- Setelah organisasi keagamaan Islam terbesar di Indonesia, , Nahdatul Ulama paling awal jadi penerima izin tambang dari pemerintah, kini giliran Muhammadiyah. Akhirnya, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah memutuskan mengikuti langkah NU ) yang menerima pengelolaan izin usaha pertambangan (IUP) batubara.
- Keputusan dari ormas Islam terbesar kedua di Indonesia ini saat rapat pleno beberapa waktu lalu. Berbagai kalangan termasuk dari unsur di dalam Muhammadiyah mengkritik putusan ini.
- Wahyu Perdana, Ketua Bidang Politik Sumber Daya Alam Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengatakan, ada risiko hukum signifikan terhadap organisasi dan para pemimpin apabila Muhammadiyah menerima IUP ini.Kebijakan pemberian IUP kepada ormas keagamaan, tidak diatur dalam UU Minerba 3/2020 dan bisa menimbulkan implikasi hukum rumit dan berisiko tinggi.
- Trigus D. Susilo, Kader Hijau Muhammadiyah Trenggalek mengatakan, alih-alih mengimajinasikan tentang kemakmuran, pertambangan ini justru mendatangkan malapetaka.
Setelah organisasi keagamaan Islam terbesar di Indonesia, , Nahdatul Ulama paling awal jadi penerima izin tambang dari pemerintah, kini giliran Muhammadiyah. Akhirnya, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah memutuskan mengikuti langkah NU yang menerima pengelolaan izin usaha pertambangan (IUP) batubara. Keputusan dari ormas Islam terbesar kedua di Indonesia ini saat rapat pleno beberapa waktu lalu. Berbagai kalangan dari organisasi lingkungan maupun unsur di dalam Muhammadiyah pun mengkritik putusan ini.
Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengatakan, sudah membahas IUP tambang batubara pada rapat pleno PP Muhammadiyah 13 Juli lalu. Keputusan resmi, katanya, diumumkan pasca konsolidasi nasional pada 27-28 Juli di Universitas Aisyiyah Yogyakarta.
“Muhammadiyah akan disampaikan secara resmi setelah konsolidasi nasional yang Insya Allah 27-28 Juli di Universitas Aisyiyah Yogyakarta,” katanya dalam keterangan yang didapat Mongabay, Sabtu, (27/7/24).
Mu’ti bilang, tawaran resmi IUP tambang disampaikan langsung Bahlil Lahadilla, Menteri Menteri Investasi/Kepala BKPM. Meskipun begitu, mereka belum mengetahui lokasi tambangnya.
“Ada penawaran pemerintah disampaikan dalam rapat Pleno PP. Meskipun, belum disampaikan resmi lokasi tambang bagi Muhammadiyah,” katanya.
Baca juga: Adik Beradik Tewas di Lubang Tambang Batubara di Kaltim
Anwar Abbas, Pengurus PP Muhammadiyah kepada wartawan mengatakan, meski menerima izin tambang, Muhammadiyah harus tetap menjaga lingkungan.
Pembagian IUP ini bermula ketika Presiden Joko Widodo meneken Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1/2022 tentang Satgas Penataan Lahan dan Penataan Investasi pada Januari 2022.
Keppres ini memberikan mandat kepada Bahlil, selaku ketua satgas, salah satu tugas evaluasi izin tambang, hak guna usaha, dan konsesi kawasan hutan.
Selain itu, katanya, juga membuka peluang berikan fasilitas kemudahan kepada organisasi kemasyarakatan, koperasi, dan lain-lain untuk mendapatkan lahan.
Jokowi kembali mengeluarkan Perpres Nomor 70/2023 tentang pengalokasian lahan bagi penataan investasi pada Oktober 2023. Melalui regulasi ini, satgas pimpinan Bahlil kembali dapat tugas mencabut izin tambang, perkebunan, dan konsesi kawasan hutan, serta memberikan izin pemanfaatan lahan untuk ormas, koperasi dan lain-lain.
Hingga kini, satgas itu telah mencabut 1.118 IUP dan 15 izin pinjam pakai kawasan hutan (IPKH). Izin-izin ini merupakan bagian dari 2.078 izin usaha pertambangan, 192 IPKH, dan 34.448 hektar HGU perkebunan.
Baca juga: Banjir Landa Halmahera Tengah, Aktivitas Tambang Penyebabnya
Terjerumus ke bisnis perusak bumi
Firdaus Cahyadi, Indonesia Team Lead Interim 350.org Indonesia mengatakan, pimpinan Muhammadiyah telah menjerumuskan ormas itu untuk terlibat mengelola industri kotor batubara yang merusak bumi. Masyarakat Indonesia yang memiliki kesadaran ekologi kecewa terhadap elit Muhammadiyah.
