- Melati dan Amran, nelayan dari Tanjung Gundap, Batam berjuang mempertahankan hidup di tengah kerusakan pesisir. Mereka kini harus melakukan pekerjaan tambahan karena hasil tangkapan laut semakin berkurang.
- Reklamasi hutan mangrove dan pencemaran laut di Batam telah mengakibatkan penurunan drastis kualitas air dan hilangnya habitat laut. Hal ini berdampak langsung pada pendapatan nelayan tradisional yang semakin menurun. Bahkan tidak bisa untuk memenuhi kebutuhan pokok.
- Khodijah Ismail, akademisi Ilmu Lingkungan dan Kelautan Universitas Maritim Raja Ali Haji mengatakan pentingnya mangrove bagi pesisir untuk keseimbangan ekosistem penahan air laut. Jika ekosistem tersebut hilang, maka sumber daya alam akan hilang, bahkan masyarakat akan kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian.
- Menurut data, 50% dari 18.524 hektar hutan mangrove di Batam telah rusak akibat alih fungsi menjadi perumahan. Dampaknya terjadi penurunan keanekaragaman hayati dan gangguan keseimbangan ekosistem laut.
Tangan Melati sibuk membersihkan ikan bilis sambil duduk bersila menghadap laut. Sisi kanannya, ada potongan nanas yang siap diolah. Sore harinya, ikan bilis akan menjadi peyek dan nanas akan menjadi kue nastar. Beberapa diantaranya sudah tertata rapi di sudut rumah Melati dan siap untuk dijual.
“Ini untuk menyambung hidup,” ujar Melati, nelayan perempuan Kampung Tua, Pulau Batam, Kepulauan Riau saat ditemui Maret lalu. Rutinitas tambahan ini dilakukannya dalam satu tahun terakhir.
Melati biasanya melaut sore hari, berangkat pukul 3 sore dan pulang pukul 8 malam. Dia biasa mencari ikan, kepiting hingga udang. “Kami tinggal di sini sudah turun temurun, sejak dulu nelayan sudah ada,” ujarnya.
Baca juga: Sedimentasi di Pesisir Karimun, Kepulauan Riau Mengancam Nelayan
Tinggal di pesisir Tanjung Gundap, keluarga Melati menggantungkan hidupnya pada laut dan mangrove. Tapi kian hari, tangkapannya semakin sulit. Cuaca kian tak menentu, pencemaran air laut dan reklamasi di hutan mangrove membuat pendapatan kian menurun. Puncaknya saat 2023, katanya, sampah perumahan, limbah pabrik, dan penimbunan mangrove membuat air laut menjadi keruh dan berbusa. Ikan, kepiting dan udang mati.
Biasanya dalam sekali melaut, Melati bisa mendapatkan dua kilogram ikan. Kini, untuk mendapatkan setengah kilogram saja sudah susah. Pergi melaut pun semakin jauh. “Jika hasil tangkapan begini terus, nelayan terpaksa mencari pekerjaan tambahan di darat.”
Sejak pertengahan Maret, Amran, suaminya tak pergi melaut karena gelombang tinggi. Ini diperparah dengan kualitas air yang keruh akibat pencemaran.
“Saya melaut, lihat musim. Kalau sepi (ikan), saya gantung kapal. Akhir-akhir ini saya tidak (lagi) rutin melaut, lebih sering bantu istri jualan. Kalau cuma mengharapkan kerja laut aja gak cukup. Anak-anak butuh sekolah, kuliah,” ujarnya.
Baca juga: Hutan Mangrove Terkikis, Nasib Nelayan Pesisir Batam Mencekik
Kerusakan Pesisir dan Hilangnya Mangrove
Dalam dua tahun terakhir, alih fungsi hutan mangrove menjadi perumahan menjadi permasalahan yang kian masif di Batam, Kepulauan Riau. “Penimbunan mangrove di Sagulung dan Tembesi, sedimentasinya sampai ke Tanjung Gundap. Sedimentasinya menyebabkan kotornya laut. Biota lautnya berkurang,” ujar Hendrik Hermawan, pendiri Akar Bhumi Indonesia kepada Mongabay.
