- Kekayaan laut Indonesia yang sangat besar sudah diakui oleh seluruh dunia. Salah satu buktinya, adalah keanekaragaman hayati laut yang ada di wilayah segitiga karang dunia yang masuk perairan laut Maluku, Maluku Utara, dan kepulauan di Papua
- Semua itu harus dijaga dengan baik, karena berpotensi akan mengalami kerusakan, serta mendorong semua ekosistem dan sumber daya alam yang ada di dalamnya. Harus ada upaya untuk menjaganya, agar pemanfaatan bisa berjalan baik dan terkendali
- Bentuk upaya menjaga laut, adalah dengan menerapkan neraca sumber daya laut (ocean accounts) yang diyakini akan menjadi salah satu kunci keberhasilan melaksanakan pengelolaan laut di Indonesia. Neraca SDL kemudian resmi diluncurkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
- Neraca SDL didanai oleh Global Ocean Accounts Partnership (GOAP) dan disusun berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 44 Tahun 2023. Kegiatan dilaksanakan Gili Matra, Banda, Padaido, Raja Ampat, Waigeo Barat, Anambas, Pieh, Aru, Sawu, serta Pulau Kapoposang
Pemerintah terus mengupayakan pengelolaan ruang laut nasional secara maksimal di seluruh wilayah Indonesia. Salah satu upaya lewat pengembangan neraca sumber daya laut (ocean accounts) nasional oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Bersama mahadata kelautan (ocean big data), neraca sumber daya laut (SDL) digadang-gadang menjadi dua kunci pengelolaan ruang laut nasional. Saat ini, neraca laut sudah resmi diluncurkan oleh KKP dan menempatkan Indonesia sebagai negara yang memimpin pengembangannya di dunia.
Pemerintah Indonesia meluncurkan neraca SDL, karena Indonesia memerlukannya untuk mengelola wilayah laut yang luasnya mencapai 6,32 juta kilometer persegi (km2), dengan 17.504 pulau mengitarinya. Hal itu diungkapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono belum lama ini di Jakarta.
Menurutnya, pengembangan dilakukan karena sumber daya kelautan sangat berlimpah dan bernilai ekonomi tinggi. Selain ada ekosistem mangrove yang luasnya mencapai 3,31 juta hektare (ha), ada juga ekosistem terumbu karang seluas 2,53 juta ha, dan padang lamun seluas 293.464 ha.
Menariknya, angka yang dipaparkan di atas masih bersifat sementara, karena ada yang dinamis perkembangannya. Ekosistem padang lamun misanya, dari penelitian Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), luasan di atas adalah yang sudah diteliti, atau baru 16-35 persen dari seluruh potensi yang ada.
Kemudian, laut Indonesia juga menyimpan sedikitnya 4.782 spesies ikan asli Indonesia yang menyebar di seluruh wilayah perairan. Atau, ada 300-500 jenis karang yang menasbihkan Indonesia sebagai pemilik terbanyak spesies dan jenis karang di dunia, ratusan jenis mangrove, dan puluhan jenis lamun.
Baca : Pengelolaan Ruang Laut Bergantung pada Neraca Sumber daya Laut

Fakta tersebut semakin menegaskan bahwa laut Indonesia mengandung kekayaan sumber daya alam yang sangat banyak. Semua angka tersebut tak lupa menyematkan status Indonesia sebagai pemilik terbanyak, atau terluas di dunia.
Data-data di atas sangat berguna untuk mendukung neraca sumber daya laut yang tidak lain adalah pengelolaan data yang menjelaskan sumber daya laut, interaksi dan perubahan antar waktu pada suatu wilayah perairan.
Adapun, neraca SDL sendiri di dalamnya membahas tentang aset ekosistem, arus ke ekonomi, arus ke lingkungan, ekonomi kelautan, tata kelola, presentasi kombinasi, dan kekayaan laut. Semakin lengkap data, maka semakin bagus pengelolaan wilayah laut nasional.
