- Para petani Desa Pundenrejo, Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, kehilangan ruang hidup. Lahan tempat mereka bertani tak ada lagi sejak berkonflik dengan PT Laju Perdana Indah (LPI) atau Pabrik Gula Pakis pada 2020.
- Pada 16 Juli lalu, para petani mendatangi Kanwil ATR/BPN Jawa Tengah menuntut penyelesaian konflik lahan. Setelah kehilangan lahan bertani, kini warga bekerja serabutan untuk bertahan hidup.
- Para petani Pundenrejo sudah melakukan berbagai upaya agar ruang hidup mereka kembali dan bisa memanfaatkan lahan itu lagi. Dari aksi di daerah sampai pusat, mengadu ke lembaga negara seperti Komnas HAM, sampai berkirim surat kepada Menteri ATR/BPN maupun Presiden Joko Widodo. Hingga kini, para petani belum mendapatkan kejelasan.
- Anna Silviana, Pakar Hukum Agraria Universitas Diponegoro Semarang mengatakan, konflik lahan sebetulnya bisa selesai dengan berpedoman pada Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).
Puluhan petani dari Desa Pundenrejo, Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, mendatangi Kantor ATR/BPN Jawa Tengah di di , 16 Juli lalu. Mereka yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Petani Pundenrejo (Germapun) ini mendesak dan menuntut Kanwil ATR/BPN Jateng segera menyelesaikan konflik agraria dengan PT Laju Perdana Indah (LPI) atau Pabrik Gula Pakis.
Laki, perempuan, orang tua, bahkan ada yang membawa anak bawah lima tahun (balita) ikut menyuarakan tuntutan kepada ATR/BPN.
“Berangkat pagi, sewa mobil. Patungan,” kata Sumiyati, perempuan petani Germapun.
Mereka datang didampingi LBH Semarang. Para petani ini bertemu dengan perwakilan ATR/BPN Jateng. Sekitar 10 perwakilan masuk ikut pertemuan, yang lain menunggu di luar.
Abdul Kholik Rahman, dari LBH Semarang menilai, Kanwil ATR/BPN Jateng tak menjalankan kewajiban menyelesaikan konflik agraria di Pundenrejo.
Dalam Pasal 6 Peraturan Menteri ATR/BPN tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.
“Petani Pundenrejo punyai latar belakang sejarah di lahan nenek moyang, sudah menggarap tanah sejak lama. Saat ini tidak memiliki akses menggarap tanah dan terjebak dalam lubang kemiskinan struktural,” katanya.

Petani Pundenrejo berupaya memperjuangkan kembali tanah seluas 7,3 hektar yang disebut masuk izin hak guna bangunan (HGB) anak usaha Indofood ini sejak 2020. Atas penguasaan lahan itu, setidaknya 140 petani Pundenrejo kehilangan ruang hidup.
Mereka tak lagi bisa bertani di lahan tempat mereka selama ini. Demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka bekerja serabutan, seperti buruh harian mengaspal jalan.
Awalnya, tanah di Pundenrejo ini sebelumnya dikuasai Belanda. Pada 1973, diklaim PT BAPIPPUNDIP di bawah naungan Kodam IV Diponegoro. Lahan berubah status jadi HGB sampai 1994, diperpanjang sampai 2024.
Pada 1999, BAPPIPUNDIP bangkrut. Lahan terlantar. Warga kembali memanfaatkan lahan sampai terakhir berpindah ke LPI berizin HGB dengan peruntukan mendirikan perumahan karyawan.
Tanah yang mempunyai izin HGB tak pernah digunakan sebagaimana hak peruntukan, baik oleh BAPIPPUNDIP maupun LPI. LPI, katanya, justru tanam tebu di lahan HGB.
Abdul mengatakan, Kanwil justru tidak mengakui kalau tanam tebu di izin HGB itu sebagai bentuk pelanggaran atau penyalahgunaan izin. Padahal, dalam Pasal 86, Permen ATR/BPN No.18/2021 sudah jelas, HGB hanya untuk sektor non pertanian.

Pembiaran?
Para petani Pundenrejo sudah melakukan berbagai upaya agar ruang hidup mereka kembali dan bisa memanfaatkan lahan itu lagi. Dari aksi di daerah sampai pusat, mengadu ke lembaga negara seperti Komnas HAM, sampai berkirim surat kepada Menteri ATR/BPN maupun Presiden Joko Widodo.
Hingga kini, para petani belum mendapatkan kejelasan. Dia duga, ada pembiaran dari pemerintah daerah maupun pusat. Konflik tak kunjung menemui titik terang.
“Saat menghadap Wamen (Wakil Menteri ATR/BPN) ada solusi. Petani akan kasih sekian (laham), tapi aturannya bagaimana? Kita tak mau nanti tiba-tiba dipermasalahkan. Harus ada kejelasan,” kata Supriyadi, perwakilan petani.
Para petani Pundenrejo menyesali tindakan Kanwil ATR/BPN Jateng yang tak berupaya menyelesaikan konflik agraria di Pundenrejo. Tanah yang dikuasai LPI, membuat petani kehilangan sumber penghidupan.
Kondisi itu, kata Supriyadi, seharusnya jadi perhatian serius penyelenggara negara. “Petani sudah tak bisa menggarap lahan karena ditanami tebu oleh mereka.”
Pada 27 Mei 2024, perwakilan petani mendatangi Komnas HAM Jakarta. Mereka meminta Komnas HAM mendesak perusahaan agar tak menanam tebu di lahan yang mereka kelola turun temurun.
Lalu, 31 Mei 2024, petani jalan kaki sejauh 21 kilometer ke Kantor ATR/BPN Pati.
Para petani juga protes dengan memasang sejumlah baliho di lahan pada 6 Juli dan 15 Juli lalu. Baliho amruk sehari setelah pemasangan.
“Dua kali pasang, diambrukkan mereka (LPI),” ujar Udin, juga perwakilan petani.
Mongabay berupaya mengkonfirmasi perusahaan namun belum mendapatkan respon. Siswanto, bagian komunikasi PG Pakis tak merespon saat dihubungi.

Harusnya berpegang pada UUPA
Anna Silviana, Pakar Hukum Agraria Universitas Diponegoro Semarang mengatakan, konflik lahan sebetulnya bisa selesai dengan berpedoman pada Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).
“Negara tidak memiliki tanah. Negara hanya menguasai dalam rangka untuk mensejahterakan rakyat. Maka Pasal 33 ayat 3 UUD 45 harus dipegang. Kemudian UUPA. Karena konsep dan asas dalam UUPA itu ya menjalankan pasal 33 ayat 3 [UU’45], tanah untuk kesejahteraan dan keadilan masyarakat,” katanya.
Status tanah negara itu sangat jelas. Jadi, negara tak memiliki tanah, hanya membuat peruntukan untuk penggunaan, dan pemanfaatan sebesar-besarnya buat kemakmuran rakyat.
Dia contohkan, kalau ada tanah bekas Belanda, itu harusnya terdistribusi lagi lewat reforma agraria.
Sedang konflik berkepanjangan, katanya, terjadi karena ketidakpahaman. Belum lagi, kalau ada yang merasa paham namun sebetulnya tak paham.
“Salah satu solusinya reforma agraria bisa diefektifkan jadi tanah bekas Belanda menjadi obyek reforma agraria dibagikan kepada penggarap-penggarap yang sudah ada di situ sejak lama. Itu kan solusi memberikan kepada hak kepada masyarakat.”

******
Berkonflik dengan Perusahaan, Petani Pati Kehilangan Lahan Tani