- Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulawesi Selatan bersama Sustainable Fisheries Partnership Foundation (SFPF), meluncurkan Komite Pengelolaan Perikanan Tangkap Demersal Berkelanjutan Sulawesi Selatan, melibatkan berbagai pihak termasuk nelayan.
- Pembentukan komite yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan tertanggal 6 Februari 2024, menandai inisiatif strategis menuju perbaikan praktik pengelolaan perikanan.
- Dengan luas wilayah perairan sekitar 45.600 km2, potensi ikan demersal di Sulsel, khususnya di kawasan terumbu karang cukup besar dan bernilai tinggi. Sehingga tata kelolanya sangat penting untuk menjaga keberlanjutan dampak ekonomi, ekologi, dan sosialnya bagi nelayan Sulsel.
- Nelayan berharap komite ini akan menjadi sarana komunikasi bagi nelayan untuk menyampaikan berbagai persoalan yang mereka hadapi selama ini, termasuk sebagai wadah dalam menyampaikan aspirasi para nelayan serta kondisi riil di lapangan.
Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulawesi Selatan bersama Sustainable Fisheries Partnership Foundation (SFPF), meluncurkan Komite Pengelolaan Perikanan Tangkap Demersal Berkelanjutan Sulawesi Selatan, minggu lalu.
Peluncuran komite ini dilanjutkan dengan lokakarya selama dua hari dalam mempersiapkan rencana aksi bagi komite tersebut untuk tiga tahun mendatang, yang dilaksanakan pada 16 – 17 Juli 2024.
Menurut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sulsel Ilyas, peluncuran komite ini merupakan upaya nyata dalam mendukung Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Sulsel 2025-2045 tentang pembangunan ekonomi biru di Sulsel.
“Upaya ini untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya perikanan Sulsel dalam jangka panjang, serta dapat meningkatkan ekonomi dan taraf hidup nelayan tradisional Sulsel,” tambahnya.
Pembentukan komite yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan tertanggal 6 Februari 2024, menandai inisiatif strategis menuju perbaikan praktik pengelolaan. Bertujuan agar perikanan yang berkelanjutan di Sulsel bisa dikelola secara kolaboratif, di mana semua unsur-unsur yang berkepentingan di dalam pengelolaan perikanan ini ikut jadi bagiannya, seperti nelayan, pemerintah sebagai pengambil kebijakan, industri, dan mitra-mitra pendamping.
Komite beranggotakan perwakilan dari unsur-unsur pemerintah daerah, perwakilan dari industri demersal di Sulsel yang diwakili oleh Asosiasi Demersal Indonesia (ADI), perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat dan nelayan demersal yang diwakili oleh Forum Komunikasi Nelayan Kakap Kerapu Demersal Indonesia (Forkom Narasi).
Baca : Kolaborasi untuk Pengelolaan Perikanan Tangkap Demersal Berkelanjutan di Sulsel

Menurut Ilyas, dengan luas wilayah perairan sekitar 45.600 km2 potensi ikan demersal di Sulsel, khususnya di kawasan terumbu karang cukup besar dan bernilai tinggi. Sehingga tata kelolanya sangat penting untuk menjaga keberlanjutan dampak ekonomi, ekologi, dan sosialnya bagi nelayan Sulsel.
“Ini menunjukkan komitmen kami untuk melestarikan sumber daya laut di wilayah kami sekaligus memastikan kesejahteraan nelayan skala kecil. Kami percaya bahwa melalui pengelolaan yang inklusif dan kolaboratif, kita dapat mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan dan adil di sektor perikanan kita,” katanya.
Provinsi Sulawesi Selatan sendiri merupakan wilayah kunci bagi perikanan tangkap dan budidaya, khususnya di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 713. Wilayah ini dikenal sebagai daerah yang menghasilkan komoditas perikanan demersal bernilai ekonomi tinggi seperti gurita, kakap dan kerapu, yang sebagian besar ditangkap oleh nelayan skala kecil.
Potensi perikanan demersal di WPP 713 mencapai hampir 35% dari total estimasi sumber daya ikan di WPP ini. Hasil tangkapan tersebut tidak hanya dipasarkan di tingkat lokal Makassar, namun juga untuk pasar domestik, bahkan pasar global.
Data ekspor perikanan Sulsel per Juni 2024, menunjukkan adanya dominasi rumput laut sebesar 83,6 % dengan volume 11.420 Ton dan nilai Rp170,1 milyar, disusul karagenan 6,1% dengan volume 839 ton senilai Rp96,5 milyar, vanname 3,0% dengan volume 414 ton senilai Rp55.4 milyar, kerapu 1,4% dengan volume 194 ton senilai Rp20,1 miliar dan gurita 1,3 % dengan volume 179 ton senilai Rp16,8 milyar, dan komoditi perikanan lainnya sebesar 4,5 % dengan volume 622 ton senilai Rp112,9 milyar.
Baca juga : Mencari Formula Tepat untuk Tata Kelola Perikanan Demersal

