- PT Sawit Panen Terus [SPT] diduga telah membuka kebun sawit tanpa izin di Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam, Aceh.
- Kepala Dinas LHK Subulussalam, Abdul Rahman Ali, mengatakan PT SPT telah membuka lahan dan sebagian ditanam sawit. Namun, tidak memiliki perizinan berusaha atau izin yang berlaku.
- Pembukaan lahan dimulai Juli 2022, ditandai dengan pembukaan jalan yang bertambah setiap bulan. Total kerusakan hingga April 2024 sekitar 1.655 hektar. Rinciannya, 641 hektar di area penggunaan lain [APL] dan 14 hektar di hutan lindung.
- Penyebab perusahaan berani membuka lahan tanpa izin, karena pengawasan dan penegakan hukum belum memberikan efek jera maupun efek edukasi. Bagi perusahaan, melakukan usaha tanpa izin akan sangat menguntungkan, yang penting bisa menghindari sanksi.
Raut wajah Saidiman tampak sedih, saat ditanya dampak pembukaan lahan untuk kebun sawit di Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam, Aceh.
Saidiman merupakan Imum Mukim Batu-Batu, Kecamatan Sultan Daulat, sejak 2022.
Di Provinsi Aceh, Pemerintahan Mukim, telah ada sebelum Indonesia merdeka. Mukim atau pimpinan adat, memiliki perangkat sendiri untuk mengurus hutan, sungai, laut, pasar, sawah dan lainnya. Ini tertuang dalam peraturan daerah atau Qanun Provinsi Aceh Nomor: 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim.
Akibat pembukaan lahan yang diduga dilakukan PT Sawit Panen Terus [SPT] itu, Sungai Singgersing yang menopang kehidupan masyarakat Desa Batu Napal, Desa Namo Buaya, dan Desa Singgersing, menjadi dangkal dan keruh. Puncaknya, awal Mei 2024 lalu, air meluap dan merendam pemukiman beserta pertanian warga.
“Masalah semakin parah, ketika kayu dari pembukaan lahan ikut terbawa ke sungai. Potensi wisata air terjun yang akan dikembangkan juga rusak,” jelasnya, Kamis [13/6/2024].
Sebelum lahan dibuka di sekitar Sungai Singgersing, banjir juga terjadi. Tapi, tidak separah ini.
“Sekarang, airnya bercampur lumpur. Ikan mulai menghilang. Saya hanya ingin masyarakat tidak menderita,” jelasnya.
Baca: Ketahuan, Perusahaan Sawit di Aceh Tamiang Rambah Hutan
Surat ke Dinas Lingkungan Hidup Subulussalam
Zunaidi, Kepala Desa Singgersing, pada 8 Mei 2024, melayangkan surat ke Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] Kota Subulussalam, mempertanyakan kerusakan sungai tersebut.
Dalam surat balasan Nomor: 660/052/DLHK/2024, Rabu [15/5/2024], yang ditandatangani oleh Kepala Dinas LHK Subulussalam, Abdul Rahman Ali, dijelaskan bahwa pihak DLHK telah meninjau lokasi yang dilaporkan pada Selasa [14/5/2024], sekaligus melakukan telaah teknis.
“Terjadi pembukaan lahan atau land clearing hutan menggunakan alat berat, untuk dijadikan perkebunan sawit. Luasan yang dibuka belum diketahui.”
Abdul Rahman menyatakan, pelaku menurut informasi masyarakat adalah PT SPT. Lokasinya kegiatan masuk Desa Batu Napal, Desa Namo Buaya, dan Desa Singgersing. Di lokasi, terdapat beberapa aliran sungai, yaitu Sungai Singgersing, Sungai Lae Sukat, dan Sungai Rikit yang airnya sangat keruh.
“Kekeruhan disebabkan pembukaan hutan untuk dijadikan perkebunan dengan metode terasering pada hulu sungai-sungai tersebut, tanpa memperhitungkan topografi, aliran air, dan sempadan sungai. Perusahaan harus bertanggung jawab terhadap pemulihan lingkungan dan kerugian masyarakat.”
Setiap rencana usaha atau kegiatan yang berdampak terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki AMDAL, atau UKL-UPL.
“Perusahaan telah membuka lahan dan sebagian ditanam sawit. Namun, hingga surat ini diterbitkan, perusahaan belum memiliki perizinan berusaha atau izin yang berlaku,” terangnya.