“Seharusnya, Muhammadiyah memilih mengelola energi surya, seperti simbol organisasinya,” katanya.
Seharusnya, Muhammadiyah mengetahui kalau tambang batubara membuat kerusakan dan tak memiliki masa depan secara ekonomi.
Dia bilang, sudah banyak bank-bank Internasional tak mau lagi mendanai bisnis ekstraktif itu.
Muhammadiyah, katanya, seharusnya menunjukkan kepemimpinan mengelola energi terbarukan di semua unit amal usaha.
Berdasarkan penelitian Celios dan 350.org Indonesia, energi terbarukan berbasis komunitas mampu menurunkan angka kemiskinan lebih 16 juta orang.
“Dari sisi ketenagakerjaan, terdapat peluang kesempatan kerja 96 juta orang di berbagai sektor tidak sebatas pada energi, namun industri pengolahan dan perdagangan juga ikut terungkit,” katanya.
PP Muhammadiyah, kata Firdaus, seharusnya bijaksana dalam mengambil keputusan berdasarkan nurani dan akal sehat, bukan kepentingan jangka pendek.
Elit Muhammadiyah yang diharapkan mampu menjadi cahaya di tengah kegelapan, katanya, justru mematikan cahaya itu dengan menjerumuskan organisasi dalam kubangan batubara.
“Muhammadiyah terlalu besar bila harus tenggelam hanya karena batubara. Kekecewaan umat kepada elit Muhammadiyah bisa jadi akan merugikan seluruh amal usaha Muhammadiyah yang sudah besar itu.”
Baca juga: Derita Warga Lahat dalam Jerat Polusi PLTU Batubara
Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Jamil pun heran, Muhammadiyah merupakan ormas keagamaan berbasis ilmu pengetahuan seharusnya mengetahui soal penelitian tambang batubara.
Batubara, katanya, terkonfirmasi sebagai penyebab utama kerusakan alam dan suhu bumi sampai terjadi perubahan iklim.
“Kami menyayangkan kalau saat yang lain meninggalkan batubara tiba-tiba ormas keagamaan masuk menjerumuskan diri dalam bisnis itu.”
Dia berharap, Muhammadiyah menganulir keputusannya karena tak sejalan dengan semangat ormas itu yang berupaya melestarikan lingkungan.
“Sejak awal, kita melihat dokumen yang terbit oleh official PP Muhammadiyah, ya mulai dari narasi, legal opinion, tim LHKP itu hampir semua memberikan kesimpulan yang pada ujungnya menyatakan tidak menerima tambang batubara,” katanya.
Ormas keagamaan yang menyatakan keputusan menerima IUP untuk kesejahteraan hanya dalih.
“Kita paham betul bahwa ormas keagamaan itu adalah ahli, tapi di bidang keagamaan bukan tambang,” kata Jamil.
Menurut dia, ketika ormas menerima izin tambang maka yang akan mengelola pihak lain. Ormas hanya menerima hasil saja.
“Perusahaan pengelola tambang punya koneksi sendiri, jaringan koneksi dan semua sendiri, belum tentu akan melibatkan ormas.”
Dengan tambang dikelola ormas, katanya, tidak mengubah daya rusaknya. Dari kajian Jatam, tambang selalu membawa dampak negatif bagi masyarakat.
“Tambang operasi di ruang hidup masyarakat, sumber air warga, atau kawasan hutan yang semua itu lekat dengan sendi-sendi kehidupan masyarakat sekitar.”
Tambang, katanya, bersifat destruktif dan merusak. Proses tambang mulai dari mengangkut material tambang, operasi tambang batubara berpindah-pindah, dan menyulut konflik.
Berbagai konflik, katanya, seperti antara masyarakat, masyarakat dan perusahaan tambang dengan pemerintah pemberi izin.
“Ketika masuk ormas keagamaan sebagai pengelola tambang jadi konfliknya multi dimensi, atau bertambah lagi satu aktor konflik. Jadi bisa berkonflik ormas keagamaan dengan masyarakat, itu sangat berbahaya.”
Baca juga: Derita Warga Pomalaa Hidup di tengah Himpitan Tambang Nikel
Berisiko hukum
Wahyu Perdana, Ketua Bidang Politik Sumber Daya Alam Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengatakan, tawaran pertambangan untuk ormas, termasuk Muhammadiyah ini membuat persyarikatan sedang di fase-fase ujian integritas.
Dia bilang, terdapat risiko hukum signifikan terhadap organisasi dan para pemimpin apabila Muhammadiyah menerima IUP ini.
Kebijakan pemberian IUP kepada ormas keagamaan, katanya, tidak diatur dalam UU Minerba 3/2020 dan bisa menimbulkan implikasi hukum rumit dan berisiko tinggi.