Progam neraca SDL di Indonesia didanai oleh Global Ocean Accounts Partnership (GOAP) dengan lokasi pendataan awal di Kawasan Konservasi (Marine Protected Area/MPA) Gili Matra. Neraca SDL disusun berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 44 Tahun 2023.
Selain KKP, ada juga Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS, Kementerian Keuangan, Badan Pusat Statistik (BPS), dan Badan Informasi Geospasial (BIG), BRIN, IPB University, dan Yayasan Rekam Nusantara.
Selain di Gili Matra, proyek percontohan pengembangan neraca sumber daya laut juga dilakukan di sembilan lokasi lain seperti Banda, Padaido, Raja Ampat, Waigeo Barat, Anambas, Pieh, Aru, Sawu, serta Pulau Kapoposang.
“Area cakupan masih akan terus diperluas hingga seluruh wilayah perairan Indonesia,” ucapnya.
Trenggono mengatakan, neraca SDL Indonesia berisikan kumpulan data sumber daya kelautan dan pesisir Indonesia yang berasal dari hasil riset dan survei. Sistem ini mengolah data secara dinamis hingga menghasilkan informasi terbaru sesuai kondisi terkini di lapangan.
Baca juga : Wawancara Pakar: Akunting Laut untuk Ketahui Potensi Maritim & Pesisir Indonesia, Seperti Apa?

Sekumpulan data tersebut kemudian diolah dan menghasilkan nilai ekonomi, ekologi, serta sosial suatu wilayah perairan laut dan pesisir. Setelah itu, neraca sumber daya laut akan bisa menganalisis dampak investasi di laut dan pesisir terhadap kesehatan ekologi untuk jangka pendek dan panjang.
“Baik itu investasi di bidang perikanan tangkap dan budi daya, pariwisata, transportasi laut, hingga pembangunan di wilayah pesisir yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan,” jelasnya.
Kemampuan tersebut bisa lebih luas lagi, karena neraca sumber daya laut juga bisa melacak wilayah lautan yang memiliki nilai ekologis dan ekonomi tinggi, maupun sebaliknya. Semua itu bisa mendukung kegiatan rehabilitasi, dan capaian target luasan kawasan konservasi laut Indonesia hingga 30 persen pada 2045.
“Dengan sistem ini kita bisa menganalisa dampak pemanfaatan ruang laut, kondisi laut secara cepat. Ini tools untuk mendukung pengambilan kebijakan pengelolaan laut berkelanjutan,” tambahnya.
Pada kesempatan lalu, dia juga menyebut kalau neraca SDL bisa memberikan kemampuan pada KKP untuk mengukur setiap kegiatan pemanfaatan ruang laut, pencemaran, dan kerusakan. Kemampuan itu diikuti dengan upaya pelestarian konservasi, rehabilitasi, dan restorasi.
“Ocean accounting juga akan memprediksi dampak dari setiap perizinan, pemanfaatan ruang laut terhadap kondisi kualitas dan fungsi ekologi laut secara jangka menengah dan panjang,” jelasnya.
Menurutnya, semakin besar angka potensi kekayaan laut di Indonesia, maka semakin besar tekanan yang harus dihadapi. Ada banyak ancaman di laut yang bisa menghancurkan atau merusak ekosistem yang sudah menjadi tempat bergantung masyarakat pesisir untuk mendapatkan penghasilan rutin.
Itu kenapa, memiliki tata kelola dan instrumen pengelolaan ruang laut yang tangguh dan dapat diandalkan menjadi hal yang penting. Harus ada instrumen yang mampu memonitor dan mengukur kualitas, serta integritas ekologi untuk mendukung ekonomi maritim yang berkelanjutan.
Dengan kata lain, neraca SDL bisa mengukur sejauh mana kualitas dan dampak pembangunan kelautan nasional yang bertujuan untuk menjaga ekologi laut. Jika demikian, maka implementasi kebijakan ekonomi biru bisa menjadi bersinergi dengan baik.
