- Proyek baru lewat ekspansi perkebunan tebu dan bioetanol di Merauke, Papua, mulai berjalan. Proyek pengembangan pangan skala besar jadi jawaban andalan pemerintah untuk kemandirian pangan walau cara serupa berlabel ‘ketahanan pangan hadapi krisis’ sudah berulang kali gagal dan menimbulkan bermacam dampak terhadap lingkungan, hutan maupun masyarakat sekitar.
- Franky Samperante, Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mengatakan, kebijakan dan dukungan negara untuk pengembangan pangan dan energi yang masuk proyek strategis nasional ini terbingkai jadi solusi di tengah krisis. Bercermin dari proyek-proyek sebelumnya, malah muncul berbagai masalah.
- Teddy Wakum, Ketua Lembaga Bantuan Hukum Papua Pos Merauke mengatakan, sejak 2010, pengalaman buruk, kepedihan dan penderitaan dari program MIFEE belum selesai bahkan makin menumpuk.
- Yayasan Pusaka dan LBH Papua Pos Merauke mendokumentasikan pengalaman kelam proyek pangan dan energi sebelumnya. Terjadi praktik perampasan tanah dalam proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) melalui pemberian izin usaha kepada korporasi tanpa informasi dan persetujuan bebas masyarakat adat secara luas.Berbagai usaha beroperasi seperti sawit, tebu, jagung, hutan tanaman industri, yang menguasai lahan sampai 1.588.651 hektar.
“Dunia sekarang krisis pangan karena perubahan iklim. Karena panas yang panjang, terik yang panjang…kemandirian pangan, ketahanan pangan, kedaulatan pangan harus jadi konsentrasi,” kata Presiden Joko Widodo, saat penanaman tebu perdana di perusahaan perkebunan tebu, PT Global Papua Abadi (GPA) di Kampung Sermayam, Distrik Tanah Miring, Merauke, Papua Selatan, 23 Juli lalu.
Menurut presiden, proyek ini langkah strategis menjawab krisis pangan global yang dipicu perubahan iklim ekstrem.
Ucapan senada juga ketika Jokowi mulai canangkan pengembangan pangan skala besar (food estate) beberapa tahun lalu yang mulai di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara.
Proyek baru lewat ekspansi perkebunan tebu dan bioetanol di Merauke, Papua, mulai berjalan. Izin skala luas mulai terbit. Pada 2023 dan 2024, pemerintah mengeluarkan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (PKKPR) dan surat rekomendasi kepada sembilan perusahaan perkebunan seluas 469.147 hektar tersebar di Distrik Tanah Miring, Eligobel, Sota, Ululin, Animha, Mutting, dan Jagebob di Merauke.
Franky Samperante, Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mengatakan, kebijakan dan dukungan negara untuk pengembangan pangan dan energi yang masuk proyek strategis nasional ini terbingkai jadi solusi di tengah krisis. Padahal, dari proyek-proyek sebelumnya, malah muncul berbagai masalah.
Yayasan Pusaka, katanya, mengkaji cepat aspek penggunaan kawasan hutan dan lingkungan hidup dari perizinan dan pengembangan industri perkebunan tebu, pabrik gula dan bioethanol di Merauke ini. Temuan Pusaka, sebagian besar izin berada pada kawasan hutan produksi dikonversi 45%, hutan produksi terbatas 30%, sisanya, areal penggunaan lain 25%.
Izin perkebunan tebu GPA Group, katanya, pada kawasan hutan dan daerah moratorium izin atau peta indikatif penundaan izin baru (PIPIB) lebih dari 30% atau sekitar 145.644 hektar.
“Proyek ini berisiko lingkungan hidup, terutama meningkatkan emisi gas rumah kaca, yang secara kumulatif meningkatkan krisis ekologi,” kata Angky, sapaan akrabnya dalam keterangan tertulis Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan LBH Papua Pos Merauke kepada media.
Belum lagi, katanya, izin perusahaan sebagian besar berada di wilayah Masyarakat Adat Yeinan seluas 316.711 hektar hingga bisa berdampak secara sosial ekonomi dan budaya bagi mereka.
