- Menurut sebuah penelitian terbaru, gundukan rumah rayap di Namaqualand, Afrika Selatan, setidaknya telah berusia 34.000 tahun. Sebelumnya di tahun 2018, peneliti menyebut rumah rayap di Brasil adalah yang tertua dengan usia 4.000 tahun.
- Gundukan rumah rayap ini masih digunakan spesies rayap pemanen selatan (Microhodotermes viator), dan menjadi gundukan rayap tertua yang diketahui masih dihuni oleh koloni besar.
- Penemuan ini juga menemukan material organik yang terkubur jauh di dalam gundukan tersebut, menunjukkan rayap membantu menyimpan karbon di kedalaman lebih dari 1 meter.
- Para ilmuwan merencanakan penelitian lebih lanjut untuk memahami berapa banyak karbon yang tersimpan di sarang rayap ini dan seberapa cepat karbon terakumulasi.
Rayap (atau anai-anai) adalah kelompok serangga yang memainkan peran ekologis penting sebagai pengurai bahan organik. Mereka hidup dalam kelompok sosial yang kompleks, dan beberapa spesies membuat sarang besar di bawah tanah.
Sarangnya dapat mencakup terowongan dan ruang yang luas tempat rayap hidup dan menyimpan bahan tanaman. Beberapa sarang rayap mungkin sudah sangat tua; pada tahun 2018, peneliti menemukan gundukan rayap di Brasil yang berusia 4.000 tahun.
Namun sebuah studi dari Science of The Total Environment baru-baru ini menemukan bahwa gundukan rayap yang dihuni oleh rayap pemanen selatan (Microhodotermes viator) di Namaqualand ini sudah ada jauh lebih lama.

Dengan menggunakan penanggalan radiokarbon, para peneliti menemukan bahwa gundukan tersebut telah digunakan oleh rayap selama 34.000 tahun, jauh sejak sebelum Zaman Es terakhir!
Sebagai perbandingan, selama periode ini, manusia sibuk membuat seni gua sementara beberapa Neanderthal masih bertahan di Eropa selatan. Dunia pun masih penuh dengan megafauna seperti mammoth berbulu, kucing bertaring tajam, dan sloth raksasa.
Studi ini juga memberikan wawasan yang belum pernah diketahui sebelumnya mengenai siklus iklim masa lalu di kawasan ini, dan menunjukkan peran rayap dalam menyimpan karbon yang belum pernah dieksplorasi sebelumnya.
“Naluri kami mengatakan bahwa [gundukan tersebut] istimewa, dan ketika kami menggali dan melihat sarang tua dan rayap ini, kami berpikir ‘wow’,” kata Michele Francis, Dosen Senior di Stellenbosch University yang juga merupakan penulis utama studi tersebut. “Ini seperti menonton video dari masa lalu.”

Wilayah Semi Kering
Namaqualand adalah wilayah semi kering di Afrika Selatan bagian barat, yang terkenal dengan banyaknya bunga liar musim semi. Tanah di sepanjang Sungai Buffels dipenuhi gundukan rendah yang disebut heuweltjies, yang berdiameter sekitar 40 meter, tempat rayap pemanen selatan hidup di sarang bawah tanah.
Lapisan kalsit yang keras di atas gundukan melindungi rayap dari aardvark (Orycteropus afer), -sejenis mamalia nokturnal pemakan serangga, dan insektivora lainnya.
Untuk mengambil sampel gundukan tersebut, pertama-tama para peneliti menggunakan ekskavator untuk menggali parit selebar 60 meter berkedalaman 3 meter di tengahnya.
Selanjutnya, mereka mengambil sampel di seluruh bagian, menggunakan spatula logam kecil untuk mengikis tanah ke dalam kantong plastik. Terkadang rayap keluar untuk memperbaiki sarangnya dengan menggunakan bola-bola tanah untuk menutup lubang yang dibuat para peneliti.
Francis mengatakan dia sudah menduga bahwa gundukan tersebut sudah cukup tua – namun masih terkejut ketika analisis penanggalan radiokarbon mengungkapkan bahwa karbonat tersebut berusia hingga 34.000 tahun.
Bahan organik, yang terurai jauh lebih cepat, juga terawetkan dengan baik, dan berumur hingga 19.000 tahun. Bahan organik yang lebih muda ditemukan di bagian bawah, menunjukkan bagaimana rayap mengubur karbon jauh di dalam gundukan.
Analisis tersebut memberikan wawasan yang belum pernah ada sebelumnya, dan menunjukkan bahwa rayap mungkin memainkan peran yang sebelumnya tidak dihargai dalam menyimpan karbon, kata Francis.

Bagaimana Rayap Membuat Rumahnya yang Ramah Karbon?
Sudah diketahui bahwa rayap berkontribusi terhadap siklus karbon global, karena banyak spesies rayap menggunakan mikroba penghasil metana untuk mencerna makanan mereka.
Namun sejauh ini perannya dalam penyimpanan dan penyerapan karbon belum benar-benar dieksplorasi, kata Francis. Secara umum, rayap berkontribusi dalam menyimpan karbon melalui cara sebagai berikut.
Pertama, rayap mengumpulkan batang-batang kecil atau bahan tanaman kaya karbon lainnya di permukaan dan membawanya lebih dari satu meter di bawah tanah, sehingga kecil kemungkinan mereka melepaskan karbon ke atmosfer saat terurai.
Kedua, terowongan yang dibuat oleh rayap memungkinkan air hujan mengalir melalui gundukan tersebut. Air hujan ini dapat membawa mineral dan karbon anorganik terlarut lebih dalam melalui profil tanah dan masuk ke dalam air tanah.
Francis, bersama para peneliti dari AS dan negara lain, kini berencana untuk melihat secara pasti bagaimana karbon di heuweltjies disimpan. Dia menduga mikroba mengubah karbon organik menjadi bentuk mineral, yang menjelaskan mengapa gundukan tersebut sangat padat karbon.
Dia berharap penelitian baru ini akan membantu memberi nilai pada potensi penyimpanan karbon di gundukan ini, dan gundukan serupa lainnya. Menurutnya, heuweltjies mencakup seperlima dari Namaqualand, manfaat dari melestarikan gundukan tersebut, dibandingkan menggunakan lahan untuk pertanian, bisa sangat besar.
“Kita hanya dapat melakukan hal tersebut jika kita mengetahui berapa banyak karbon yang ada di dalamnya dan seberapa cepat karbon tersebut terakumulasi,” kata Francis. “Jadi yang kami coba lakukan adalah membuat orang-orang mempelajari apa yang sebelumnya tidak menarik, sehingga kami dapat benar-benar memahami apa yang sedang terjadi.”
Tulisan asli: 34,000 year old termite mounds in South Africa are still being used. Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita
Referensi:
Francis, M. L., Palcsu, L., Molnár, M., Kertész, T., Clarke, C. E., Miller, J. A., & van Gend, J. (2024). Calcareous termite mounds in South Africa are ancient carbon reservoirs. Science of The Total Environment, 926, 171760. doi:10.1016/j.scitotenv.2024.171760
Ito, A. (2023). Global termite methane emissions have been affected by climate and land-use changes. Scientific Reports, 13(1), 17195. doi:10.1038/s41598-023-44529-1