Baca: Heran, Desa di Kaki Leuser Ini Dijadikan HGU Perusahaan Sawit
Ribuan hektar hutan rusak
Lukmanul Hakim, Manager Geographic Information System Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh [HAkA], mengatakan pantauan melalui citra satelit terbaru Planet Scope serta alat bantu data GLAD Alert dari Global Forest Watch [GFW], mengindikasikan kerusakan hutan di lokasi SPS.
“Kerusakan dimulai Juli 2022, ditandai pembukaan jalan yang bertambah setiap bulan. Total kerusakan hingga April 2024 sekitar 1.655 hektar. Rinciannya, 1.641 hektar di area penggunaan lain [APL] dan 14 hektar di hutan lindung,” ungkapnya, Senin [24/6/2024].
Sebagian lokasi kerusakan juga terindikasi di Kawasan Ekosistem Leuser yang memiliki keanekaragaman hayati luar biasa.
“Di lokasi ini hutan yang rusak mencapai 682 hektar.”
Fahmi Muhammad, Manager Legal dan Advokasi HAkA, menambahkan pembukaan lahan di hutan lindung berada di sekitar Desa Cipar-pari Timur, Namo Buaya, dan Singgersing. Temuan ini telah diteruskan ke penegak hukum, agar dilakukan tindakan tegas.
“Bukan semata ilegal, tetapi merusak ekosistem hutan yang penting bagi lingkungan kita.”
Baca: Tenggulun, Permukiman Masyarakat yang Kini Dikelilingi Kebun Sawit
Terkait perambahan hutan lindung, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan [KPH] VI DLHK Provinsi Aceh, Irwandi, mengatakan pihaknya telah memeriksa langsung. Setelah ditelusuri, dilakukan tanpa sengaja oleh operator alat berat.
“Kami memerintahkan dilakukan penanaman kembali dengan tanaman hutan.”
KPH tidak bisa menindak hukum SPT, karena belum memiliki izin HGU.
“Lahan tersebut masih berstatus SHM,” jelasnya, Senin [1/7/2024].
Baca: Proyek Sejuta Hektar Kebun Sawit Ancaman Baru Hutan Sulawesi
Tidak ada legalitas perusahaan
Sairun, Sekretaris Daerah [Sekda] Kota Subulussalam, mengatakan belum mengetahui legalitas SPT. Setelah ada protes warga, Pemerintah Subulussalam mengirimkan surat panggilan kepada perusahaan untuk hadir pada 3 Juni 2024.
“Pertemuan tidak terlaksana. Dalam surat balasan dikatakan bahwa manager perusahaan sedang melaksanakan ibadah haji. Pemanggilan kedua dijadwalkan pada 27 Juni,” jelasnya, Kamis [13/6/2024].
Di kesempatan berbeda, Sairun mengatakan SPT sudah memiliki sertifikat hak milik [SHM]. “Perusahaan mengganti rugi lahan masyarakat,” terangnya, Kamis [27/6/2024].
Dihadapan Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Subulussalam [AMPeS], dia mengatakan bahwa perusahaan telah memiliki sejumlah perizinan seperti nomor induk berusaha [NIB] dan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang [PKKPR].
“SPT sudah tidak membuka lahan sejak tiga bulan lalu, jadi yang melakukan dekat areal itu pihak lain,” paparnya.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia/WALHI Aceh, Ahmad Shalihin, mengatakan SPT belum memiliki legalitas, sehingga yang dilakukan ilegal.
Berdasarkan dokumen PKKPR untuk kegiatan berusaha Nomor: 30052410211175002, tanggal 30 Mei 2024, luas SPT sekitar 1.275,3 hektar.
“Sementara land clearing sudah berjalan sejak Maret 2023, berdasarkan titik koordinat di PKKPR,” ujarnya, Senin [1/7/2024].
Hasil pantauan citra satelit menunjukkan, pembukaan lahan makin parah mulai Januari – April 2024. Luas lahan terbuka mencapai 1.706 hektar. Diduga, faktor ini yang menyebabkan tercemarnya air di beberapa sungai.
“SHM yang dibeli perusahaan sebagaimana disampaikan Sekda Subulussalam, bukan izin untuk membuka perkebunan sawit. Tetapi, dokumen awal untuk mendapatkan izin lain agar perusahaan dapat beraktivitas.”
Dokumen PKKPR untuk kegiatan berusaha bukanlah izin. Hanya sebatas kesesuaian ruang.
