- Perubahan iklim berpengaruh signifikan pada nelayan cumi-cumi di Sulawesi Selatan. Cuaca yang tidak menentu–gelombang tinggi menyebabkan penurunan hasil tangkapan nelayan.
- Penurunan hasil tangkapan cumi-cumi memaksa keluarga nelayan mencari sumber pendapatan tambahan. Mariati, istri seorang nelayan terpaksa bekerja di pabrik telur ikan terbang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Suaminya pun harus menjadi buruh bangunan saat cuaca tidak baik.
- Selain cuaca ekstrem, eksploitasi sumber daya laut, keterbatasan akses teknologi penangkapan dan harga jual yang rendah menjadi tantangan tersendiri bagi mereka.
- Pergeseran habitat cumi-cumi akibat perubahan iklim membuat nelayan semakin kesulitan mencari ikan. Cumi-cumi cenderung berpindah ke perairan yang lebih dalam, sementara nelayan tradisional masih bergantung pada wilayah penangkapan yang dekat dengan pantai.
Mariati telah lupa kapan terakhir kali dia melakukan rutinitas menyiapkan segala keperluan buat suaminya, sebagai nelayan cumi. Di mana pagi sekali, dia harus menyiapkan doang-doang–mata pancing serupa udang berwarna mencolok, tasi, baju, makanan, air minum, kopi, dan rokok untuk sang suami.
“Siangnya nanti itu harus menunggu lagi di pantai untuk bantu menarik kapal,” cerita Mariati. “Kemudian membawa hasil tangkapan pulang ke rumah.”
Mariati bersama sang suami adalah salah satu keluarga nelayan di Saguru, Desa Bontokanang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, yang hidup dari hasil tangkapan cumi.
Pada Mei hingga Oktober, tangkapan cumi melimpah, terutama di sekitar perairan pulau Dayang-Dayangan, Satangga, Baluluang, dan Tanakeke. “Sebenarnya waktu penangkapan cumi-cumi bisa kapan saja, karena cumi selalu ji ada,” kata Baso Daeng Gading, suami Mariati.
Namun, beberapa tahun terakhir, cuaca yang tak bisa ditebak membuat keluarga nelayan itu kehilangan harapan. “Biasa hujan subuh jadi tidak keluar lagi atau pas melaut turun hujan atau kencang angin dan ombak jadi kita pulang.”
Cuaca tak menentu membuat hari melaut berkurang dan itu berarti ekonomi mereka terjungkal.
Karena itu, Mariati sebagai jantung keluarga nelayan ini harus mengatur pengeluaran dan mencari cara lain demi memenuhi kebutuhan rumah tangga dan menghidupkan tiga anak mereka.
Baca juga: Kerentanan Nelayan di Kepulauan Spermonde terhadap Perubahan Iklim
Maka, Mariati harus menempuh jalan terjal. Dia bekerja di pabrik telur ikan terbang di Dusun Saguru–bersama istri nelayan yang nasibnya serupa. Ada yang memarut, menampi, dan membersihkan telur ikan terbang. “Saya memarut telur ikan terbang, setiap hari bisa dapat lima belas sampai dua puluh kilogram. Hitungannya itu Rp5 ribu per kilogram.”
Tetapi, upah dari kerja di pabrik itu tak menentu, dan hanya berlangsung dari Mei hingga Oktober. Selebihnya adalah harapan yang tidak pasti dan sedikit tekad untuk bertahan dengan penghasilan dari suaminya yang juga terjun bebas.
Data dari Dinas Perikanan Takalar, menunjukkan total tangkapan cumi tahun 2020 sebanyak 199 ton, naik pada tahun 2021 sebanyak 210 ton, tetapi turun pada tahun 2022 sebanyak 83 ton.
Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Takalar, Baso mengatakan menurunnya penangkapan cumi di Takalar, salah satunya disebabkan intensitas hujan yang meningkat. “Hasil tangkapan nelayan itu kondisional dan bergantung pada musim penangkapan. Di satu sisi kekuatan sarana melaut tidak mendukung nelayan untuk tetap melaut walaupun dengan cuaca ekstrim sekalipun,” katanya melalui WhatsApp, pada 12 Juli 2024. Ini selaras dengan data Badan Pusat Statistik, yang setidaknya menunjukkan jumlah hari hujan di Takalar pada tahun 2022, sebanyak 209 hari, dan menurun di tahun 2023 sebanyak 153 hari hujan. Hari hujan inilah yang mempengaruhi jumlah melaut nelayan.
Baca juga: Nelayan Tradisional Terhimpit Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur
Para nelayan tradisional di Desa Bontokang merupakan nelayan kecil yang menggunakan kapal fiber dengan panjang 4-6 meter, dengan kekuatan 7-10 GT. Di sini, penangkapan cumi-cumi dilakukan dengan skala kecil dan dijual ke pasar domestik melalui pappalele (pengepul), di Desa Bontokanang.
