- Bandung baheula, pernah menjadi habitat badak.
- Sisa habitat badak jawa hingga tempat berjemur harimau jawa kerap dijadikan area perkantoran, pemukiman dan perkebunan.
- Menurut koran Belanda, badak jawa diburu seperti dianggap hama.
- Hingga akhirnya Bandung membikin patung badak putih tahun 1981 sebagai momentum untuk kembali menata kota berbasis keasrian alam.
Tak ada yang tahu patung badak bercula satu berdiri di Taman Balai Kota Bandung, Jawa Barat, punya sejarah dan tekad Bandung. Berada di tengah kolam, badak putih itu menghadap Jalan Merdeka dan Taman Panda di samping gedung Bank Indonesia (BI). Pada era kolonial Belanda, taman ini bernama Pieters Park, lalu pernah berubah nama menjadi Taman Merdeka.
Pakar dari Kelompok Riset Cekungan Bandung, T. Bachtiar, mengatakan tempat bekas badak berkubang kerap dijadikan pemukiman hingga pusat pemerintahan. Jika ditelusuri, lokasi tersebut banyak tersebar di Kota Kembang.
“Kota ini didirikan di bekas paguyangan badak bodas, bekas tempat berkubangnya badak putih,” kata Bachtiar, awal Juli lalu.
Soal warna putih, Bachtiar tidak mengetahui pasti. Menurutnya, lumpur yang menempel pada tubuh badak akan berwarna putih jika mengering terjemur matahari. “Kalau berkubangnya di daerah yang padas, batuan cadas, bisa putih juga. Tanah yang warnanya putih atau krem itu kan banyak di Bandung. Makanya ada nama Cicadas, itu kan dari batuan padas, cadas,” katanya.
Bachtiar menjelaskan, cekungan Bandung yang kini dibagi ke wiliayah administrasi Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat, dahulu menjadi habitat badak, harimau, macan tutul, serta hewan liar lainnya.
“Daerah priangan ini cocok banget, ada hutan, lalu di pinggir hutan ada sungai, ada rawa-rawa, ada padang rumput, jadi cocok sebagai habitat hewan liar,” ujar Bachtiar.
Baca : Berharap Keberhasilan Program Bayi Tabung Badak Sumatera
Anggota Masyarakat Geografi Nasional Indonesia itu mengatakan hingga akhir abad ke-19, penduduk Bandung masih bisa melihat badak jawa (Rhinoceros sondaicus). Itu mengapa muncul nama Rancabadak, tempat berkubang atau mandi badak. Ranca dalam bahasa sunda artinya rawa.
Nama tempat yang mengacu pada badak, salah satunya, ialah Rumah Sakit Rancabadak. Kini nama rumah sakit pusat rujukan di Jawa Barat itu berubah nama menjadi Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS).
“Di sana (Rancabadak) ada rawak rawa-rawa kecil, di sebelah kirinya ada Garunggang, sekarang Sukajadi. Ke sebelah timur itu sudah Cikapundung. Jadi lahan basahnya kecil, tapi dimanfaatkan oleh badak untuk berkubang,” papar Bachtiar.
Tak jauh dari Rancabadak, ada daerah bernama Pamoyanan–dekat Istana Plaza, Cicendo, saat ini–yang merupakan tempat berjemur hewan buas seperti harimau.
Haryoto Kunto dalam bukunya, Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, juga menceritakan pada 1866, masyarakat sering melihat kawanan badak berkeliaran di Cisitu, daerah yang tak jauh dari kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) saat ini. Pada masa itu, Bandung masih penuh hutan belukar yang berpaya-paya. Badak dan harimau sering memasuki daerah permukiman penduduk.
Bachtiar menjelaskan setiap daerah memiliki toponimi yang khas dengan kondisi alam, budaya, hingga kehidupan sosial masyarakatnya. “Nama-nama tempat yang memakai kata badak itu bisa dipetakan penyebarannya di Jawa Barat atau sampai Banten, ya,” katanya.