Proyek di Merauke ini jalan lewat revisi aturan PSN pada 2023. Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian memasukkan daftar PSN kawasan pengembangan pangan dan energi Merauke di Papua Selatan pada November 2023. Aturan sebelumnya revisi, terbit Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko) Nomor 8/2023 tentang Perubahan Keempat atas Permenko Nomor 7/2021 tentang perubahan daftar PSN.
Kemudian, lanjut dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 15/2024 pada 19 April 2024 mengenai satgas percepatan swasembada gula dan bioetanol di Merauke. Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal jadi ketua satgasnya.
Malah datangkan masalah
Proyek pengembangan pangan skala besar jadi jawaban andalan pemerintah untuk kemandirian pangan walau cara serupa berlabel ‘ketahanan pangan hadapi krisis’ sudah berulang kali gagal dan menimbulkan bermacam dampak terhadap hutan maupun masyarakat sekitar.
Angky bilang, diskursus, solusi dan kebijakan negara ini bukan pertama kali di Papua. Sebelumnya, ada Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPPP), Food Estate Papua, dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Merauke.
“Bukan kemakmuran bersama yang dirasakan, tetapi segudang persoalan baru bermunculan. Mulai dari pengalihan penguasaan tanah skala luas yang mencapai jutaan hektar melalui praktik tipu muslihat,” katanya.
Dampaknya, kata Angky, sapaan akrabnya, masyarakat adat tersingkirkan dan kehilangan kontrol atas tanah dan hutan yang jadi sumber kehidupan mereka.
“Sulit akses sumber pangan dan sumber mata pencaharian, penghancuran sistem sosial dan budaya, eksploitasi buruh dan pemberian upah tidak layak,” katanya.
Belum lagi, masyarakat juga alami kekerasan dan ketidakpatuhan negara maupun korporasi dalam pemenuhan janji kesejahteraan termasuk bagi hasil layak. Tambah lagi, deforestasi, malnutrisi, perusakan ekosistem dan keanekaragaman hayati sampai pencemaran air.
Yayasan Pusaka dan LBH Papua Pos Merauke mendokumentasikan praktik perampasan tanah dalam proyek MIFEE melalui pemberian izin usaha kepada korporasi tanpa informasi dan persetujuan bebas masyarakat adat secara luas.
“Terjadi penumpukan kekayaan, konsentrasi penguasaan dan pemilikan tanah dan hutan kepada segelintir badan usaha dan grup perusahaan.”
Berbagai usaha beroperasi seperti sawit, tebu, jagung, hutan tanaman industri, yang menguasai lahan sampai 1.588.651 hektar.
Teddy Wakum, Ketua Lembaga Bantuan Hukum Papua Pos Merauke mengatakan, sejak 2010, pengalaman buruk, kepedihan dan penderitaan dari program MIFEE belum selesai bahkan makin menumpuk.
“Penyimpangan dan dampak program MIFEE masih dikeluhkan masyarakat adat terdampak hingga kini. Suku Marind dan buruh Orang Asli Papua di Mam, Muting dan Zanegi, masih menuntut keadilan dan pemulihan hak korban kekerasan, janji perusahaan untuk kesejahteraan dan upah layak,” katanya dalam keterangan tertulis itu.
Mengenai proyek tebu dan bioetanol ini, katanya, sejak pencanangan proyek dan kedatangan presiden mereka belum menemukan informasi dan dokumen kajian sosial dan kajian lingkungan hidup strategis.
“Semestinya sejak awal sebelum proyek mulai.”
Pemerintah juga belum memberikan informasi dan mendapatkan persetujuan masyarakat adat secara luas dalam proses dan penerapan PSN pengembangan gula, bioethanol dan perluasan lumbung pangan ini. Padahal, katanya, proyek ini akan mempengaruhi sistem kehidupan masyarakat adat dan ekosistem pada wilayah adat.
Padahal, kata Teddy, pengabaian negara atas hak masyarakat adat dalam membuat keputusan ini melanggar prinsip free prior informed consent (FPIC) dan peraturan perundang-undangan, seperti UU Nomor 21/2001 tentang Otonomi Daerah Papua, Pasal 43 soal perlindungan hak-hak masyarakat adat.
Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan LBH Papua Pos Merauke juga mengamati peningkatan intensi dari aparat keamanan TNI dan Polri.
