- Sejak Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2023 terbit, Badan Pengendalian dan Pengawasan Mutu Hasil Kelautan dan Perikanan (BPPMHKP) semakin menegaskan posisinya sebagai otoritas kompeten penjaminan mutu hasil hasil kelautan dan perikanan
- Tugas yang diemban oleh BPPMHKP adalah bagaiman menjamin mutu dan keamanan produk kelautan dan perikanan yang berasal dari Indonesia. Tugas itu memastikan semua produk bisa aman dikonsumsi oleh konsumen di dalam dan luar negeri
- Agar mutu dan keamanan hasil kelautan dan perikanan bisa terjamin, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyediakan sistem jaminan mutu dan keamanan hasil kelautan dan perikanan (SJMKHP) berstandar nasional dan global
- Sebagai Otoritas Kompeten melakukan Quality Assurance (QA), semua sertifikasi standar dan acuan layanan diterbitkan oleh BPPMHKP. Kewenangan tersebut untuk menjamin QA di pasar nasional, regional, dan global
Menjaga mutu dan keamanan produk kelautan dan perikanan, menjadi pekerjaan rumit yang harus dilakukan oleh semua pelaku usaha dan para pihak terkait. Upaya tersebut akan bisa mewujudkan jaminan kualitas dan keamanan untuk semua konsumen di seluruh dunia.
Agar mutu dan keamanan hasil kelautan dan perikanan bisa terjamin, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyediakan sistem jaminan mutu dan keamanan hasil kelautan dan perikanan (SJMKHP) berstandar nasional dan global.
Kepala Badan Pengendalian dan Pengawasan Mutu Hasil Kelautan dan Perikanan (BPPMHKP) Ishartini menjelaskan, SJMKHP menyediakan enam standar dan acuan layanan untuk sertifikasi produk perikanan primer.
Keenamnya adalah Cara Budi daya Ikan yang Baik (CBIB) dengan acuan SNI 8228.1:2015, Cara Pembenihan Ikan yang Baik (CPIB) dengan acuan SNI 8035:2019, Cara Penanganan Ikan yang Baik diatas Kapal (CPIB Kapal) dengan acuan SNI 8087:2014.
Lalu, Cara Pembuatan Pakan Ikan yang Baik (CPPIB) dengan acuan SNI masing-masing komoditas, Cara Pembuatan Obat Ikan yang Baik (CPOIB) dengan acuan Peraturan Direktur Jenderal Perikanan Budi daya Nomor 187 Tahun 2023, dan Cara Distribusi Obat Ikan yang Baik (CDOIB) dengan acuan Perdirjen Perikanan Budi daya Nomor 186 Tahun 2023.
Selain standar dan acuan layanan melalui sertifikasi produk kelautan primer, KKP juga menyediakan standar dan acuan layanan untuk produk perikanan pascapanen. Salah satunya adalah Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) dengan acuan CODEX.
Selanjutnya, adalah Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) atau Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik-titik Kritis dengan acuan SNI CXC 1:1969 (ditetapkan Badan Standardisasi Nasional/BSN tahun 2021).
Terakhir, ada sertifikat Pengelolaan Distribusi Ikan (SPDI) dengan acuan Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 58 Tahun 2021 tentang Sistem Logistik Ikan Nasional, dan PP 57 Tahun 2015 tentang Sistem Jaminan Mutu Dan Keamanan Hasil Perikanan Serta Peningkatan Nilai Tambah Produk Hasil Perikanan.
Baca : Tantangan Menjaga Stabilitas Kualitas Produk Perikanan Budi daya Nasional

Sebagai Otoritas Kompeten melakukan Quality Assurance (QA), Ishartini mengatakan kalau semua sertifikasi standar dan acuan layanan diterbitkan oleh BPPMHKP. Kewenangan tersebut untuk menjamin QA di pasar nasional, regional, dan global.
“Sertifikasi tersebut ditujukan untuk meningkatkan trust dan market access untuk pasar ekspor. Kemudian di pasar domestik digunakan untuk membangun citra baik, kepuasan konsumen, serta membuat produk menjadi lebih kompetitif,” terangnya.
