- Para ilmuwan telah lama memperdebatkan soal pemberian nama sains yang benar-benar bisa memberi kontribusi pada pengetahuan dan bebas dari prasangka.
- Kongres Botani Internasional menyepakati mengganti semua nama tanaman, jamur, dan alga yang mengandung kata caffra dan menggantinya menjadi affra.
- Caffra bisa berarti hinaan terhadap orang kulit hitam. Sementara affra yang lebih netral berarti menunjuk asal-usul dari Afrika.
- Kongres juga menyepakati untuk membentuk komite khusus yang akan memutuskan nama untuk spesies baru yang ditemukan dan membatalkannya jika dianggap merendahkan suatu kelompok atau ras tertentu
Para ilmuwan telah lama memperdebatkan soal pemberian nama sains yang benar-benar bisa memberi kontribusi pada pengetahuan dan bebas dari prasangka. Akhirnya, untuk pertama kalinya ilmuwan menyepakati mengganti nama ilmiah yang berbau rasis.
Langkah penting itu diambil pada Kongres Botani Internasional yang diselenggarakan di Madrid, Spanyol 21 hingga 27 Juli lalu. Kongres menyepakati mengganti semua nama tanaman, jamur, dan alga yang mengandung kata caffra dan menggantinya menjadi affra.
Caffra bisa berarti hinaan terhadap orang kulit hitam. Sementara affra yang lebih netral berarti menunjuk asal-usul dari Afrika. Misalnya, Erythrina caffra akan menjadi Erythrina affra untuk pohon koral pantai berbunga warna merah dari Afrika.
Kongres juga menyepakati untuk membentuk komite khusus yang akan memutuskan nama untuk spesies baru yang ditemukan dan membatalkannya jika dianggap merendahkan suatu kelompok atau ras tertentu. Keputusan berlaku efektif 2026 mendatang.
“Ini adalah langkah awal yang sangat monumental dalam menangani kasus yang telah menjadi masalah nyata dalam bidang botani dan juga dalam ilmu biologi lainnya,” kata Sandy Knapp, ahli botani yang memimpin sidang, mengutip The Guardian.
Sidang berlangsung cukup alot, yang memakan waktu enam hari, dan menghasilkan pemungutan suara 351 peneliti mendukung dan 205 menentang.
Baca : Mengapa Tumbuhan Ini Dinamakan Kumis Kucing?

Perubahan dan penghilangan kata caffra dari nama spesies itu diusulkan oleh ahli taksonomi tumbuhan Gideon Smith dan Estrela Figueiredo dari Universitas Nelson Mandela, Afrika Selatan.
“Kami sangat senang dengan penghapusan hinaan rasial secara retroaktif dan permanen dari nomenklatur botani,” kata Smith, masih menurut situs The Guardian.
Beban Nama
Coba eja nama ini. Myxococcus llanfairpwllgwyngyllgogerychwyrndrobwllllantysiliogogogochensis. Bukan hanya sulit melafalkan, mengingat namanya pun susah. Namun nama sains untuk bakteri tanah ini benar-benar ada. Nama ini berasal dari sebuah desa di Wales, Inggris.
Ada pula kumbang gua buta bernama Anophtalmus hitleri. Lalu spesies baru kaki seribu bernama Nannaria swiftae. Jika yang disebut pertama merujuk pada tokoh diktator Hitler, nama kedua merujuk pada artis Taylor Swift.
Sebagian ilmuwan beranggapan, kekonyolan dan kontroversi nama sains seperti itu harus diakhiri. Selama ini nama sains terdiri dari dua kata yang disebut binomial nomenclature. Kata di depan menunjuk genus, sementara kata yang mengikutinya menunjuk spesies. Aturan dibuat agar ringkas, mudah dipahami, dan diverifikasi. Namun pada praktiknya, persoalan pemberian nama memang tidak semudah yang dikira.
Baca juga : Mabuk Kecubung, Efek Berbahaya Tumbuhan Herbal yang Disalahgunakan

Siapa yang berhak memberi nama satu spesies? Hak itu diserahkan kepada orang yang pertama kali menemukan dan mendeskripsikan spesies baru. Di sinilah kerap muncul bias dari penemu spesies baru. Alih-alih agar satu spesies memiliki nama yang menunjuk keunikan spesies tertentu. Tak jarang si penemu sengaja menyematkan nama tokoh yang dikagumi untuk spesies baru temuannya, atau tanpa sadar memberi nama dengan kata yang tidak bisa diterima dalam kebudayaan tertentu.
Namun membebaskan pengetahuan dari prasangka nyaris seperti utopia. Apalagi praktik-praktik diskriminasi telah berlangsung lama. Hingga sangat mungkin pengaruhnya belum hilang sampai kini.
Sebuah artikel dalam Jurnal Plants People Planet menyorot beberapa prasangka itu sambil berharap tumbuhnya komunitas ilmiah yang inklusif dan adil. Penamaan tanaman sejauh ini memang belum memberi porsi yang adil.
Misalnya, masih lebih banyak penamaan tanaman yang memakai nama pria dibanding perempuan. Begitupun dengan banyaknya nama orang kulit putih yang disematkan pada nama ilmiah dibanding yang lain. Jikapun ada nama perempuan atau kulit hitam, belum tentu hal itu melewati jalan yang mudah.
Seperti diketahui, pada masa kolonial, misi penaklukkan sekaligus dilakukan dengan cara mengirim ilmuwan ke berbagai belahan dunia untuk mengumpulkan spesimen flora dan fauna. Ini menyebabkan nama-nama ilmiah yang diberikan pertama kali cenderung mewakili kepentingan penjajah.
Baca juga : Papirus, Tumbuhan yang Menyertai Sejarah Peradaban Manusia

Contohnya adalah nama genus Hibbertia, untuk tanaman hias yang secara umum dikenal sebagai bunga tumbuhan semak yang berwarna mencolok yang indah seukuran koin. Nama itu berasal dari George Hibbert, pemilik budak bahkan penentang penghapusan perbudakan.
Contoh lainnya, meski nama-nama spesies telah memiliki nama lokal namun nama dengan bahasa lokal itu diabaikan. Sebuah tim peneliti dari Selandia Baru pernah menghitung hanya ada kurang dari 1.300 nama ilmiah berbahasa Maori dari sekitar 80 ribu spesies asli Maori.
Melestarikan nama pendukung perbudakan dan kolonialisme pada nama sains, seperti menanggung beban sejarah yang akan terus diwariskan kepada generasi mendatang. Oleh karenanya sebagian berpikir perlunya penataan ulang nama sains untuk menghentikan pelanggengan ketidakadilan dalam ilmu pengetahuan. (***)