Indonesia negeri beruntung. Daratan dan perairannya menjadi ruang hidup jutaan flora dan fauna, sehingga manusia yang menetap di sekitarnya hidup sehat, sejahtera, dan bahagia. Salah satu bentang alam yang banyak memberikan dampak baik bagi makhluk hidup adalah sungai.
Indonesia diperkirakan memiliki sekitar 70 ribu sungai.
Di Pulau Sumatera yang luasnya sekitar 47.348.100 hektar, memiliki 1.343 sungai. Tercatat 16 sungai terpanjang dan terbesar; Sungai Alas [Kutacane], Krueng Aceh, Sungai Asahan, Sungai Barumun, Batang Gadis, Batanghari, Krueng Jamboaye, Sungai Kampar, Sungai Indragiri, Sungai Lematang, Sungai Musi, Batang Rokan, Sungai Siak, Batang Tarusan, Way Tulangbawang, dan Sungai Wampu.
Di masa kuno, sungai di Sumatera bukan hanya menjadi sumber air bersih bagi manusia, juga dipergunakan untuk pertanian, transportasi, dan pangan [ikan]. Sungai adalah rahim peradaban.
Banyak kerajaan yang pernah berjaya di Sumatera, tumbuh dan berkembang di sekitar sungai. Misalnya Kedatuan Sriwijaya, Kerajaan Jeumpa, Kesultanan Peureulak, Kerajaan Kandis, Kerajaan Tulang Bawang, Kerajaan Indragiri, Kesultanan Palembang, Kesultanan Jambi, Kesultanan Siak, dan banyak lainnya.
Bahkan, beberapa kota yang ditinggalkan kerajaan tersebut terus bertahan hingga saat ini, seperti Kota Palembang yang berada di tepi Sungai Musi atau Kota Jambi di tepi Sungai Batanghari.

Tradisi mengolah ikan
Bagi masyarakat di Sumatera, khususnya yang hidup di sekitar sungai atau lahan basah, ikan merupakan komoditas penting dalam membangun peradaban masyarakatnya. Ikan bukan hanya sebagai sumber pangan, juga ekonomi yang melahirkan sejumlah tradisi bersama berbagai pengetahuan. Seperti pengelolahan ikan menjadi beragam penganan dan obat-obatan.
Beragam jenis ikan air tawar tersebut hidup di sungai, sekitar hutan rawa gambut dan hutan rawa air tawar. Di Sumatera, luas hutan rawa gambut sekitar 343 ribu hektar, dan hutan rawa air tawar seluas 11 ribu hektar. Semua lahan basah tersebut sebagian besar terhubung dengan sungai.
Beberapa jenis ikan yang sangat popular sebagai sumber pangan dan ekonomi bagi masyarakat di Sumatera, misalnya ikan baung [Mystus], ikan lais [Kryptopterus bicirrhis], ikan gabus [Channa striata], ikan toman [Channa micropeltes], ikan seluang [Rasbora], ikan tapah [Wallago], dan ikan belida [Chitala]. Saat dikonsumsi, ikan ini diolah menjadi beragam masakan, seperti dibakar, dipepes, dan dipindang.
Selain itu, dibuat menjadi ikan asin, ikan asap [sale], pekasem [fermentasi ikan], hingga diolah menjadi penganan seperti pempek, kerupuk, dan kemplang.
Dr. Haryono dari Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi-BRIN dalam acara diskusi mengenal ikan endemik Indonesia bersama Mongabay Indonesia, Kamis [27/6/2024], mengatakan di Indonesia diperkirakan terdapat 1.700 spesies ikan. Jumlah tersebut berdasarkan kompilasi sejumlah data [Tjakrawidjaja et al., Prianto et al., Dahruddin et al., Miesen et al., Ohee].
Di Sumatera, tercatat 546 spesies. Sebarannya, banyak di sungai besar maupun kecil. Dari ratusan spesies tersebut, ikan endemik di Sumatera tercatat 73 spesies [Dahruddin et al., 2021].

Perahu di sungai
Masyarakat di Sumatera memanfaatkan sungai sebagai jalur transportasi. Alat yang digunakan dimulai dari rakit hingga beragam jenis perahu dan kapal. Alat transportasi tersebut dibuat memanfaatkan tanaman [pohon] yang tumbuh di hutan sekitar sungai atau lahan basah.
Sejumlah arkeolog menemukan banyak perahu di pesisir timur Sumatera [Sumatera Selatan dan Jambi] sekitar abad ke-3 hingga 5. Perahu-perahu tersebut, membuktikan sungai atau wilayah lahan basah sudah dimanfaatkan masyarakat di Sumatera, jauh sebelum hadirnya Kedatuan Sriwijaya pada abad ke-7.
Perahu kajang adalah perahu yang sangat populer di Sumatera. Sebab, perahu yang memiliki kajang [atap dari daun nipah] digunakan sebagai angkutan perdagangan, sekaligus tempat tinggal pemiliknya selama melakukan perjalanan.
Kedatuan Sriwijaya diperkirakan mengalami kejayaan karena keberadaan perahu dan kapal ini. Perahu kajang digunakan masyarakat untuk membawa hasil bumi dari wilayah huluan melalui sungai, seperti getah-getahan, kayu manis, dan emas, untuk dibawa ke pusat pemerintahan Sriwijaya yang berada di Palembang. Selanjutnya, komoditas ini dibawa kapal yang menyusuri sungai ke samudera, menuju berbagai wilayah di Asia Timur, Asia Tenggara, Timur Tengah dan India.
Hingga saat ini, tradisi membuat perahu masih bertahan di Sumatera. Meskipun jumlah pembuatannya terus berkurang, yang diperkirakan akibat hadirnya jalan darat yang membuat sebagian masyarakat menggunakan kendaraan bermotor, serta kian langka kayu karena banyak hutan yang rusak atau berubah fungsi.

