- Sebanyak 40-an pelajar SD sampai SMA mengikuti program Detektif Sungai yang diselenggarakan Ecoton saat mengisi liburan. Mereka dilibatkan dalam penelitian mikroplastik di udara dan di sungai.
- Identifikasi mikroplastik di udara menggunakan drone yang dimodifikasi menangkap mikroplastik di udara menjangkau ketinggian hingga 20 meter..
- Mikroplastik di udara berasal dari abrasi ban kendaraan. pembuangan produk plastik, proses industri plastik, dan degradasi material plastik di lingkungan. Masalah utama mikroplastik di udara berasal dari pembakaran sampah plastik.
- Konsentrasi mikroplastik di udara menimbulkan risiko kesehatan, seperti pembengkakan dan kerusakan pada tenggorokan dan jaringan paru-paru, sehingga meningkatkan risiko terkena emfisema dan kanker paru-paru
Tangan mungil Madjid Panjalu, siswa Kelas 4 Sekolah Dasar (SD) Sekolah Alam Ramadhani, Kelurahan Mojoroto, Kota Kediri, Jawa Timur, cekatan memegang Domik (Drone Mikroplastik). Sebuah drone yang dimodifikasi untuk mengidentifikasi mikroplastik atau remahan plastik yang berukuran kecil kurang dari lima milimeter. Di bagian kaki drone, dipasang cawan petri untuk menangkap mikroplastik di udara.
Drone terbang di ketinggian 20 meter, selama 20 menit. Madjid melepas cawan petri yang menangkap mikroplastik diteliti dengan mikroskop. Dengan teliti, Madjid menyimak penjelasan peneliti Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) tentang mikroplastik. Kegiatan ini merupakan bagian dari program detektif sungai yang dilangsungkan mengisi libur sekolah.
Sebanyak 40-an pelajar mulai siswa SD sampai SMA dilibatkan dalam penelitian mikroplastik di udara dan di sungai. Masing-masing dibagi dalam empat kelompok dan mereka melakukan beragam aktivitas meneliti mikroplastik. Madjid mengaku senang, lantaran dilibatkan langsung meneliti di lapangan. “Senang banget. Seru, lihat hewan sungai dengan kaca pembesar,” katanya.
Selain berpetualang di sungai, juga mendapatkan pengetahuan baru tentang mikroplastik yang tak pernah diperoleh di bangku sekolah. Mereka juga turun ke sungai Tedak, membawa jaring, wadah sampel dan buku panduan jenis makrozoobentos yakni organisme yang dijadikan indikator biologi kesehatan sungai. Organisme ini sensitif terhadap perubahan lingkungan.
“Hasil skoring, sungai Tedak tercemar sedang,” ujarnya. Di sungai, ia juga menemukan aneka biota sungai seperti udang, cacing dan keong. Atas kondisi sungai yang tercemar, Madjid mengajak teman sebayanya untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Mulai membawa tumbler untuk wadah air minum dan membawa kantung guna ulang.
Baca : Ekspedisi Sungai Nusantara, Ecoton Kirim Pesan Bahaya Pencemaran

Peneliti mikroplastik ECOTON Rafika Aprilianti menjelaskan program Detektif Sungai merupakan bagian pendidikan lingkungan sejak dini. Detektif Sungai berlangsung sejak 10 tahun lalu. Mereka belajar di sungai, mengenal makrozoobentos dan sungai. “Juga mengidentikasi mikroplastik,” katanya.
Sedangkan penelitian mikroplastik di udara dikerjakan Ecoton sejak dua tahun lalu. Awalnya, menggunakan alat sederhana berupa cawan petri yang dilengkapi alat saring. Cawan petri diletakkan di ketinggian 1,2 meter. Identifikasi mikroplastik di udara awalnya dilakukan di Jombang, Surabaya, Gresik dan Mojokerto. Sedangkan dengan menggunakan drone mampu menjangkau ketinggian 20 meter.
Sumber Utama dari Pembakaran Sampah
Kebiasaan sebagian masyarakat membakar sampah, ternyata berdampak buruk pada kualitas udara. Uji petik terbaru oleh tim Detektif Sungai Ecoton menemukan kandungan mikroplastik cukup tinggi di sejumlah wilayah di Jawa Timur.
Ada tiga wilayah di provinsi paling ujung timur di Pulau Jawa ini yang sebelumnya dilakukan uji petik. Yakni Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik dan juga Kota Kediri. Uji petik dilakukan dengan menerbangkan drone yang telah dimodifikasi untuk menangkap mikroplastik di udara.
“Drone ini memang dirancang secara khusus dengan memasang alat di bagian kaki agar menang menangkap dan mengangkut mikroplastik di udara, “ kata Rafika Apriliani, peneliti mikroplastik Ecoton dalam keterangan tertulisnya, minggu kemarin.