“Masih banyak tahapan perizinan yang harus dilalui untuk membuka lahan, seperti izin usaha perkebunan dan budidaya [IUP-B], izin lingkungan mengenai analisis mengenai dampak lingkungan [AMDAL] atau upaya pengelolaan lingkungan [UKL], dan upaya pemantauan lingkungan [UPL]. Setelah itu, perusahaan bisa mengajukan dokumen hak guna usaha [HGU],” papar Salihin.
Kepala Seksi Pendaftaran Hak Tanah Badan Pertanahan Nasional [BPN] Kanwil Aceh, T. Fitra Mulia, mengatakan BPN Aceh belum pernah mengeluarkan izin HGU untuk SPT.
“Permohonannya belum masuk, sehingga kami tidak mengetahui surat-surat apa yang sudah dimiliki,” jelasnya, Selasa [2/7/2024].
Perusahaan sawit ilegal patut ditindak hukum
Direktur Eksekutif Indonesian Centre for Environmental Law [ICEL], Raynaldo Sembiring, mengatakan untuk membuka atau membersihkan lahan sawit, ada dua legalitas yang dibutuhkan, yaitu izin usaha perkebunan dan hak guna usaha.
“Untuk mendapatkan izin usaha perkebunan, syarat yang wajib dimiliki adalah persetujuan lingkungan. Apabila berada di kawasan hutan, persetujuan pelepasan wajib dimiliki sebelum pengurusan HGU,” terangnya, Selasa [9/7/2024].
Sejauh ini, masih ada perusahaan yang belum melengkapi izin tersebut. Terutama, bidang kehutanan dan hak atas tanah.
“Hal ini diperkuat Pasal 110 A dan Pasal 110B UU 18/2013, diubah dalam UU Cipta Kerja. Perusahaan yang belum memiliki perizinan berusaha di bidang kehutanan, diinventarisasi dan diwajibkan membayar PSDH/DR untuk Pasal 110 A dan membayar denda administratif untuk Pasal 110B. Selanjutnya, diberikan legalitas sesuai status kawasan.”
Raynaldo menambahkan, penyebab perusahaan berani membuka lahan tanpa izin, karena pengawasan dan penegakan hukum belum memberikan efek jera maupun efek edukasi.
“Masih minim diimplementasikan oleh instansi daerah. Sementara bagi perusahaan, melakukan usaha tanpa izin akan sangat menguntungkan, yang penting bisa menghindari sanksi.”
Dalam UU No. 39 Tahun 2014 sebagaimana diubah dalam UU Cipta Kerja, Perizinan Berusaha di Bidang Perkebunan dikenakan sanksi administratif [Pasal 47], seperti penghentian sementara kegiatan, pengenaan denda, dan paksaan pemerintah pusat.
“Penegakan hukum dapat masuk melalui Pasal 82A UU No. 32 Tahun 2009, diubah dengan UU Cipta Kerja yang mengatur sanksi administratif bagi kegiatan usaha tanpa memiliki persetujuan lingkungan. Kewenangan sanksi administratif pada pemerintah daerah.”
Perbedaan peta antar-instansi harus segera dibenahi. Transparansi data juga menjadi penting agar masyarakat bisa melaporkan pelanggaran yang terjadi. Selain itu, pembukaan hutan lindung untuk perkebunan sawit setelah 2 November 2020, dikenakan sanksi pidana yang diatur Pasal 17 Ayat [2] dan sanksi administratif Pasal 18.
“Kepolisian dan KLHK berwenang menindak pelanggaran ini,” urainya.
Sejak 9 Juli hingga 6 Agustus 2024, Mongabay berusaha mengkonfirmasi M. Yasir, Manager PT SPT, dengan menelpon ataupun melalui WhatsApp. Namun, hingga tulisan ini diturunkan, tidak ada respon secara lisan maupun tulisan.
Dikutip dari Serambinews, sebelumnya pada Selasa [14/5/2024], M. Yasir membantah pihaknya telah melakukan pencemaran lingkungan dan merambah hutan lindung.
“Kehadiran SPT di Kota Subulussalam dalam rangka investasi dan memajukan perekonomian masyarakat. Ada ratusan karyawan yang dipekerjakan. Perusahaan juga membuka areal yang memiliki SHM di kawasan APL,” jelasnya.
Foto: Jangan Ada Lagi Sawit Ilegal di Aliran Sungai Alas-Singkil