- Ketika mengunjungi Pulau Pari, Kepulauan Seribu, panorama pantai nan indah. Ada Rengge, Perawan dan Bintang, tiga pantai di pulau ini yang bisa dikatakan selalu ramai pengunjung. Meski begitu, di balik keindahan alam Pulau Pari, menyimpan berbagai persoalan seperti terdampak krisis iklim dari abrasi parah, dan banjir pasang laut (rob), sampai konflik lahan dengan perusahaan pengembang, PT Bumi Pari Asri.
- Dampak krisis iklim menyebabkan kerugian ekonomi bagi warga Pulau Pari. Dari hasil tangkapan laut menurun, pertanian gagal panen, banjir rob hingga abrasi warga alami. Kondisi ini mendorong warga Pulau Pari mengajukan gugatan ke Holcim, perusahaan semen yang berbasis di Swiss. Kini, gugatan masih proses.
- Selain berhadapan dengan dampak krisis iklim hingga melakukan gugatan iklim ke Pengadilan Swiss, masyarakat Pulau Pari pun berkonflik dengan perusahaan pengembang.
- Pulau Pari merupakan pulau penuh perjuangan. Masyarakat bertahan hidup di Pulau Pari dari mengelola hasil laut maupun berkebun. Mereka juga bergotong royong menata pulau hingga bisa jadi tujuan wisata.
Ketika mengunjungi Pulau Pari, Kepulauan Seribu, panorama pantai nan indah. Ada Rengge, Perawan dan Bintang, tiga pantai di pulau ini yang bisa dikatakan selalu ramai pengunjung. Meski begitu, di balik keindahan alam Pulau Pari, menyimpan berbagai persoalan seperti terdampak krisis iklim dari abrasi parah, dan banjir pasang laut (rob), sampai konflik lahan dengan perusahaan pengembang, PT Bumi Pari Asri.
“Kami hanya ingin hidup tenang dan damai di Pulau Pari. Karena kami sudah sejahtera dengan laut kami,” kata Asmania, Ketua Kelompok Perempuan Pulau Pari.
Perempuan 41 tahun ini mengatakan, Pari merupakan pulau penuh perjuangan. Masyarakat bertahan hidup di Pulau Pari dari mengelola hasil laut maupun berkebun. Mereka juga bergotong royong menata pulau hingga bisa jadi tujuan wisata.
Gugatan iklim di Pengadilan Swiss
Dampak krisis iklim menyebabkan kerugian ekonomi bagi warga Pulau Pari. Dari hasil tangkapan laut menurun, pertanian gagal panen, banjir rob hingga abrasi warga alami. Kondisi ini mendorong warga Pulau Pari mengajukan gugatan ke Holcim, perusahaan semen yang berbasis di Swiss.
Empat warga Pulau Pari mewakili gugatan, yakni, Asmania, Arif Pujiyanto, Mustaghfirin (Bobby), dan Edi Mulyono. Gugatan ini sudah resmi mereka layangkan ke Pengadilan Wilayah Zug, Swiss, Oktober 2022.
Pada pertengahan Oktober 2023, Pengadilan Wilayah Zug menyetujui permintaan bantuan hukum warga Pulau Pari. Dalam putusannya, pengadilan mempertimbangkan bahwa keempat penggugat yang berasal dari Indonesia berhak mendapatkan bantuan hukum.
Keputusan ini juga menegaskan pengakuan hak asasi manusia atas akses terhadap pengadilan independen di Swiss bagi orang-orang dari negara Selatan. Meski begitu, proses gugatan masih panjang.
Asmania, warga penggugat menyatakan, perlu diskusi selama tiga tahun sampai akhir berani menggugat bersama warga lain.
Perubahan terjadi di Pulau Pari membulatkan niat mereka. “Dulu banyak jenis ikan, sekarang udah mulai banyak yang hilang. Dulu kita pembudidaya rumput laut sekarang ketika mengalami krisis iklim ini, boro-boro panen rumput laut, kita seminggu nanam, seminggu aja udah putih rumput laut kita, itu saking panasnya air laut itu juga ternyata dampak perubahan iklim,” katanya.
Holcim dituding sebagai biang krisis iklim yang menerpa Pulau Pari. Perubahan iklim menyebabkan 11% permukaan Pulau Pari terendam.
Institut Akuntabilitas Iklim atau Climate Accountability Institute menempatkan, Holcim dalam Carbon Majors atau 100 perusahaan penyumbang 70% emisi global.
Perusahaan ini merupakan produsen bahan bangunan terbesar di dunia, mengoperasikan 266 pabrik semen dan stasiun penggilingan di seluruh dunia, serta memimpin pasar global untuk industri semen.
