut serta dalam hal memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi antara saudara Erik dan Yogi Purwadi terkait jual beli cula badak,” ujar JPU Kejari Pandeglang, Abrian Rahmat Fatahillah.
Jaksa mengungkapkan bahwa Willy telah melakukan transaksi pembelian cula badak hasil perburuan sejak 2020 sampai 2022.
Willy ditangkap polisi pada Rabu (24/4/2024) di Jakarta Utara, sekitar pukul 01.00 WIB. Saat diamankan, ditemukan bukti percakapan sekaligus transaksi penjualan cula badak antara Yogi dengan Willy.
“Tiga lembar tangkapan layar percakapan WhatsApp antara terdakwa dengan Yogi mengenai transaksi jual beli cula badak, diakui semua miliknya,” sebut jaksa.
Sidang perdana ini berjalan kurang dari 40 menit. Terlihat juga Sunendi yang dihadirkan, dengan tangan diborgol. Terdakwa yang sudah divonis 12 tahun penjara itu duduk di area meja tamu. Mongabay belum berhasil mengkonfirmasi ihwal kedatangannya di persidangan.
Hakim anggota Pandji Answinartha, menanyakan hasil pembacaan dakwaan kepada terdakwa. Willy mengatakan, tidak terima dan berencana mengajukan eksepsi melalui pengacaranya.
Hukum yang adil
Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Marsya Handayani, menyoroti penegakan hukum yang belum memasukkan variabel kerugian lingkungan dalam dakwaan.
Situasi ini jelas merugikan keberlanjutan lingkungan, karena telah lebih dulu dirusak. Sehingga, tidak bisa memberikan keadilan seutuhnya pada ekositem yang hilang, melainkan hanya berupa penghukuman kepada pelaku.
Denda yang dituntut pun bukan untuk mengganti kerugian akibat tindak pidana. Denda itu bersifat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang oleh kejaksaan dapat digunakan nantinya, ketika telah masuk kas negara terlebih dahulu.
“Rasa-rasanya memang ada yang janggal. Kejahatan konservasi sedemikian membahayakan dan merusak tatanan ekosistem, bahkan tak jarang melibatkan transaksi begitu besar, tetapi justru korbannya baik spesies/habitat-lingkungan/ekosistem, tidak mendapatkan apa-apa. Bahkan, pemulihan juga tidak jelas,” ujar Marsya, yang juga Dosen Hukum Universitas Indonesia, Rabu (17/7/2024).
Ini berbeda dengan apa yang diatur dalam undang-undang lingkungan di luar negeri. Katanya, sanksi pidana tambahan bisa berupa perbaikan akibat tindak pidana atau pidana pemulihan. Biasanya, jaksa bisa menuntut tindakan pemulihan terhadap pelaku dan hakim bisa menjatuhkan sanksi tersebut.
Akan tetapi, UU Konservasi 5/1990 tidak memiliki sanksi tersebut. Menurutnya, yang bisa dilakukan saat ini adalah mengkombinasikan tuntutan pidana dan gugatan perdata lingkungan, untuk kerusakan akibat kejahatan konservasi.
Contoh baru-baru ini adalah penyelundupan kaktus di Italia. Penyelundup sedang diadili dalam sistem peradilan pidana Italia dan ada organisasi lingkungan yang menggugat pelaku untuk mengganti kerugian lingkungan, akibat ulahnya itu.
“Gugatan seperti ini berpeluang dilakukan di Indonesia, karena mekanisme hukumnya tersedia. Untuk kasus badak bisa minta pemulihan habitat, agar individu yang hidup bisa lebih sejahtera, berkembang biak, dan meningkat populasinya,” pungkasnya.