Pada bulan Juni 2024, harga cumi stabil antara Rp55.000 hingga Rp60.000 per kilogram. Menurut Baso, ini terlalu murah, sekalipun ongkos melaut tiap hari yang hanya Rp100.000, pun tidak bikin nelayan bertahan menangkap cumi.
“Dulu, dalam satu bulan hanya satu kali seminggu tidak keluar,” kata Baso Daeng Gading.
“Tahun 2016 masih biasa ki dapat sampai 20 kilogram satu hari, lalu berkurang dari tahun ke tahun.”
Tangkapan yang banyak kini seperti mimpi kosong. Dulu, Baso bisa mengantongi duit hingga Rp13 juta per bulan. Kini, dia hanya mampu mendapat cumi-cumi sebanyak 3–10 kilogram atau tidak ada sama sekali. “Jadi terkadang kita memancing ikan,” katanya. “Tapi butuh modal lagi karena harus beli umpan dan jauh juga tempat penangkapannya, tidak cukup satu hari karena kita bermalam di pulau. Jadi kalau tidak pergi melaut dan ada panggilan untuk jadi buruh bangunan, kita ambil saja.”
Sementara istrinya bekerja serabutan di pabrik telur ikan, Baso pada akhirnya harus menjual jasanya, sebagai tukang bangunan. Ketika cuaca buruk, kerja bangunan, ketika cuaca baik, melaut.
“Pemancing itu tidak ada masa depannya. Tua tidak ada lagi yang bisa diharapkan,” kata Baso. “Berbeda dengan berkebun atau bertani, kalau ada lahan ada masa depan dan bisa diwariskan ke anak. Anak-anak jarang mi mau ke laut.”
Baca juga: Bagaimana nasib sektor perikanan dan kelautan Indonesia di tahun 2024?
Cumi-cumi dan perubahan iklim
Dalam penelitian Diah Anggraini Wulandari tentang morfologi, klasifikasi, dan sebaran cumi-cumi famili Longinidae (2018), cumi-cumi hidup di dasar perairan atau berada pada permukaan atau perairan dangkal.
Cumi-cumi aktif pada siang hari dan berkelompok, menyebar pada malam hari. Pola perilaku populasi cumi-cumi inilah menjadi pengetahuan lokal nelayan melakukan penangkapan. Selain itu, cumi-cumi mampu bertahan pada suhu 8-32 derajat Celcius dengan tingkat keasinan air laut 8,5-30 ppm.
Menyoal perubahan iklim, M. Chasyim Hasani, dosen perikanan Universitas Hasanuddin mengatakan bahwa cumi-cumi memiliki siklus pemulihan secara alami dengan waktu pertumbuhan yang cepat. Tingkat adaptasi pada perubahan suhu juga tinggi sehingga adanya perubahan iklim tidak menghilangkan stok di laut. Hanya saja, menurut Chasyim cumi-cumi mengalami pergeseran semakin menjauh jauh dari daerah pesisir.
“Ketika nelayan hanya mencari di daerah pesisir pulau dan tidak berpindah ke perairan dalam, pasti hasil tangkapannya menurun,” kata Chasyim menanggapi kerentanan penurunan hasil tangkapan cumi oleh nelayan. Wilayah penangkapan, menurutnya menjadi penentu stok persebaran populasi cumi.
Penggunaan pancing ulur sebagai alat tangkap tradisional yang tidak merusak ekosistem pun, menurut Chasyim tidak menjamin ketahanan stok cumi, mengingat praktek eksploitasi tahun-tahun sebelumnya karena kebutuhan pasar dan nilai ekonomis cumi yang tinggi. Bahkan menurut Chasyim, baby cumi, ketika tidak laku dalam keadaan segar, masih dapat dikeringkan dan punya nilai ekspor.
Selain itu, wilayah penangkapan yang tidak berpindah pun menurut Chasyim, membuat daerah tangkapan tersebut hanya sebagian cumi yang mengalami pemulihan.
“Nelayan menganggap teknologi sederhana yang digunakan di wilayah pesisir sudah cukup. Ditambah, modal yang tidak memadai membuat nelayan tidak melakukan penangkapan di wilayah yang lebih jauh,” kata Chasyim. “Ketika budidaya hadir sebagai solusi untuk ketahanan produksi cumi-cumi, masalahnya kembali pada modal besar yang harus dikeluarkan nelayan.” (***)
*Mutmainnah merupakan lulusan jurusan perikanan Universitas Hasanuddin. Dia tertarik pada isu lingkungan dan seni pertunjukan. Ina menjadi salah satu penerima fellowship pelatihan menulis Into The Climate Stories di Makassar pada Mei 2024.