Melalui sertifikasi standar dan acuan layanan produk kelautan dan perikanan, diharapkan itu bisa meningkatkan komitmen untuk senantiasa menjaga mutu dan kualitas setiap produk kelautan dan perikanan yang ada di Indonesia, khususnya untuk keperluan ekspor.
Pentingnya menjaga mutu dan kualitas, karena konsumsi pangan hewani dari perairan/perikanan terus meningkat setiap tahun. Berdasarkan dari dari Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), terjadi pertumbuhan rerata 3 persen per tahun selama periode 1961-2021.
Menurut Ishartini, data yang diterbitkan FAO tersebut sangat besar, karena jumlah rerata tersebut di atas pertumbuhan populasi dunia sebesar 1,6 persen untuk periode yang sama. Pertumbuhan ini diiringi dengan tuntutan, keinginan, dan harapan konsumen tentang produk, mutu produk, dan keamanan produk.
“Ini terjadi baik dari sub sektor perikanan budi daya, penangkapan, penanganan, pengolahan dan distribusi,” urainya.
Ishartini menjabarkan lebih detail, sertifikasi standar dan acuan layanan yang disediakan KKP juga bisa menjadi solusi untuk sejumlah isu yang ada pada subsektor perikanan budi daya. Termasuk, persoalan rekayasa genetik dan penggunaan bahan antibiotik.
Selain itu, ada juga persoalan bahan kimia berbahaya, pakan dan obat yang aman konsumsi dan ramah lingkungan, penggunaan pakan dan obat tidak bersifat membahayakan manusia, residu antibiotik dan obat, serta bahan kimia berbahaya lainnya.
Baca juga : Ada Patogen COVID-19 pada Produk Perikanan Kemasan?

Semua persoalan itu bisa diatasi melalui pembinaan dan sertifikasi CPIB, pembinaan dan sertifikasi CBIB, standar dan sertifikasi ramah lingkungan, pembinaan dan sertifikasi CPIB, CPOIB, CDOIB, hingga program Anticbiotic Monitoring Residue (AMR), dan Program National Residue Monitoring Plan (NRMP).
“NRMP ini juga merupakan prasyarat utama perikanan budidaya Indonesia untuk memasuki pasar Uni Eropa,” jelasnya.
Tantangan Perikanan Tangkap
Selain perikanan budi daya, subsektor perikanan tangkap juga memiliki sejumlah tantangan. Sebut saja, aktivitas penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan melanggar regulasi (IUUF), dan alat penangkapan ikan (API) yang digunakan terlarang atau tidak ramah lingkungan.
Atau, persoalan tentang penggunaan bahan kimia untuk penyimpanan (formalin), ketertelusuran (traceability), zat biologis atau biological substance (Salmonella, E. coli, V. parahaemolyticus, L. monocytogenes), dan lain sebagainya.
Namun, seperti halnya budi daya, solusi juga tersedia bagi perikanan tangkap. Selain Sertifikasi CPIB Kapal, ada juga pembinaan dan Sertifikasi HACCP Kapal, pembinaan dan Sertifikasi Catch Certificate (CC), sistem ketertelusuran (traceability), penggunaan Kapal dan API yang ramah lingkungan.
Semua standar dan acuan layanan tersebut dibutuhkan, karena ada tuntutan konsumen, pasar, dan negara importir yang mensyaratkan JMKHP yang diperdagangkan. Itu dituangkan dalam bentuk Health Certificate (HC) yang menyatakan bahwa produk aman untuk dikonsumsi.
Berikutnya, ada pemenuhan syarat dan standar yang sudah ditetapkan sesuai dengan aturan dan regulasi (importing country). Kondisi itu berlaku, yaitu saat penerimaan produk KP di pelabuhan tujuan ekspor, negara importir meminta penilaian dilakukan secara In Process Inspection (IPI) dengan menekankan pada kemampuan ketetelusuran produk tersebut (traceability).
