- Model teknologi ‘penangkap dan simpan karbon’ biasa muncul dengan istilah carbon capture storage dan carbon capture, utilization, and storage (CCS/CCUS) pemerintah gadang-gadang sebagai solusi atasi masalah krisis iklim. Simpelnya, industri bisa terus memproduksi emisi karena akan ada teknologi buat tangkap dan simpan karbon.
- Organisasi masyarakat sipil mengingatkan, terlalu banyak cerita gagal mengenai teknologi ini dan tak ekonomis serta dinilai jadi alasan untuk memperpanjang napas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara.
- Laporan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menunjukkan, 13 proyek CCS/CCUS andalan dan berskala besar di seluruh dunia yang bertanggung jawab terhadap lebih separuh operasi model ini hanya menyerap 39 juta ton CO2 per tahun. Jumlah ini hanya 1/10.000 dari total 36 miliar ton emisi yang terjadi pada 2021.
- Ginanjar Ariyasuta dari 350 Indonesia dalam keterangan tertulis yang diterima Mongabay mengatakan, proyek CCS/CCUS hanya akan mengebiri upaya transisi energi dari komunitas. Hasil studi 350 Indonesia menunjukkan, energi terbarukan berbasis komunitas mampu menciptakan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) Rp10.529 triliun selama 25 tahun.
Model teknologi ‘penangkap dan simpan karbon’ biasa muncul dengan istilah carbon capture storage dan carbon capture, utilization, and storage (CCS/CCUS) pemerintah gadang-gadang sebagai solusi atasi masalah krisis iklim. Simpelnya, industri bisa terus memproduksi emisi karena akan ada teknologi buat tangkap dan simpan karbon.
Dalam kaitan dengan pembangkit listrik (PLTU) batubara, misal, organisasi masyarakat sipil mengingatkan, terlalu banyak cerita gagal mengenai teknologi ini dan tak ekonomis serta dinilai jadi alasan untuk memperpanjang napas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara.
Dwi Sawung, Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur Walhi Nasional membeberkan berbagai proyek CCS yang berakhir dengan kegagalan antara lain, Proyek Gorgon di Australia, yang kekurangan target karbon dioksida 5,23 juta ton. Akibatnya, harus ada penambahan biaya antara US$100 juta dan US$184 juta.
Ada juga proyek CCS di Aljazair yang harus setop pada 2011 karena ada kekhawatiran kebocoran dipicu pergerakan tanah. Proyek ini sudah jalan sejak 2004 dan menyimpan 3,8 MT/CO2. Selain itu, CO2 di proyek CCS Sleipner di Norwegia bermigrasi ke lapisan atas lebih cepat dari yang diperkirakan.
“CCS ini teknologi gagal di luar negeri, sekarang malah mau diterapkan di Indonesia,” kata Sawung dalam diskusi di Walhi belum lama ini.
Dia menilai, pemerintah terlalu silau dengan besaran uang investasi yang masuk tanpa pikir panjang. “Jadinya negara kita seperti tempat sampah negara maju.”
Laporan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menunjukkan, 13 proyek CCS/CCUS andalan dan berskala besar di seluruh dunia yang bertanggung jawab terhadap lebih separuh operasi model ini hanya menyerap 39 juta ton CO2 per tahun. Jumlah ini hanya 1/10.000 dari total 36 miliar ton emisi yang terjadi pada 2021.
Pada dasarnya, Sawung menyebut penggunaan teknologi ini sebagai akal-akalan dari perpanjangan napas PLTU batubara. “Dengan teknologi ini, mereka bisa berkilah kalau sudah mengurangi emisi dan aktivitas mereka bisa jalan terus,” katanya.
Bhima Yudhistira Direktur Eksekutif Center of Economics and Law Studies (CELIOS) menyuarakan hal sama. Dia menyebut teknologi CCS/CCUS sebagai delaying tactic untuk terus menggunakan energi fosil dan batubara.
Kondisi politik tanah air, katanya, terang-terangan ingin mendukung keberlanjutan energi fosil. Kondisi ini bisa terlihat dari Perpres Nomor 14/2024 tentang penyelenggaraan kegiatan penangkapan dan penyimpanan karbon. Padahal, sudah banyak pembiayaan internasional dan investor keluar dari industri minyak.
“Banyak yang cabut dari industri ini. Maka dibuat CCS/CCUS sebagai pemanis supaya industri bisa terus jalan. Ini solusi palsu,” kata Bhima.
Secara keekonomian, teknologi ini jelas bisa ditolak. Dari hitungan mereka, PLTU dengan CCUS perlu investasi sekitar Rp30,2 juta per Kwh pada 2020 dan Rp22,01 juta per Kwh pada 2050.
Jumlah itu, katanya, jelas lebih mahal dibandingkan investasi energi terbarukan seperti PLTS skala utilitas maupun industri Rp6,3 juta per Kwh pada 2050.
“Kecuali ada subsidi yang seharusnya ke energi terbarukan malah masuk ke sini. Itu akan jadi masalah baru.”
Besarnya biaya investasi CCS/CCUS ini akan menimbulkan konsekuensi pada beban subsidi energi pemerintah. Dari sini, katanya, yang diuntungkan perusahaan batubara dan migas, yang rugi uang pajak masyarakat.
