- Pertambangan mengeruk tanah dan bebatuan di Kelurahan Sampang, Kapanewon Gedangsari, Gunungkidul, Yogyakarta, untuk material urukan proyek jalan Tol Solo-Jogja, meningkat drastis sejak 2022. Perusahaan beroperasi walau tak perizinan lengkap, bahkan tanah kas desa pun dipakai tanpa sepengetahuan warga.
- Operasi tambang yang mengeruk bukit menuai protes warga Gunungkidul. Mereka protes, bahkan sampai ada yang sempat dilaporkan ke polisi. Warga menemukan, pertambangan berjalan sebelum izin lengkap dan pakai tanah kas desa tanpa izin. Warga pun gugat ke pengadilan.
- Gugatan hukum warga sedang proses di Pengadilan Wonogiri. Pasca gugatan warga, perusahaan mulai menarik alat berat, pertambangan setop beroperasi.
- Walhi Yogyakarta menilai, sejak ada proyek strategis nasional ini memantik tambang ilegal di Jogja. Rizki Abiyoga, dari Devisi Advokasi Walhi Yogyakarta, mengatakan, tambang untuk material Tol Jogja-YIA memperparah kondisi ekologis Gunungkidul.
Anak-anak SDN Kedung Bolong, Kelurahan Sampang, Kapanewon Gedangsari, Yogjakarta, terpaksa menghisab debu dan kebisingan aktivitas tambang tanah dan batu. Sekolah di ujung utara Gunungkidul itu tepat di depan seberang jalan dari penambangan tanah untuk Tol Jogja-Solo.
Alat berat berbenturan dengan tanah yang merobohkan bukit terdengar keras Februari lalu. Tanah dan batuan dikeruk, masuk ke puluhan truk menyebabkan debu pekat. Lalu lintas truk angkutan material uruk juga berseliweran.
Jarak gedung sekolah dengan pertambangan sekitar 50 meter. Proses belajar mengajar terganggu saat itu dan banyak orang tua siswa protes tambang. Mereka khawatir gangguan kesehatan juga keselamatan anak-anaknya.
Pengalaman buruk pernah mereka alami. Pada 2023, truk pengangkut tambang itu menabrak pagar sekolah. Pagar jebol, hingga kini hanya ditutup seng. Mereka was-was kalau sampai menyebabkan korban jiwa.
Protes para wali murid itu antara lain disampaikan ke Sularno, tokoh masyarakat di daerah itu untuk dapat dukungan. Mereka kerap berkumpul di rumah Sularno membahas risiko dan langkah antisipasi.
“Saking frustasinya ada orang tua yang sampai mau memindahkan anaknya, karena bingung juga bagaimana menghadapinya,” kata Sularno, Juni lalu.
Tak hanya siswa terdampak dari pertambangan, masyarakat sekitar juga dirugikan. Sularno bilang, warga Sampang paling rasakan adalah kerusakan jalan karena tiap hari ada puluhan truk lalu lalang dengan muatan berat. Pengangkutan material uruk untuk jalan tol dengan status proyek strategis nasional itu juga merusak drainase di pinggiran jalan.
Kerusakan infrastuktur itu menyebabkan genangan air di jalan yang mengganggu aktivitas warga saben hari saat musim hujan. Pekarangan rumah warga di pinggiran jalan juga banjir.
Ratman, warga Sampang, mengatakan, pekarangan rumah banjir. Dia sudah memperbaiki drainase secara mandiri– awalnya tiga kali Pemerintah Kelurahan Sampang bangun— tetapi tetap rusak karena terus dilewati truk tambang.
Dia bilang, sudah melaporkan kerusakan drainase ke penambang dan Kelurahan Sampang. “Laporan saya hanya dicuekin saja, tidak digubris sama sekali,” katanya.
Ratman pun bersama Sularno menolak pertambangan di desa itu. Warga sepakat menolak pertambangan dengan mulai menguji keabsahan aktivitas tambang ini.
Mereka duga legalitas pertambangan bermasalah karena minim sosialisasi maupun pelibatan partisipasi warga. Sosialisasi oleh perusahaan, PT Pueser Bumi Sejahtera (PBS), hanya melibatkan segelintir orang.
“Hanya warga yang sudah dikondisikan untuk menerima yang mengikuti sosialisasi. Kami tidak tahu awalnya bakal ada tambang di desa kami,” katanya.
Gunakan tanah kas desa tanpa izin
Usut punya usut, penelusuran warga Sampang yang menolak tambang menemukan indikasi perizinan belum lengkap. Malah, ada tanah kas desa dipakai tanpa izin.
Operasi menambang tanah kas desa itu jadi menguatkan warga Sampang menolak tambang. Warga sempat memblokade jalan masuk area pertambangan. Perlawanan warga itu direspon dengan pelaporan ke Polres Gunungkidul.
Suparman, warga Sampang yang dilaporkan ke polisi hanya gara-gara mencabut plang kecil PBS. Plang kecil itu, katanya, tak seberapa dibandingkan kerusakan lingkungan dampak pertambangan itu. “Akhirnya dimediasi di Polres Gunungkidul, lalu tidak ada tuntutan atau langkah hukum lanjutan seperti penjara atau lainnya.”
Meskipun begitu, Suparman tak surut atau tak takut menolak tambang.
Warga gugat hukum
Warga melayangkan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Wonosari dengan memperkarakan Lurah Sampang dan PBS. Pokok materi gugatan karena kedua pihak melakukan perbuatan melawan hukum memakai tanah desa untuk pertambangan tanpa izin. Pengadilan Negeri Wonosari menyidangkan perkara ini awal Mei lalu dan hingga kini masih berlangsung.