Menurut Ishartini, semua syarat tersebut bisa menjadi persoalan jika tidak menemukan solusi yang tepat. Saat ini, semuanya bisa diatasi melalui JMKHKP hulu ke hilir. Kebijakan ini, akan memaksimalkan proses produksi hingga mendapatkan hasil terbaik.
Baca juga : Keamanan Pangan Produk Perikanan, Kunci Bersaing di Pasar Internasional

Sebagai otoritas kompeten, Ishartini menyebut kalau BPPMHKP berkomitmen mengawal mutu pangan mulai dari hulu hingga hilir. Semua itu menjadi bentuk perlindungan kesehatan masyarakat (public health), perlindungan konsumen (economic fraud), dan persyaratan perdagangan yang fair (fair trade).
Dengan kata lain, produk kelautan dan perikanan yang bermutu menjadi harga mati yang harus bisa dijalankan oleh para pelaku usaha. Salah satunya, adalah ikan yang menjadi sumber pangan dan bisa mendukung ketahanan pangan, sumber gizi, dan menjadi sumber ekonomi serta penghasil devisa.
“Sebagai negara maritim, tentu ikan sangat bernilai strategis bagi Indonesia,” tegasnya.
Bakteri Jahat
Agar bisa dikonsumsi, dan atau menjadi produk ekspor, ikan harus terbebas dari kontaminasi biologi yaitu bakteri patogen seperti Cholera, Salmonela, Clostridium botulinum. Atau, terbebas dari cemaran residu kimia, yaitu logam berat, dan residu biokimia seperti antibiotik, pestisida, histamin, dan marine biotoxine.
“Termasuk juga secara fisik, ikan bebas dari metal fragment dan benda asing,” tambahnya.
Oleh karenanya, standardisasi dan sertifikasi dilaksanakan mulai pada tahap produksi primer budi daya, sertifikasi tahap produksi primer perikanan tangkap melalui CPIB kapal pendingin, CPIB based on HACCP kapal pembeku, serta monitoring pembongkaran ikan.
Selanjutnya serrtifikasi padai tahap pasca panen melalui SKP di UMKM dan UPI, HACCP di UPI dan suplier, serta Cara Distribusi Ikan yang Baik.
Pentingnya menjamin sistem mutu dan kualitas pada produk KP, khususnya ikan, adalah karena ada ancaman foodborne illness causes atau gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh konsumsi pangan yang telah terkontaminasi mikroba, patogen atau kuman atau bahan kimia berbahaya.
“Alhasil, ikan yang mestinya bergizi dan bermanfaat bagi kesehatan justru mengakibatkan penyakit. Tentu ini tak bisa dianggap sepele, karena bukannya kita sehat justru sebaliknya akibat mengonsumsi ikan yang tidak bermutu,” terangnya.

Ishartini menjelaskan, penjaminan mutu pada produk KP dilakukan pada hulu ke hilir dan menjadi bentuk dukungan lima arah kebijakan pembangunan kelautan perikanan, seperti kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) berbasis kuota, pembangunan budi daya laut, pesisir, dan darat yang berkelanjutan melalui sertifikasi penjaminan mutu dan keamanan hasil kelautan dan perikanan.
“Tujuannya agar output atau produk dari program tersebut memiliki nilai keberterimaan dan nilai tambah serta berdaya saing di pasar global,” katanya.
Agar penjaminan mutu pada produk KP bisa benar-benar terjadi, KKP juga menerapkan kebijakan pengurangan sampah plastik di laut melalui monitoring cemaran mikroplastik di perairan yang memiliki potensi sumber daya perikanan strategis.
Ketertelusuran dan Integrasi
Baginya, penyelenggaraan penjaminan mutu harus dapat dilaksanakan secara terintegrasi dan tertelusur di semua sekuen rantai pasok dan rantai produksi. Mulai dari bahan baku yang mencakup pembenihan, pembesaran, dan penangkapan ikan, hingga pada penanganan, pendistribusian, dan pengolahan.
“Sertifikasi jaminan mutu berlangsung dari hulu sampai hilir, agar produk yang dihasilkan memang betul-betul bermutu,” sebutnya.