Bhima bilang, ruang fiskal terus menyempit, rasio utang makin naik. “CCS ini bisa membebankan tarif listrik masyarakat. Yang senang pengusaha migas dan batubara,” katanya.
Sedangkan pemerintah akan terbebani dengan biaya atau bunga yang tinggi dan mahal. “Kita jadi laboratorium uji coba teknologi gagal yang akan kita beli dengan hutan. Ini sama saja dengan climate colonialism.”
Penderitaan masyarakat berlanjut
Siapa yang akan menanggung derita? Masyarakat, salah satu yang paling dirugikan dari implementasi CCS/CCUS di industri migas dan PLTU batubara. Bhima khusus menunjuk kasus kebocoran CCS pada 2020 di Mississippi, Amerika Serikat.
Kebocoran ini menyebabkan lebih 300 orang dievakuasi dan 45 dirawat di Rumah Sakit. “Apa pemerintah siap menanggung risiko ini?” ucap Bhima.
Belum lagi risiko penderitaan masyarakat dampak PLTU akan makin awet.
Wahyuddin, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat menjelaskan kerugian masyarakat di sekitar PLTU I Indramayu dan PLTU Palabuhanratu.
Kedua PLTU ini seharusnya setop bertahap atau pensiun dini tetapi napas malah diperpanjang dengan embel-embel teknologi baru seperti co-firing.
Penyematan teknologi ini, katanya, tidak mengurangi dampak signifikan kepada masyarakat.
Dari pengukuran di PLTU I Indramayu, konsentrasi PM2.5 masih tinggi dan melebihi baku mutu. Kondisi ini, katanya, jelas berdampak pada kesehatan anak, lansia dan kelompok rentan lain dalam jangka panjang.
Kiaya kesehatan masyarakat pun tiap tahun bertambah untuk pemeriksaan dan pengobatan anak di klinik. Jumlah biaya bervariasi dari Rp1,2 juta-Rp2,4 juta.
“Dan tren gangguan kesehatan pada anak dan lansia dari 2017 hingga 2024 setidaknya ada ISPA, bronchitis, asma, hingga kanker paru,” kata Wahyuddin.
Di lokasi tambang batubara yang menyuplai PLTU, terdapat berbagai permasalahan yang berpotensi terus terjadi.
Mareta Sari, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang ( Jatam) Kalimantan Timur secara daring menyebut, kematian karena lubang tambang di Kaltim terus terjadi.
“Terlalu banyak lubang-lubang tambang yang mengkhawatirkan di tapak,” katanya.
Belum lagi dengan perampasan tanah dan kriminalisasi oleh perusahaan tambang batubara. Pemerintah, kata Mareta, melegalisasi kekuasaan pengusaha tambang di daerah lewat perizinan dan pengerahan aparat untuk menakuti dan mengancam masyarakat yang pertahankan ruang hidup.
Kondisi ini, katanya, akan terus bertahan selama pemerintah tetap menyediakan PLTU untuk membakar batubara-batubara yang panen di Kaltim. CCS, katanya, akan menjadi salah satu faktor yang membuat PLTU tetap bertahan.
“Penggalian tetap dilakukan di hulu, sementara CCS akan mempertahankan PLTU di hilir. Masyarakat dan alam yang akan rusak dan jadi korban.”
Ginanjar Ariyasuta dari 350 Indonesia dalam keterangan tertulis yang diterima Mongabay mengatakan, proyek CCS/CCUS hanya akan mengebiri upaya transisi energi dari komunitas.
Hasil studi 350 Indonesia menunjukkan, energi terbarukan berbasis komunitas mampu menciptakan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) Rp10.529 triliun selama 25 tahun.
“Ini lebih berdampak positif secara ekonomi daripada membiayai CCS/CCUS,” katanya.
Dalam hitungannya, CCS/CCUS boros energi dengan kebutuhan untuk penangkapan dan kompresi pada proyek ini bisa mencapai 330-420 Kwh per ton CO2. Secara rata-rata, perlu peningkatan energi 15-25%.
“Kalau pemerintah memilih mendukung teknologi ini, akan menghambat upaya transisi energi dan efisiensi energi.”
Setop solusi palsu
Dalam kesempatan berbeda, Koalisi masyarakat sipil terdiri dari Walhi, Jatam, 350 Indonesia dan Oil Change mendesak, pemerintah berhenti mempromosikan CCS.CCUS sebagai bagian dari upaya penurunan emisi gas rumah kaca.
Koalisi ini juga meminta pemerintah untuk tidak menerapkan teknologi ini dalam kebijakan dan program transisi energi dan penangan krisis iklim.
“Bagi masyarakat sipil, CCS/CCUS ini tidak lebih dari solusi palsu dari upaya mencegah pemanasan global dan krisis iklim,” kata Sawung.
Koalisi khusus aksi simbolik penolakan promosi dan implementasi CCS/CCUS di depan pintu masuk Jakarta Convention Center, tempat pelaksanaan The International and Indonesia CCS Forum 2024, 31 Juli-1 Agustus lalu. Upaya ini agar pemerintah mendengar keluhan masyarakat sipil.
“Karena teknologi ini hanya dalih memperpanjang bahan bakar fosil dan memenuhi atmosfer dengan emisi gas rumah kaca,” kata Sawung.
*****
Aturan Tangkap dan Simpan Karbon Minim Prinsip Kehati-hatian