Meskipun memiliki potensi yang besar, pengelolaan perikanan di Sulawesi Selatan menghadapi tantangan yang cukup besar. Tata kelola dan penyelesaian masalah yang efektif memerlukan pendekatan kolaboratif yang melibatkan semua pihak terkait, termasuk nelayan skala kecil.
Pengelolaan perikanan berkelanjutan harus bersifat inklusif dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan mulai dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, nelayan, industri, dan lembaga swadaya masyarakat. Pembentukan komite ini merupakan bukti upaya kolaboratif yang diperlukan untuk menjamin keberlanjutan jangka panjang perikanan demersal di wilayah tersebut.
Dessy Anggraeni, Direktur Program Indonesia untuk SFPF, mengatakan sangat mendukung pembentukan komite ini. Ia menilai inisiatif ini mewakili kemajuan yang signifikan dalam pengelolaan perikanan demersal berkelanjutan di Sulsel.
“Kami sangat bangga bahwa pembentukan komite ini secara aktif melibatkan para nelayan Sulsel, yang merupakan pemain utama dalam industri perikanan. Partisipasi mereka memastikan bahwa strategi pengelolaan didasarkan pada pengetahuan dan praktik lokal, sehingga menjadikannya lebih efektif dan berkelanjutan dalam jangka panjang.”
Pembentukan komite perikanan ini bukanlah pertama kali dibentuk. Di beberapa daerah, SFPF juga telah menginisiasi hal yang sama, seperti komite pengelolaan perikanan rajungan di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Tenggara. Di beberapa daerah lain juga telah terbentuk sejenis, meski dengan komoditi berbeda dan diinisiasi oleh pihak lain, seperti di Lampung dan Jawa Barat.
Berbeda dengan daerah lain, komite yang dibentuk Sulsel terdiri dari sejumlah komoditi perikanan demersal seperti kakap kerapu, gurita.
Baca juga : Kajian Seksama Penting untuk Keberlanjutan Perikanan Demersal Indonesia

SFPF adalah organisasi non pemerintah dan non-profit (LSM) internasional yang berpusat di Hawaii, Amerika Serikat. SFPF bekerja untuk tercapainya ekosistem laut yang sehat, pasokan sumber makanan dari laut yang mencukupi, serta peningkatan ekonomi dari sektor perikanan.
“SFPF bekerja dengan pemerintah, industri, nelayan/petambak dan pemangku kepentingan lainnya di sektor perikanan untuk membantu menciptakan perikanan tangkap dan budidaya yang berkelanjutan dan dapat membawa manfaat yang maksimal bagi masyarakat dan lingkungan yang lebih luas,” ujar Dessy.
Erwin, Ketua Forkom Narasi, menyambut baik terbentuknya komite ini, yang sejalan dengan program mereka selama ini mendorong perikanan berkelanjutan di tingkat tapak. Ia juga berharap komite ini akan menjadi sarana komunikasi bagi nelayan untuk menyampaikan berbagai persoalan yang mereka hadapi selama ini, termasuk sebagai wadah dalam menyampaikan aspirasi para nelayan serta kondisi riil di lapangan.
“Kehadiran komite ini sangat penting agar suara kami sebagai nelayan didengar oleh pemerintah. Kehadiran industri di forum ini juga akan penting dalam memberikan informasi-informasi pasar dan membantu kami para nelayan,” katanya. (***)
27 Tahun Lagi, Tangkapan Ikan di Laut Diprediksi Turun Drastis