Berdasarkan data Badan Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Sei Jang Duriangkang, luas hutan mangrove di Batam pada 2021 mencapai 18.524 hektar. Data Akar Bhumi Indonesia menyebut, 50% luasan tersebut dalam kondisi rusak.
Dampaknya, ruang tangkap nelayan semakin sempit. Parahnya lagi, kata Hendrik, proyek-proyek konstruksi yang mengabaikan dampak lingkungan membuat nelayan harus berpindah-pindah dan tidak punya wilayah tangkapan yang pasti.
Hendrik juga mengatakan, arus pembuangan limbah rumah tangga dari perumahan pun turun mengalir ke laut yang meningkatkan pencemaran dan kualitas air kian buruk. “Beberapa jenis ikan mulai menghilang, ikan-ikan yang dulu mudah didapat semakin sulit ditemukan,” ujarnya.
Khodijah Ismail, akademisi Ilmu Lingkungan dan Kelautan Universitas Maritim Raja Ali Haji menyebutkan reklamasi yang ada di pesisir Tembesi—yang menjadi bagian dari Tanjung Gundap menyebabkan penurunan luas hutan mangrove yang signifikan. “Luas mangrove berkurang akan berdampak pada habitat yang ada di sekitar ekosistem laut, kepiting, ikan, buaya, ular. Akan terjadi penurunan keanekaragaman hayati dan ekosistem tidak seimbang,” ujarnya.
Tak hanya itu, Khodijah juga mengatakan kerusakan ini bisa berdampak pada masyarakat. Tak hanya pada pendapatan nelayan, tapi meningkatnya terjadi abrasi, erosi dan instusi air laut naik karena limbah industri.
“Harusnya mangrove dipertahankan untuk keseimbangan ekosistem penahan air laut. Masyarakat akan kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian,” ujarnya.
Dia mendesak adanya transparansi dalam proses reklamasi mangrove di pesisir Batam dan penegakan hukum bagi yang melanggar. Tanpa adanya AMDAL, katanya bisa meningkatkan kerusakan yang lebih parah. “Kalau mangrovenya dipertahankan bisa menguntungkan masyarakat, harus transparasi agar tidak menimbulkan konflik, dan masalah lingkungan dikemudian hari,” jelas Khodijah.
Saat dikonfirmasi pada Dinas Perikanan Kota Batam terkait kondisi nelayan, pihaknya lebih memaparkan pada kebijakan kelompok usaha bersama. “Memberikan bimbingan agar sumber daya manusia mampu mengelola hasil tangkapan yang mereka peroleh serta dapat mengatur pendapatan hasil laut yang tidak tentu, untuk simpanan jangka panjang sampai para nelayan dapat kembali melaut,” ujar Yudi Admajianto, Kepala Dinas Perikanan Kota Batam.
Amran dan Melati, hanya satu keluarga nelayan di Kampung Tua yang masih menggantungkan hidupnya pada laut. Kini, kata Amran banyak nelayan yang mencari pekerjaan tambahan seperti kerja serabutan. “Tidak adanya jaminan dan pendapatan pasti yang membuat profesi nelayan mulai ditinggali dan tidak diwariskan,” ujarnya.
Mereka berharap pemerintah lebih serius dalam menanggapi kasus kerusakan lingkungan di pesisir Batam. “Agar nasib nelayan tradisional tidak mati tergerus kemajuan jaman,” pungkasnya. (***)
Baca juga: Hutan Mangrove Terus Tebabat di Batam
*Khansa Maritza merupakan mahasiswi Politeknik Negeri Batam dan tergabung dalam pers mahasiswa Paradigma. Khansa tertarik pada bidang jurnalistik sejak tahun 2023. Dia menjadi salah satu penerima fellowship pelatihan menulis Into the Climate Stories: Fight for the Future di Batam pada Maret 2024.