Sungai kehilangan peran
Di masa moderen, sungai dijadikan kawasan sumber energi, pertanian, dan perkebunan skala besar, serta tempat pembuangan limbah, baik perusahaan maupun rumah tangga.
Di Sumatera, terdapat banyak pembangkit listrik tenaga air [PLTA] yang memanfaatkan sungai. Misalnya, PLTA Musi yang memanfaatkan air Sungai Musi, PLTA Koto Panjang [Sungai Kampar], PLTA Asahan [Sungai Asahan], PLTA Batang Toru [Sungai Batang Toru], serta PLTA Tiga Dihaji [Sungai Selabung].
HTI [Hutan Tanaman Industri] di Sumatera seluas 4,02 juta hektar atau 55,42 persen dari luas HTI di Indonesia [7,26 juta hektar]. Sementara, luas perkebunan sawit di Sumatera hingga tahun 2020 tercatat 7,9 juta hektar. Setengah dari luas perkebunan sawit di Indonesia yang mencapai 14,5 juta hektar.
Selanjutnya aktivitas penambangan batubara yang memanfaatkan sungai, terutama sebagai sarana angkutan. Limbah dari penambangan ini diduga turut mencemari banyak sungai.
Sumatera memiliki 55,08 miliar ton sumber daya batubara, sementara jumlah cadangannya sebesar 12,96 miliar ton. Batubara ini dihasilkan mulai dari Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Lampung.
Penambangan emas juga memanfaatkan sungai, bahkan merusak keberadaan sungai. Terutama aktivitas penambangan emas ilegal. Hampir semua wilayah di Sumatera menghasilkan emas. Penambangan emas terbesar di Sumatera pada saat ini tambang emas Martabe yang berada di Sumatera Utara. Luas wilayah penambangannya 130.252 hektar, yang meliputi Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, dan Mandailing Natal.
Selain itu berbagai aktivitas industri, seperti pengolahan minyak sawit, pupuk, bubur kertas, tapioka, karet, hingga rumah sakit, mall, dan rumah tangga, diduga banyak membuang limbahnya ke sungai.
Perubahaan bentang alam dan pemanfaatan tersebut membuat sungai yang sebelumnya adalah rumah beragam flora dan fauna mulai kehilangan peran pentingnya.
Kondisi tersebut kian diperparah dengan perubahan iklim yang membuat sungai mengalami banjir dan kekeringan.

Dampak
Dampak yang sangat dirasakan dari kerusakaan sungai adalah hilang dan terus menurunnya populasi ikan konsumsi. Akibatnya, masyarakat yang hidup di sekitar sungai kehilangan sumber pangan dan ekonomi.
Selanjutnya air sungai bukan lagi sumber air bersih yang sehat bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Kandungan zat kimia seperti logam berat, asam, basa, garam, amoniak, dan zat radioaktif, sangat berbahaya jika dikonsumsi atau digunakan.
Beberapa solusi untuk mengembalikan ketersediaan ikan konsumsi seperti melakukan pembesaran ikan menggunakan kerambah dengan memberi pakan buatan, justru mendatangkan persoalan baru, yakni limbah pakan yang memenuhi sungai.
Selain itu, membesarkan ikan introduksi yang berpotensi menjadi invasif, dapat menyingkirkan spesies asli saat memperebutkan ruang, nutrisi, air, dan sebagainya. Misalnya, ikan nila [Oreochromis niloticus] dan lele dumbo [Clarias gariepinus].
Beberapa ikan endemik juga terancam punah. Haryono menjelaskan, beberapa permasalahan untuk melakukan konservasi ikan endemik, salah satunya akibat rusaknya habitat [pencemaran dan fragmentasi habitat] serta konversi atau alih fungsi lahan di sekitar perairan [perkebunan atau pemukiman].
Hilang atau berkurangnya populasi ikan, serta tidak sehatnya air sungai, berdampak buruk pada sejumlah tradisi di masyarakat yang hidup di sekitar sungai. Sebut saja, tradisi pembuatan perahu, pembuatan alat tangkap ikan, kuliner ikan, hingga tradisi sedekah sungai.
Puncaknya, masyarakat tidak lagi memandang penting keberadaan sungai. Sungai dinilai sebagai bak sampah, atau lahan terlantar sehingga harus ditimbun agar dapat digunakan.
Berubahnya sikap masyarakat terhadap sungai atau hilangnya berbagai tradisi tersebut, merupakan penanda akhir dari peradaban bahari yang selama puluhan tahun menjayakan masyarakat di Sumatera.
Bagaimana menyelamatkan sungai-sungai di Sumatera?
Saya pikir keinginan tersebut akan terwujud jika terjadi perubahan kebijakan dalam memanfaatkan kekayaan alam yang lebih berkelanjutan, mulai dari energi, perkebunan, industri, infrastruktur, dan lainnya.
Sebab, rusaknya kondisi sungai pada saat ini merupakan muara dari berbagai aktivitas ekonomi dan pembangunan yang tidak lestari.
Selamat Hari Sungai Nasional.
* Taufik Wijaya, jurnalis dan pekerja seni menetap di Palembang. Tulisan ini merupakan opini penulis.
Hari Sungai Nasional: Kita Bangga Punya Banyak Sungai, tapi Tidak Merawatnya