“Mulai dari proses sosialisasi, negosiasi perolehan lahan, hingga pengawalan dan pengamanan peralatan operasi proyek,” katanya, seraya bilang, situasi ini membuat masyarakat khawatir, dan tidak bebas menyampaikan pendapat dan pikirannya.”
Mereka juga mendengar keluhan dari masyarakat adat karena mengalami tekanan dan terdampak proyek. Keluhan dan protes dari masyarakat adat seperti disampaikan Masyarakat Adat Marind, Yeinan, Kimahima dan Maklew.
Dia menilai, proyek ini berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM), menyangkut hak hidup masyarakat adat, hak atas tanah dan hutan adat, hak bebas berekspresi.
“Hak bebas menentukan pembangunan yang berlangsung di wilayah adat, hak pangan, hak kekayaan dan pengetahuan intelektual, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.”
Yayasan Pusaka dan LBH Papua Pos Merauke menuntut beberapa hal.
- Presiden Joko Widodo konsisten menjalankan amanat konstitusi mensejahterakan rakyat dan sungguh-sungguh menerapkan komitmen perbaikan tata kelola sumber daya alam yang berkeadilan dan transparan. Tidak merusak lingkungan hidup dan menyebabkan perubahan iklim. Karena itu, presiden harus menghentikan PSN pengembangan pangan dan energi di Merauke, dengan mempertimbangkan dan memperhatikan dampak sosial budaya, sosial ekonomi dan lingkungan hidup.
- Meminta kepada korporasi, investor dan institusi keuangan menghormati hak masyarakat adat untuk membuat keputusan bebas dan tanpa memaksa masyarakat menerima proposal dan usaha perusahaan memanfaatkan dan mengembangkan lahan dan hutan adat di wilayah adat.
- Meminta pemerintah daerah mengambil langkah efektif dan langkah hukum dalam menghormati dan melindungi keberadaan dan hak masyarakat adat, hak hidup, hak bebas berpendapat. Juga, hak tanah, hak pangan, hak lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak mendapatkan informasi publik dan termasuk perizinan, serta melibatkan masyarakat adat secara bermakna dalam berbagai rencana program pembangunan.
Protes masyarakat adat
Masyarakat adat di Merauke, pun khawatir dengan proyek ini. Pada Juni lalu, Masyarakat Kimahima dan Maklew, aksi. Fidelis Cambu, terlihat aktif saat Masyarakat Kimahima dan Maklew, Disktrik Kimam memadati Kantor DPRD Merauke.
Cambu bilang, mereka mendatangi Kantor DPRD Merauke untuk menolak proyek pengembangan perkebunan tebu dan industrinya.
Sekitar 15 pamflet dan dua spanduk berisi protes kepada Pemerintah Merauke karena atas kehadiran investor tebu dan bioetanol di kabupaten itu.
Mereka khawatir, investor masuk akan menggangu wilayah Kimahima dan Maklew. Bukan itu saja, katanya, kalau masuk investasi nanti tenaga kerja banyak dari luar Papua termasuk luar negari, seperti Korea maupun Tiongkok. Sedangkan tenaga kerja lokal tidak masuk perhitungan.
Seharusnya, perusahaan yang mau masuk lapor ke kampung, jangan tanpa permisi.
Pius Cornelius Manu, tokoh masyarakat mengatakan, aksi orang Kima-kima dan Makleo wajar karena khawatir wilayah jadi lahan perusahaan tanpa mereka ketahui. Warga pun mau bertemu Romanus Mbaraka, Bupati Merauke, mempertanyakan soal ini. Baru pada 26 Juni, masyarakat bertemu sang bupati.
Pada pertemuan itu, bupati menyatakan, investasi tak akan masuk di Kima dan Makleo.
Kimahima, katanya, sebagian besar masuk kawasan konservasi Pulau Dolog.
Manu mengatakan, kawasan konservasi harus terlindungi. Pesisir Kimahima dan Maklew ini punya hutan mangrove sangat lebat.
Dia agak ragu omongan bupati. Tak ada masuk investasi ke Kima dan Maklew. Dia malah mendengar sebaliknya.
“Terdengar proyek strategis nasional yang masuk termasuk Kimahima dan Maklew diberitahu dari mulut ke mulut mulai di Kampung Bamol satu, menyebar hingga ke Merauke. Warga juga turun aksi ke DPRD Merauke.”
*****