- Perilaku menguap yang menular atau contagious yawning [CY], mungkin adalah sifat bawaan yang telah berevolusi sejak jutaan tahun lalu pada nenek moyang terakhir manusia dan kera besar.
- Kesimpulan ini diperoleh setelah sebuah penelitian melibatkan pengamatan terhadap delapan individu orangutan yang ikut menguap saat ditunjukkan video orangutan lain yang menguap.
- Perilaku meniru menguap juga dilakukan oleh spesies kera besar lain, seperti simpanse dan bonobo, tetapi tidak pada gorilla. Dan ini masih menjadi teka-teki para peneliti.
- Alasan dibalik perilaku menguap ini sering dikaitkan dengan beragam hubungan sosial. Bagi orangutan, hal ini menjadi unik karena mereka merupakan spesies semi-soliter, meskipun sempat sangat sosial sebelumnya.
Pernahkah Anda menguap saat melihat teman di sebelah melakukannya? Dan sejak kapan perilaku menular ini ada?
Sebuah penelitian terhadap delapan individu orangutan, mengungkap bahwa menguap menular [contagious yawning/CY], mungkin adalah sifat bawaaan yang telah berevolusi sejak jutaan tahun lalu.
“Kami menyimpulkan bahwa CY kemungkinan besar sudah ada pada nenek moyang terakhir manusia dan kera besar, meskipun diperlukan bukti yang lebih konvergen,” tulis Evy van Berlo dan kolega [2020] di Nature, edisi 17 Desember 2020.
Untuk memperoleh kesimpulan tersebut, para peneliti menunjukkan video orangutan yang menguap kepada sekelompok orangutan lain. Hasilnya, orangutan yang menonton video itu cenderung ikut menguap.
Namun, menurut penelitian yang sama, orangutan tidak meniru menguap saat melihat video animasi [avatar] orangutan yang menguap.
“Dan menariknya, CY terjadi terlepas dari apakah spesies yang sama itu kenal atau tidak.”
Baca: Penelitian: Kera Besar Memiliki Selera Humor Seperti Manusia
Menguap perilaku unik
Faktor sosial seperti kedekatan hubungan mungkin tidak selalu menjadi alasan utama dalam meniru perilaku pada orangutan. Mungkin, ada hal lain yang lebih berpengaruh, seperti situasi sosial atau karakteristik individu itu sendiri.
“Seperti yang telah ditunjukkan oleh orang lain, menyelesaikan masalah ini memerlukan studi CY lebih sistematis mencakup lebih banyak jenis hewan. Termasuk, hewan soliter seperti reptil dan amfibi,” lanjutnya.
Uniknya lagi, perilaku meniru menguap juga dilakukan oleh spesies kera besar lain, seperti simpanse dan bonobo, tetapi tidak pada gorilla. Dari sudut pandang evolusi, gorilla lebih dekat hubungannya dengan manusia, seharusnya gorila yang lebih dulu punya kemampuan meniru menguap.
Ada kemungkinan bahwa CY hilang dalam garis keturunan gorilla, atau CY berkembang beberapa kali selama evolusi. Hilangnya CY secara teoritis mungkin terjadi, mengingat CY telah ditemukan tidak pada semua primata.
“Singkatnya, temuan kami berkontribusi untuk memahami dasar evolusi CY pada hominid, dengan menunjukkan bahwa orangutan, seperti manusia, simpanse, dan bonobo, menguap secara menular,” kata van Berlo dan kolega.
Baca: Kera Besar Ternyata Bisa Mengingat Teman dan Keluarganya yang Puluhan Tahun Tak Jumpa
Perilaku menguap erat dengan hubungan sosial
Penyebab atau alasan perilaku meniru untuk ikut menguap masih misteri dan ini menjadi topik menarik dalam penelitian perilaku. Teori paling populer adalah CY mungkin terkait erat dengan kemampuan kita untuk memahami dan merasakan perasaan orang lain, yang kita kenal sebagai empati.