“Kami tempuh jalur hukum agar kejadian dilaporkan polisi atau upaya lain tidak terjadi lagi,” kata Suparman.
Setelah gugatan warga, perusahaan mulai menarik alat berat, pertambangan setop beroperasi.
Data Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, Energi dan Sumber Daya Mineral (DPUP-ESDM) Yogjakarta, PBS punya surat izin pertambangan batuan (SIPB). Dari SIPB itu DPUP-ESDM Jogja memiliki peta ruang pertambangan PBS, dengan lokasi menjorok ke dalam dan agak berjauhan dari jalan. Dalam perjalanan, tambang berada persis di pinggir jalan.
Perizinan PBS diperoleh dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). SIPB yang sudah dimiliki itu tak serta merta membuat perusahaan asal Boyolali, Jawa Tengah itu bisa menambang. Perlu ada izin turunan seperti rencana pertambangan dan dokumen analisis lingkungan yang diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergup) Jogjakarta No.39/2022 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan.
Sayangnya, dokumen perencanaan penambangan dan analisis lingkungan PBS tak terpenuhi saat mulai pertambangan. DPUP-ESDM Jogja meminta perusahaan menghentikan aktivitas.
Sebelum lengkap, pertambangan di Sampang dilarang. Baru pada pertengahan 2023, perusahaan itu memiliki dokumen wajib itu.
Untuk penggunaan tanah desa tanpa izin dikonfirmasi Dinas Pertanahan dan Tata Ruang (Dispertaru) Jogja. Permohonan menggunakan tanah kas desa pernah diajukan Pemerintah Kelurahan Sampang tetapi setelah beroperasi.
Pengajuan izin itu disampaikan ke Panitikismo—lembaga Kraton Yogyakarta yang mengurusi Sultan Ground–pada 12 Oktober 2023, jauh setelah pertambangan pertama kali dilakukan. Permohonan itu ditolak Dispertaru Jogja. Ia tertuang dalam Surat Dispertaru Jogja No.143/21469 ditandatangani sang kepala, Adi Bayu Kristianto.
Saat dikonfirmasi Bayu membenarkan. Alasan penolakan tanah desa yang terlanjur ditambang itu karena Kasultanan tak mengizinkan.
“Pesan utama Sultan terkait pengelolaan tanah kas desa fokus untuk penanganan kemiskinan, didorong untuk dikelola warga miskin, bukan untuk pertambangan seperti itu,” katanya.
Turisti Hindriya, Direktur PBS akui pertambangan mereka untuk uruk Tol Jogja-Solo. Dia juga mengkonfirmasi soal perizinan belum lengkap saat mulai menambang di Sampang. Namun, katanya, kehendak menambang sebelum izin lengkap itu bukan inisiatif perusahaan, melainkan perintah dari BKPM.
BKPM memerintahkan PBS segera menambang setelah SIPB terbit. Klaim Tusiti, paling lambat 30 hari setelah izin terbit. “Jadi ini bukan karena kami, ini perintah dari pemberi izin, jika tidak kami lakukan SIPB akan dibatalkan.”
Mau tak mau penambangan mereka lakukan, meskipun izin belum lengkap. DPUP-ESDM Jogja menginspeksi tambang di Kelurahan Sampang ini. “Lalu kami jelaskan kondisi kami itu ke dinas, dari sana kami diminta lengkapi izin. Lalu sudah kami lengkapi izinnya.”
Soal penggunaan tanah desa yang tak mendapat izin, kata Tursiti, dilakukan oleh pihak lain yaitu Pemerintah Kelurahan Sampang dan PT Slamet Jaya Semesta yang jadi rekanan PBS.
“Itu bukan kami yang melakukannya, kami juga senang masalah tanah desa ini dibawa ke pengadilan. Agar semua jelas dan terbukti siapa yang salah,” katanya.
Dia membantah ada penolakan warga terhadap pertambangannya. “Itu hanya segelintir, tidak bisa dianggap penolakan itu. Pertambangan kami diterima warga, kami juga memenuhi tanggung jawab kami.”
Turisti benarkan pernah melaporkan warga yang merusak plang informasi tambangnya. Pelaporan itu, katanya, bukan upaya kriminalisasi karena secara faktual perusakan terjadi. “Lalu kami cabut laporan, kami juga tak ingin kejadian seperti itu, kami pengin yang baik-baik saja,” katanya.
Dia juga mengklaim dipenuhi tanggung jawab termasuk kerusakan jalan, drainase, dan pagar SDN Kedung Bolong yang roboh.
“Jalan rusak nanti akan ditangani Dinas Pekerjaan Umum Gunungkidul sudah kami koordinasikan. Untuk sekolah yang pagar rusak juga sudah kami ganti rugi, cuman belum diperbaiki saja pagarnya.”
Walhi Yogyakarta menilai, sejak ada proyek strategis nasional ini memantik tambang ilegal di Jogja.
Rizki Abiyoga, dari Devisi Advokasi Walhi Yogyakarta, mengatakan, tambang untuk material Tol Jogja-YIA memperparah kondisi ekologis Gunungkidul.
“Tak hanya kerusakan infrastruktur, juga mengganggu kehidupan sosial, meningkatkan risiko kesehatan, tambang ilegal yang masif ini menyebabkan makin parah perusakan lingkungan di Gunungkidul,” katanya.
Kerusakan lingkungan, kata Rizki, meningkatkan risiko bencana seperti kekeringan, maupun tanah longsor.
“Karena pertambangan apalagi ilegal yang kontrol dan pembinaan tidak dilakukan, sulit memastikan ekologi terjaga.” (Bersambung)
******
Tambang Wadas Jalan Terus, Pakar Hukum: Bukti Kegagalan Negara Lindungi Warga