Rafika mengatakan, dari hasil uji petik itu terungkap kadar mikroplastik tertinggi ditemukan di wilayah Sidoarjo yang mencapai 102 partikel per jam. Disusul Kota Kediri 92 partikel per jam dan Gresik 75 partikel per jam.
Soal kandungan mikroplastik di Kediri yang begitu tinggi, katanya, karena maraknya pengelolaan sampah plastik dengan cara dibakar. Selain itu, gesekan antara ban mobil/motor dengan aspal juga turut berkontribusi. Sebab, pengambilan sampel di Kediri dilakukan di pusat keramaian dengan transportasi yang cukup padat. Seperti di sekitar Jembatan Semampir, depan Makodim dan juga Ngronggot.
Baca juga : Studi: Tidak Hanya di Tanah dan Perairan, Mikroplastik juga Ditemukan di Air Awan

Rafika mengatakan, pengambilan sampel dilakukan dengan menerbangkan drone di ketinggian sekitar 20 meter. Range itu didasarkan pada perkiraan konsentrasi sebaran asap dari pembakaran sampah plastik yang berada di ketinggian 5-20 meter. Dan hasilnya, drone tersebut berhasil menangkap partikel mikroplastik jenis fiber, filamen dan juga fragmen.
Menurutnya, penelitian yang dilakukannya itu didasari oleh sebuah studi baru yang terbit dalam jurnal Environmental Science & Technology, April 2024 lalu. Dalam laporannya itu, dia penulis Xiang Zhao dan Fengqi You, banyak menyoroti negara-negara di dunia yang penduduknya paling banyak mengonsumsi mikroplastik. Dimana, Indonesia menduduki peringkat teratas.
Masyarakat Indonesia mengonsumsi sekitar 15 gram mikroplastik per bulan. Sumber mikroplastik yang mengontaminasi tubuh dapat berasal dari banyak hal meliputi makanan dan minuman yang terkontaminasi mikroplastik, hingga lingkungan di sekitar yang banyak mengandung mikroplastik. Misalnya udara, air dan juga tanah.
Rafika menjelaskan, temuan mikroplastik yang terdeteksi di udara itu meningkatkan kekhawatiran tentang dampak buruk pencemaran plastik. Sebab, mikroplastik yang ada di udara berpotensi turun ke permukaan bumi dan terhirup oleh manusia.
Dampak Kesehatan
Mikroplastik di udara dapat berasal dari berbagai sumber. Termasuk abrasi dari ban kendaraan di jalan raya. pemakaian dan pembuangan produk sehari-hari berbahan plastik, aktivitas industri yang melibatkan plastik, hingga degradasi material plastik di lingkungan.
Partikel-partikel ini dapat terdispersi melalui angin dan fenomena atmosfer lainnya, sehingga tersebar luas dan bahkan mencapai daerah yang jauh dari sumber pencemaran. “Potensi paparan mikroplastik itu diperparah dari pembakaran sampah yang masih massif di negara Indonesia,” ungkap Rafika.
Penuturan Rafika ada benarnya. Survei oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada 2023 lalu, sebanyak 57,2 persen rumah tangga di Indonesia membakar sampahnya secara rutin dan hanya 27,3 persen diangkut oleh petugas, sebagaimana dikutip dari Databooks 2024.
Dari survei itu juga terungkap, selain membakar, sebanyak 8,7 persen rumah tangga membuang sendiri sampahnya ke TPS; 2,8 persen membuang sampahnya ke sungai atau selokan; 2,3 persen membuang sembarangan; 0,7 persen menimbun. Lalu, hanya 0,3 persen rumah tangga yang menjadikan sampahnya sebagaib kompos dan menyetorkannya ke bang sampah. Serta hanya 0,1 persen yang mendaur ulang.
Baca juga : Teknologi: Sekarang Polutan Mikroplastik di Air dapat Dilacak dengan AI

Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) milk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut, secara nasional, jumlah timbulan sampah secara nasional mencapai 27,2 juta ton per tahun. Sayangnya, dari jumlah tersebut, sekitar 9 juta ton atau 33,24 persen belum terkelola.
Dari segi komposisi, sampah sisa makanan masih mendominasi (41,7 persen). Disusul sampah plastik yang mencapai 18,5 persen; kayu dan daun sebesar 11,6 persen; kertas dan karton 10,7 persen; logam 3,2 persen; kain 2,7 persen; kaca 2,5 persen; karet/kulit 2,3 persen dan lain-lain sebesar 6,6 persen.
Direktur Ecoton Prigi Arisandi mengatakan, konsentrasi mikroplastik di udara menimbulkan risiko kesehatan. Ia bisa berbahaya jika masuk ke saluran pernapasan Terlebih, ukurannya yang sangat kecil untuk terhirup langsung ke paru-paru. “Penyakit ini dapat menyebabkan pembengkakan dan kerusakan pada tenggorokan dan jaringan paru-paru, sehingga menyebabkan nyeri dada ringan atau sesak napas,” katanya, minggu lalu.