Dalam gugatannya, warga Pulau Pari menuntut Holcim mengurangi emisi gas rumah kaca 43% pada 2030 dan 69% pada 2040.
Holcim juga dituntut menanggung biaya tindakan mitigasi perubahan iklim yang diperlukan di Pulau Pari, termasuk penanaman bakau dan pertahanan banjir.
Asmania mengatakan, krisis iklim juga menyebabkan musim yang tak dapat diprediksi lagi. Hal ini merugikan nelayan yang hendak mencari ikan di laut. Belum lagi hasil tangkapan yang tidak menentu.
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir, Laut, dan Pulau-Pulau Kecil Eksekutif Nasional Walhi, mengatakan, gugatan iklim warga Indonesia baru pertama kali terjadi di level internasional.
Dia bilang, di Indonesia belum biasa gugatan iklim tetapi di mancanegara sudah banyak.
Gugatan iklim yang dilayangkan Asmania dan kawan-kawan itu, katanya, juga menginspirasi warga negara lain di Asia, seperti Filipina, Bangladesh da Thailand.
Dia mengatakan, upaya gugatan iklim ini paling realistis dengan kebutuhan sistem hukum nasional.
Gugatan ini, katanya, untuk membuktikan bahwa perusahaan penyumbang emisi seharusnya bertanggung-jawab atas krisis iklim.
Pertahankan lahan
Selain berhadapan dengan dampak krisis iklim hingga melakukan gugatan iklim ke Pengadilan Swiss, masyarakat Pulau Pari pun berkonflik dengan perusahaan pengembang.
Tiga dekade sudah masyarakat Pulau Pari mempertahankan ruang hidup mereka. Persoalan bermula pada 1993. Kala itu, kata Asmania, warga diminta kelurahan untuk mengumpulkan surat girik.
Surat tak kunjung dikembalikan, baru pada 2015 muncul sertifikat atas nama BPA yang mengakui 90% memiliki lahan di pulau yang dihuni sekitar 400 keluarga ini.
Masyarakat merasa tindakan itu untuk mengusir mereka dari tanah kelahiran. Mereka kompak melawan, mempertahankan Pulau Pari.
Menjaga pulau pun masyarakat perluat dengan menggencarkan penataan. Pantai-pantai yang tadinya penuh semak belukar warga bersihkan hingga layak dikunjungi. Akhirnya, Pulau Pari jadi icon wisata di Jakarta. Antara lain, ada Pantai Perawan dibuka pada 2010, Pantai Bintang pada 2014 dan Pantai Rengge pada 2018.
Pantai Rengge, kata Asmania, dahulu tak dilirik wisatawan karena hanya semak belukar yang menutup jalan. Warga pun bergotong royong membersihkan pantai dan membuka akses jalan.
“Ini pantai penuh perjuangan untuk kami warga Pulau Pari, terutama perempuan-perempuan disini. Pantai yang kami kelola,” katanya.
Upaya mempertahankan lahan ini pun menyebabkan beberapa kali warga berurusan dengan hukum.
Dia bilang, setidaknya, enam warga Pulau Pari dikriminalisasi, empat sempat mendekam di balik jeruji karena dituduh menyerobot lahan BPA dan melakukan pungutan liar (pungli).
Ada Edi Priadi, kini berusia 71 tahun. Saat usia 62 tahun dia dilaporkan perusahaan atas tuduhan penyerobotan lahan dan vonis empat bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut).
Pada 2017, Sulaiman alias Khatur yang kala itu menjabat sebagai Ketua RW 04 di Pulau Pari dilaporkan perusahaan atas tuduhan serupa dengan Edi Priadi. Tuduhan tidak terbukti, November 2018, Sulaiman dinyatakan tak bersalah oleh PN Jakut.
Setelah Sulaiman, masih tahun sama, enam warga Pulau Pari diringkus kepolisian. Tiga dipenjara yakni Mustaghfirin alias Bobby, Mastono alias Baok, dan Bachrudin alias Edo.
Mereka dinyatakan bersalah oleh PN Jakut atas tuduhan pemerasan dengan kekerasan dan vonis 6 bulan 12 hari. Meski begitu, mereka akhirnya dinyatakan tak bersalah dan bebas pada 5 September 2018 setelah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Putusan itu diperkuat putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi perusahaan pada April 2022.
Jerat hukum tak melemahkan semangat warga, mereka tetap kuat mempertahankan ruang hidup.
“Pulau ini, ruang hidup dan sumber kehidupan kami,” kata Asmania. (Habis)
*********