Dia memaparkan, sasaran sertifikasi BPPMHKP adalah 14.933 unit pembenihan, 1.409.527 RTP budi daya, serta 212 produsen pakan dan obat. Kemudian di sektor perikanan tangkap 887.425 unit kapal dan 566 pelabuhan.
Pada sektor penanganan, pengolahan, dan pemasaran terdapat 61.261 usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang harus disertifikasi kelayakan pengolahannya, serta 385 pasar domestik yang perlu dipantau tingkat kesegaran ikannya.
Terhadap pemenuhan persyaratan mutu tujuan ekspor, ada 1300 unit pengolahan ikan (UPI) dengan 3.117 jenis produk yang memerlukan sertifikasi HACCP, serta 279.951 frekuensi ekspor per tahun yang memerlukan HC Mutu.
Lebih spesifik, penerapan jaminan mutu pada produk kelautan dan perikanan juga berlaku untuk ikan kaleng yang dijalankan melalui konsep hilirisasi. Namun, untuk mencapainya diperlukan sinergi antar pemangku kepentingan yang berkaitan.
Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) KKP Budi Sulistiyo menjelaskan kalau sinergi akan meningkatkan daya saing produk ikan kaleng seperti berbahan baku tuna/cakalang, sarden, lemuru, dan mackarel.
“Upaya yang sinergi sangat penting agar produksi bisa efisien, sistem jaminan mutu, memperbesar komponen dalam negeri (TKDN), dan memperluas akses pasar,” terangnya.
Menurut dia, ada sejumlah cara agar produk ikan kaleng Indonesia bisa mengakes pangsa pasar Uni Eropa dan Amerika Serikat. Salah satunya dengan memfasilitasi pengajuan registrasi EU approval number bagi UPI tersertifikasi HACCP grade A.
Melalui strategi pengembangan yang tepat, dia optimis peluang hilirisasi ikan kaleng di Indonesia bisa dimanfaatkan dengan baik. Hal itu, karena ada top importir global meliputi Uni Eropa, Amerika Serikat, Timur Tengah, Jepang, dan ASEAN.

Sebagai salah satu bentuk hilirisasi perikanan, Budi Sulistiyo menyebut kalau pengalengan ikan berdampak pada ketersediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Merujuk data Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP), sekira 20.000 orang bekerja di 40 unit pengolahan ikan (UPI) pengalengan skala menengah besar.
“Ini baru bicara industri pengolahannya, belum multiplier effect-nya dari bahan baku seperti penyediaan kaleng, ikannya, dan lain sebagainya,” tuturnya.
Direktur Pengolahan dan Bina Mutu KKP Widya Rusyanto menyebutkan kalau nomor induk berusaha (NIB) produk ikan kaleng memiliki risiko yang tinggi. Namun, tantangan itu bisa diatasi jika sinergi berjalan baik, dengan fokus memajukan kinerja UPI pengalengan.
Tetapi, berdasarkan kegiatan diskusi kelompok terpumpun (FGD) yang digelar di Banyuwangi, Jawa Timur beberapa waktu lalu, para pelaku usaha ikan kaleng mengaku kalau bahan pendukung seperti kaleng produksi dalam negeri masih terbatas.
“Tentu ini harus diimbangi mengingat bahan baku ikan lokal mudah diperoleh dengan harga yang cukup kompetitif,” tutur dia.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono dalam berbagai kesempatan menyampaikan bahwa sinergi dan kolaborasi seluruh pemangku kepentingan menjadi sangat penting. Tujuannya, agar akses pasar bisa terus diperkuat dan bermanfaat bagi masyarakat Indonesia.
Dia juga memaparkan bentuk implementasi program ekonomi biru pada 2024 melalui penguatan infrastruktur teknologi monitoring, melanjutkan pembangunan modeling budi daya, integrasi perizinan antara pemerintah pusat dan daerah.
Kemudian, memperbaiki dan melindungi pesisir beserta pulau-pulau kecil dan terluar dari kerusakan, penguatan sarana prasarana pelabuhan, penangangan sampah plastik di laut, hingga peningkatan kualitas sumber daya manusia. (***)