Baca juga : Sinergi Penataan Ruang Laut untuk Keseimbangan Ekosistem

Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan kalau Pemerintah Indonesia berupaya keras untuk membuat banyak terobosan agar bisa menghadirkan tata kelola laut yang berkelanjutan.
Upaya tersebut dilatarbelakangi oleh fakta bahwa aktivitas yang tinggi di ruang laut dan kawasan pesisir, diikuti dengan terus meningkatnya ancaman kerusakan akibat polusi dan perubahan iklim. Bagi dia, neraca SDL adalah jawaban dari semua ancaman tersebut, dan itu menjadi terobosan.
Melihat proses yang dilewati untuk bisa menghasilkan neraca SDL, dia menyatakan apresiasinya kepada KKP yang memimpin pengumpulan data. Keterlibatan kementerian dan lembaga (K/L) dalam proses tersebut, dinilai sebagai momen penting yang tidak boleh dilupakan publik.
“Sangat penting untuk kita menyatukan hal ini karena ini merupakan bagian dari global south collaboration,” ujarnya.
Untuk itu, dia menghimbau agar semua pihak bisa ikut terlibat dalam pengelolaan laut dengan mengutamakan pada kesehatan laut. Upaya itu bisa dilakukan dengan mencegah terjadinya kegiatan penangkapan ikan yang berlebihan dan mengembangkan budi daya perikanan yang berkelanjutan.
“Perlu diingat, perubahan iklim juga sangat terpengaruh oleh laut,” tambahnya.
Baca juga : Iskindo: Amburadul Pengelolaan Laut Indonesia

Kekayaan Indonesia
Menurutnya, penyusunan neraca SDL sangat penting karena Indonesia adalah negara kepulauan besar di dunia dengan potensi sumber daya maritim yang besar. Selain itu, letak geografis Indonesia juga ada di lokasi yang strategis, dengan populasi penduduk terbesar keempat di dunia.
Dia menguraikan, saat ini Indonesia menjadi negara pemilik keanekaragaman hayati dengan hampir 8.500 biota laut, 12 juta ton per tahun potensi produksi perikanan berkelanjutan, lebih dari 50 juta ton/tahun potensi produksi perikanan laut, dan kabel laut sepanjang 115.000 km.
Semua itu, diakuinya bisa mendukung arus digitalisasi nasional maupun global serta potensi karbon biru dan energi baru terbarukan. Hanya sayang, sebagian besar laut Indonesia masih belum dieksplorasi, dan itu mendorong munculnya kegiatan eksplorasi ilmiah bersama OceanX.
“Kita mencoba mengungkap hal yang baru dengan mengeksplorasi laut dalam dan juga memahami tentang perubahan iklim,” terangnya.
Berdasarkan pernyataan dari BPS dan KKP, Luhut menyebut kalau kontribusi Industri maritim saat ini masih sangat rendah. Hal itu yang mendorong pemerintah untuk terus melakukan eksplorasi sumber daya maritim yang berkelanjutan, terutama melalui ekonomi biru.
Latar belakang tersebut semakin memotivasi Indonesia untuk terus melakukan tindakan nyata bagaimana melindungi dan memanfaatkan laut dengan benar. Salah satunya, dengan menggerakan kegiatan budi daya rumput laut skala besar dengan mekanisasi dan teknologi.
Kemudian, melaksanakan program rehabilitasi 600.000 ha mangrove, melakukan penanganan sampah plastik di laut dengan target sebesar 70 persen hingga akhir 2025. Semua itu, menjadi upaya optimalisasi potensi sumber daya maritim yang ada di Indonesia.

Pendekatan yang sudah dilakukan itu, diharapkan bermuara pada terwujudnya pengelolaan laut yang berkelanjutan. Itu sebabnya, tujuan tersebut diupayakan melalui berbagai cara, termasuk menerapkan model Blue Halo S.
Model tersebut terintegrasi dengan pendekatan komprehensif dalam mengelola konservasi sumber daya kelautan dan perikanan, termasuk proyek restorasi terumbu karang untuk mengurangi dampak pemutihan karang dan mangrove yang sudah dilakukan oleh Indonesia.