Teori ini didukung oleh temuan bahwa aktivitas otak pada area yang terkait dengan empati meningkat saat kita mengalami CY. Lebih jauh lagi, individu yang mendapat skor rendah pada skala empati cenderung tidak terlibat dalam CY.
“Perempuan lebih sering menguap ketimbang laki-laki. Ini mencerminkan gagasan bahwa perempuan menunjukkan tingkat empati lebih tinggi dari laki-laki, karena investasi mereka dalam perawatan keturunan,” tulis van Berlo.
Selain teori hubungan sosial, perilaku menguap bisa jadi juga sebagai cara untuk membantu kelompok kita tetap waspada. Misalnya, jika ada bahaya, seseorang mungkin menguap untuk memberi sinyal kepada yang lain agar lebih hati-hati.
“Dalam hipotesis koordinasi sosial ini, CY, pada gilirannya, dapat membantu menyebarkan kewaspadaan dalam kelompok. Misalnya, untuk tetap waspada terhadap predator potensial.”
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa faktor lain, seperti stres atau kebosanan, juga bisa memicu menguap.
“Singkatnya, meskipun CY kemungkinan merupakan fenomena sosial, mekanisme pastinya tetap menjadi bidang investigasi yang aktif,” urainya.
Baca juga: Demi Bercinta, Agresivitas Bonobo Jantan Ternyata Melebihi Simpanse
Evolusi orangutan menjadi soliter
Orangutan memiliki sifat semi-soliter, namun di masa lalu mereka mungkin lebih sosial. Tetapi, karena ketersediaan makanan yang rendah dalam jangka waktu lama, sifat suka berkelompok orangutan tidak lagi dapat dipertahankan.
Dalam penelitian Harrison & Chivers [2007], evolusi orangutan sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim di Asia Tenggara. Dengan menyusutnya hutan tropis dan perluasan padang rumput, nenek moyang orangutan terdorong ke wilayah lebih stabil secara iklim.
Namun, kemunculan El Niño sekitar 3-5 juta tahun lalu menyebabkan peningkatan signifikan dalam durasi dan keparahan periode kekurangan makanan.
“Akibatnya, orangutan betina harus menyebar lebih luas untuk mencari makan dan mengurangi interaksi sosial dalam kelompok,” tulis penelitian tersebut.
Dengan kata lain, perubahan iklim telah menjadi faktor pendorong utama dalam evolusi sistem perkawinan orangutan, memaksa mereka beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang semakin tidak menentu.
Orangutan merupakan satu-satunya kera besar di Asia, yang hanya ditemukan di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Mayoritas, sekitar 85 persen, orangutan terdapat di Indonesia [Sumatera dan Kalimantan], sementara 15 persen berada di Sabah dan Sarawak, Malaysia.
Dikutip dari Borneo Orangutan Surival [BOS] Foundation dalam laman orangutan.or.id, tiga spesies orangutan hidup di Indonesia yaitu Pongo pygmaeus [orangutan kalimantan], Pongo abelii [orangutan sumatera], dan Pongo tapanuliensis [orangutan tapanuli].
Sebagai spesies kunci, orangutan berperan penting dalam kesehatan ekosistem hutan tropis, habitat mereka. Mereka berperan penting menebar biji berbagi jenis buah dan memiliki jelajah yang jauh.
International Union for Conservation of Nature [IUCN] menyatakan ketiga spesies itu berstatus Kritis [Critically Endangered/CR], atau satu langkah lagi menuju kepunahan di alam liar [Extinct In The Wild/EW].
Referensi:
Harrison, M. E., & Chivers, D. J. (2007). The orang-utan mating system and the unflanged male: A product of increased food stress during the late Miocene and Pliocene? Journal of Human Evolution, 52(3), 275–293.
van Berlo, E., Díaz-Loyo, A. P., Juárez-Mora, O. E., Kret, M. E., & Massen, J. J. M. (2020). Experimental evidence for yawn contagion in orangutans (Pongo pygmaeus). Scientific Reports, 10(1), 22251. https://doi.org/10.1038/s41598-020-79160-x
Foto: Paula Pasto, Orangutan Sumatera “Penghuni” Stasiun Penelitian Soraya