Badak jawa memiliki daya jelajah yang tinggi. Mamalia berpostur tegap itu memiliki tinggi sekitar 1,2-1,7 meter dengan bobot tubuh 900-2.300 kilogram. Cula satu berwarna abu-abu gelap atau hitam dengan ukuran panjang rata-rata 20–25 cm dan dapat mencapai 30,5 cm.
Baca juga : 26 Badak Jawa Mati Diburu, Pengamanan Ujung Kulon Lemah?
Bachtiar memperkirakan hilangnya habitat badak dan hewan liar lainnya di Bandung akibat pertambahan penduduk dan perkembangan peradaban. Area jelajah badak menjadi sempit terdesak perkantoran, permukiman hingga perkebunan.
“Tempat berkubangnya badak, tempat berjemurnya harimau, menjadi terdesak, karena kawasan hutan terus bergeser,” katanya. Kondisi tersebut diperburuk dengan perburuan badak karena dianggap hama yang merusak areal pertanian.
Koran De locomotief tanggal 19 September 1898 menyebutkan daerah hutan di Tjibetoeng, di kaki Goenoeng Wajang menjadi lokasi perburuan banteng, badak, rusa, dan hewan besar lainnya. Koran itu menulis jika para pemburu jarang kembali dengan tangan kosong.
Bandung dan Badak
Sejak dulu, badak memang menjadi incaran terutama culanya. Masyarakat meyakini ada banyak magis dari cula badak. Di antaranya sebagai penawar racun dan menyebuh segala penyakit jika dibikinkan cangkir dari cula badak.
Yang jelas cula badak kala itu dianggap memiliki khasiat untuk kesehatan, padahal itu tidak terbukti secara ilmiah. Menurut S. Kalff (1918) dalam jurnal Indie, geillustreerd weekblad voor Nederland en Koloniën bertajuk “Bataviasche journaalposten” menyebutkan cula badak hanya menunjukkan simbol status sosial dan dinilai berharga karena dapat digunakan sebagai obat.
Kalff menuliskan perburuan badak selain menggunakan senapan, ada juga yang pakai metode tradisional menggunakan jebakan dan senjata tajam. Badak memang hewan buruan pada masanya. Hewan itu menjadi buruan bagi warga pribumi, juga orang-orang Eropa yang menjelajahi kedalaman hutan-hutan.
Hingga awal abad 20, tak lagi terdengar badak yang masih hidup liar. Sebelumnya, jejak-jejak badak diketahui tersebar diantara gunung dan lembah di Bandung.
Baca juga : Badak Afrika Bisa Punah Terdampak Perubahan Iklim, Seperti Apa?
Saat ini, habitat alami badak jawa yang tersisa satu-satunya di dunia hanya di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), Banten. Populasi badak jawa pada 2024 diperkirakan hanya sekitar 81 ekor saja. Estimasi jumlah itupun belum dikurangi dengan perburuan 26 badak jawa selama kurang dari 4 tahun. Pantas saja jika Daftar Merah International Union for Conservation of Nature (IUCN) menempatkan nasibnya satu langkah menuju kepunahan.
Barangkali karena itu, Wali Kota Bandung, Husen Wangsaatmadja ketika meresmikan Oktober 1981 patung badak putih menjadikan itu simbol kerinduan Kota Bandung akan kelestarian alam.
“Penempatan monumen Badak Putih juga sebagai perlambang betapa manusia sebenarnya tidak bisa hidup tanpa kehidupan satwa. Hewan itu tak perlu dibenci apalagi dimusnahkan. Kemusnahan hewan-hewan liar akan berarti pula musnahnya atau rusaknya tata lingkungan yang sehat,” ujar Husen kala itu dikutip dari Pikiran Rakyat.
Agaknya, itu relevan dengan kondisi Bandung hari ini, yang hampir seluruhnya berubah menjadi kota semrawut, panas, pengap, dan tak tertata. Padahal monumen badak itu ibarat kehendak Bandung masa itu yang ingin mengembalikan lingkungan asri dengan penataan yang teratur. (***)
Ada Indikasi Oknum Orang Dalam Terlibat Perburuan Badak di Ujung Kulon