Mikroplastik berpotensi dapat menumpuk dan merusak kantung udara (alveoli) di paru-paru. Hal ini dapat meningkatkan risiko terkena emfisema dan kanker paru-paru. Bahkan, karena ukurannya yang sangat kecil, mikroplastik dapat masuk ke aliran darah dan mengalir ke organ tubuh lainnya. Bahkan, membentuk plak di pembuluh darah.
“Mikroplastik sifatnya seperti magnet, sehingga bahan polutan yang ada disekitarnya dapat diserap dan diikat oleh mikroplastik, jadi ketika kita menghirup mikroplastik kita juga akan menghirup polutan berbahaya yang diikat oleh mikroplastik”.
Satu dampak lain dari paparan mikroplastik di udara adalah terjadinya pencemaran pada daun. Menurut Prigi, mikroplastik yang menempel pada permukaan daun dapat menghalangi sinar matahari yang diperlukan untuk fotosintesis hingga menyebabkan kerusakan fisik daun.
Untuk membuktikannya, pada Mei lalu, Ecoton telah melakukan uji mikroplastik pada daun mangrove yang ada di ekowisata mangrove di Wonorejo, Surabaya. “Ini menjadi bukti bahwa penggunaan sampah plastik sekali pakai berdampak semua elemen dan berpotensi mengganggu kesahatan manusia,” terang Prigi.
Firly Mas’ulatul Jannah, manager Zero Waste Cities menilai, sangat penting untuk memastikan adanya fasilitas pengelolaan sampah di banyak tempat. Sebab, salah satu alasan mengapa masyarakat masih banyak membakar sampahnya karena fasilitas yang minum.
“Pemerintah harus menyediakan TPS 3R di setiap wilayah kelurahan atau desa untuk meminimalisir penanganan sampah yang tidak tepat. Salah satunya pembakaran”.
Madjid Panjalung, seorang pelajar kelas 4 SD yang juga Detektif Sungai mengungkapkan bahwa “Ini merupakan pengalaman pertamaku melakukan penelitian mikroplastik di udara, ternyata sampah plastik yang biasanya dibakar akan membentuk mikroplastik yang berukuran sangat kecil yaitu kurang dari 5 milimeter, dan memungkinkan bisa masuk dalam tubuh.”
Baca juga : Inilah Dampak Cemaran Mikroplastik untuk Plankton dan Penyerapan Karbon di Laut

Surati Wali Kota
Sebelumnya, hasil pengamatan komunitas Detektif Sungai yang dibentuk Ecoton juga menemukan kandungan mikroplastik di Sungai Kedak, Kediri. Paparan mikroplastik tersebut pada akhirnya berdampak pada menurunnya keberagaman serangga air di sungai setempat.
Addin, salah satu anggota Detektif Sungai mengatakan, sebelumnya pihaknya melakukan pengamatan terhadap kualitas sungai Kedak selama dua hari. Dan hasilnya, sungai yang berasa di Kecamatan Mojoroto itu positif mengandung mikroplastik.
“Dampaknya, kesehatan sungai juga terganggu dengan indikator tidak banyak serangga air ditemukan karena kualitas air yang sudah tercemar,” jelas pelajar kelas 3 SMA ini.
Atas temuan itu, ia pun mengirim surat kepada Pj. Wali Kota Kediri untuk menindaklanjuti temuan tersebut. “Kami sedih dan berharap Pj. Wali Kota bisa merespons temuan kami,” katanya. Ia menduga, cemaran mikroplastik tersebut berasal dari buangan sampah plastik di sepanjang sungai.
Faiz, anggota Detektif Sungai lainnya berharap, ada beberapa poin yang ia sampaikan melalui surat tersebut. Pertama, meminta Pj. Wali Kota membentuk komunitas peduli sungai di Kota Kediri.
Kedua, membuat regulasi tentang larangan membuang sampah ke sungai; ketiga, memasang poster-poster edukasi kepada pelaku usaha untuk mengurangi bungkus kemasan plastik; keempat, membuat peraturan pelarangan membakar sampah plastik; serta kelima, menyusun program prioritas untuk mewujudkan Kediri sebagai kota zero waste city.
“Saya ingin Pj. Wali Kota mengetahui fakta mengenai kondisi sungai yang kami temukan, yang kemudian ditindaklanjuti dengan membuat peraturan dan juga penegakan hukum pada mereka buang sengaja membuang sampah ke sungai supaya,” ungkapnya. (***)
Studi: Meski Sudah Didaur Ulang, Mikroplastik Masih Tetap Jadi Sumber Pencemar