Model Blue Halo S adalah pendekatan yang terintegrasi dan komprehensif untuk mengelola konservasi sumber daya alam kelautan dan perikanan. Termasuk, di dalamnya adalah lingkaran ekologi dan ekonomi antara produksi dan perlindungan laut.
Saat bekerja, Blue Halo S di Indonesia akan fokus untuk menjalankan perlindungan sumber daya dan ekosistem, memproduksi karbon biru, mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim, dan mendukung kemajuan ilmu kritis.
Kemudian, Blue Halo S juga akan fokus untuk memberdayakan masyarakat lokal, mendorong investasi di perikanan tangkap, dan menciptakan pasar yang lebih besar untuk produk perikanan yang diproduksi di seluruh Nusantara.
Blue Halo S dikembangkan agar di masa mendatang kegiatan konservasi dan pengelolaan perikanan bisa dibiayai secara mandiri. Untuk itu, di masa mendatang model tersebut ditargetkan bisa mengumpulkan dana minimal senilai USD30 miliar dengan skema pendanaan bersama atau blended financing.
Pengenalan model baru tersebut dilakukan pada sesi khusus Konferensi Ocean20 yang digelar pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kelompok Negara 20 (G20) 2022 yang berlangsung di Nusa Dua, Bali pada 13 November 2022.
Selain Blue Halo S, Indonesia juga telah menggagas G20 Bali Global Blended Finance, National Blue Agenda Actions Partnership (NBAAP), Archipelagic and Island States Forum (AIS Forum) dan Ocean 20 (O20) yang sekarang memiliki keterlibatan dalam G20.
Semua itu akan mendorong upaya kolaboratif internasional untuk menyamakan persepsi bahwa lautan kita bukan hanya tanggung jawab kita, tapi lautan adalah garis hidup kita. Dengan demikian, diharapkan semua memiliki kepedulian yang sama dan berkomitmen untuk ikut menjaga laut sepanjang masa.

Pada 2022, Senior Vice President sekaligus Executive Chair Konservasi Indonesia Konservasi Indonesia Meizani Irmadhiany menyebut kalau Blue Halo S akan diuji coba di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) 572 di perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda.
Uji coba yang dimaksud, di antaranya mencakup investasi dalam perlindungan dan rehabilitasi ekosistem karbon biru (EKB); dukungan untuk perluasan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan laut; pengelolaan perikanan berkelanjutan; dan pembangunan ekonomi biru yang inklusif.
“Semua hal itu diharapkan dapat berkontribusi terhadap peningkatan mitigasi, adaptasi, dan ketahanan iklim di Indonesia,” ucapnya.
Penerapan model baru tersebut, menjadi penegas bahwa Indonesia adalah negara pemimpin di dunia dalam upaya perlindungan laut. Model tersebut dinilai bisa meningkatkan kemampuannya secara mandiri dan bisa diterapkan di lokasi lain.
“Indonesia telah lama menjadi yang terdepan dalam perlindungan laut, jadi kami senang melihat kerangka kerja Blue Halo S dilakukan uji coba sini. Kami optimis ke depannya model ini juga dapat diadaptasi untuk ekosistem laut di wilayah lain di dunia,” tegasnya.
Co-Director Sekretariat GOAP Ben Milligan mengapresiasi keberhasilan Indonesia mengembangkan neraca SDL sebagai bagian dari pengelolaan laut yang berkelanjutan. Tanpa ragu, dia menasbihkan Indonesia negara pemimpin di dunia untuk neraca SDL.
Bagi dia, Indonesia sudah berhasil memperlihatkan kepemimpinan yang hebat dalam pengembangan neraca SDL, dan bisa menjadi percontohan bagi negara lain yang sedang berjuang untuk mengembangkannya.
Itu adalah upaya kolaboratif pemerintah dan para mitra dalam menciptakan pendekatan berbasis data yang komprehensif untuk pengelolaan sumber daya laut. Dia yakin itu akan berkontribusi signifikan untuk pengembangan laut global yang berkelanjutan. (***)