Selain itu, katanya, prinsip lex superior derogat legi inferiori memperlihatkan bahwa peraturan lebih rendah tidak bisa mengesampingkan yang lebih tinggi. Dengan begitu, kebijakan ini dinilai rentan terhadap gugatan hukum.
“Padahal, dalam konteks tambang ini dalam beberapa tahun sebelumnya Muhammadiyah memberikan banyak masukan ke pemerintah khusus tata kelola regulasi tambang. Kalau sampai menerima, berarti persyarikatan ikut bermain dalam tata kelola regulasi yang rusak,” katanya.
Baca juga: Tambang Pasir Laut Itu Membuat Nelayan Pantai Labu Menderita
Wahyu juga menyoroti, setiap tahun pengurus pertambangan itu wajib menyusun rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB).
Namun, lewat Peraturan Pemerintah Nomor 25/2024 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96/2021 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara ini berlaku hanya satu kali sepanjang masa eksplorasi RKAB.
“Sedangkan RKAB ini kan berangkat untuk mengontrol perusahaan menyiapkan tidak upaya perlindungan lingkungannya. Karena akan kelihatan dari rencana kegiatan dan anggarannya.”
Dia contohkan, sebelum PP 25 terbit sudah ada hampir 2.000-an pencabutan izin perusahaan tambang karena tidak memenuhi muatan RKAB.
Untuk itu, kata Wahyu, bila tidak awas terhadap persoalan yang seperti ini, jangan-jangan Muhammadiyah dan banyak ormas lain terjebak dalam upaya pengaburan fakta apa yang sebenarnya terjadi ketika PP Nomor 25/2024 ini terbit.
Dengan menerima juga khawatir terjadi riswah politik. Dalam klausul PP Nomor 25/2024 ada pernyataan penawaran hanya waktu lima tahun.
Selain itu, katanya, pertambangan berisiko terhadap lingkungan, konflik dengan warga, dan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip Muhammadiyah dalam menjaga kelestarian lingkungan dan hak-hak masyarakat. Ia termaktub dalam berbagai risalah dan dokumen Muhammadiyah beserta organisasi ortonom.
“Berulangkali Muhammadiyah mendampingi warga, salah satunya di Trenggalek. Itu tidak hanya pengurus daerahnya, anak muda, saudara-saudara di NU, Katolik itu menolak konsesi besar tambang emas.”
Trigus D. Susilo, Kader Hijau Muhammadiyah Trenggalek mengatakan, alih-alih mengimajinasikan tentang kemakmuran, pertambangan ini justru mendatangkan malapetaka.
Berdasarkan pengalaman pribadi selama bekerja di satu pertambangan di Kalimantan, dia melihat sendiri bagaimana praktik-praktik pertambangan itu.
Tidak hanya merusak bentang alam, pertambangan juga mendatangkan kemaksiatan seperti perjudian maupun lokalisasi.
“Imajinasi tentang kemakmuran malah membuat perpecahan sosial. Contoh konkret seperti yang terjadi di persyarikatan saat ini. Suara Muhammadiyah sudah terbelah soal izin tambang dari pemerintah,” katanya.
Hening Parlan, Wakil Ketua Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah kecewa dengan keputusan Muhamamdiyah juga akan menerima izin tambang tawaran pemerintah.
Dia berharap, keputusan ini sudah melalui berbagai pertimbangan.
“Pertimbangan yang saya maksud, semoga sudah pernah bertemu dengan 42 orang tua yang anak-anaknya meninggal karena masuk lubang tambang, mendengarkan perihnya orangtua [yang kehilangan anaknya karena tambang] dan kisah pilu serta curahan hati mereka,” kata perempuan yang juga Direktur Program Eco Bhinneka Muhammadiyah, dalam keterangan tertulis.
Dia bilang, tambang menciptakan lubang-lubang yang merusak bentang alam dan ditinggalkan tanpa ada normalisasi.
“Semoga pernah bersama warga, datang ke lokasi bahkan sholat di sekitar sana hingga merasakan aura dan tangisan alam,” kata Hening.
“Semoga (Muhammadiyah) pernah mengajak para dokter Muhammadiyah mengecek kesehatan warga sekitar tambang dan bagaimana dampak kepada ibu dan anak-anak,” katanya.
“Semoga pernah melibatkan ratusan kampus dengan analis yang berdasarkan pertimbangan, lingkungan dan ilmu pengetahuan dan tentunya kelestarian lingkungan maupun masa depan generasi.”
Hening mengapresiasi kalangan Muhammadiyah yang menolak Izin pengelolaan tambang.
“Kita mungkin sering dibilang naif, namun hidup memang memilih. Menggunakan pertimbangan hati nurani dan keberpihakan adalah sesuatu yang membuat kita bahagia,” katanya.
******
Mestinya NU Awasi Tambang dan Dampingi Korban, Bukan jadi Pengelola