- Rempah-rempah nusantara secara historis pernah menjadi pilar kejayaan ekonomi maritim nusantara masa lampau yang diperebutkan bangsa Eropa.
- Perdagangan rempah mendorong perkembangan teknologi pembuatan kapal samudra raksasa jaman dulu seperti terlihat berbagai artefak di berbagai tempat di nusantara
- Selain surutnya permintaan dari Eropa, kejayaan rempah nusantara melemah karena dimulainya kolonialisme oleh bangsa Eropa yang ingin menguasai perdagangan rempah di nusantara
- Pentingnya mengingatkan kembali jejak kejayaan kemaritiman Indonesia melalui berbagai kebijakan dan cara, seperti lewat narasi maupun pameran jalur rempah.
Sejumlah komoditas perasa makanan tertata rapi di Museum Bahari, Penjaringan, Jakarta Utara. Bila didekati aroma keharumannya berasa kuat dan khas. Tak ayal barang berharga yang pernah diperebutkan bangsa Eropa ini secara historis pernah menjadi pilar kejayaan ekonomi maritim nusantara.
Bahkan, hasil bumi nusantara yang dikenal dengan nama rempah-rempah itu disebut menjadi elemen penting dalam memajukan budaya maritim Indonesia.
Bukan hanya digunakan sebagai bahan perasa makanan, biji, buah serta kulit dari tumbuhan yang beraroma ini dulunya juga digunakan sebagai bahan pengawet alami, sarana ritual, serta pengobatan dalam masyarakat Romawi.
“Dalam catatan sejarah, perdagangan rempah-rempah yang melewati perairan samudra mendorong perkembangan pesat teknologi pembuatan perahu,” jelas Muhammad Sartono, Ketua Paguyuban Sahabat Budaya Indonesia, saat bertandang di gelaran Pameran Warisan Budaya Jalur Rempah: Pertukaran Komoditas Ekonomi dan Budaya 2024, baru-baru ini.
Perahu-perahu kargo yang dibuat itu yang kemudian digunakan sebagai transportasi untuk menyalurkan komoditas tumbuh-tumbuhan bernilai tinggi itu dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya.
Dengan begitu, lanjut Ahmad sapaan akrab Muhammad Sartono, sejak ribuan tahun lalu nusantara dengan komoditas rempah sudah menjadi poros maritim yang menghubungkan China, India, Timur Tengah dan Eropa.
Baca : Kapulaga, Rempah Asli Indonesia yang Mendunia
Pada masa lampau di abad ke-16, fakta geografis dan pengalaman historis telah memperlihatkan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia telah berkembang menjadi bangsa maritim yang tangguh dengan memasok rempah-rempah ke berbagai negara.
Bukti sejarah maritim, yang cukup familiar, katanya, yaitu ditemukannya jambangan keramik berisi cengkih. Ini ditemukan dalam penggalian situs kuno di kota Terqa, Efrat Tengah, Syria, diperkirakan berasal dari masa 1721 SM.
Dalam budaya bahari, jejak lainnya adalah ditemukannya lukisan perahu pada dinding berumur puluhan ribu tahun sebelum masehi di Muna, Sulawesi Tenggara. Dari lukisan itu membuktikan budaya pelayaran di nusantara sudah ada sejak zaman pra sejarah.
Pentingnya Sejarah Maritim
Sedangkan di Pulau Jawa, fakta sejarah kejayaan budaya maritim Indonesia pada masa lampau juga tercermin pada dinding candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-9, yaitu teknologi pembuatan kapal samudra raksasa.
Bukti lainnya datang dari penemuan tim arkeologi Universitas Indonesia, mereka menemukan situs galangan kapal kuno yang diduga berusia 700 tahun di Desa Lambur 1, Kecamatan Muara Sabak Timur, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi.
Bukti tersebut menegaskan bahwa peradaban maritim nusantara adalah yang tertua di kawasan Asia Tenggara.
“Bangsa nusantara sudah dikenal dengan bangsa yang tangguh dalam merajai ekspedisi laut untuk perdagangan,” imbuhnya.
Kendati pentingnya keberadaan rempah-rempah nusantara yang bahkan bisa mempengaruhi politik, ekonomi dan budaya dunia, maka sudah saatnya Indonesia mengambil peran penting dengan mengambil inisiatif untuk mengangkat kembali sejarah jalur rempah yang menjadi jejak perniagaan global.
Baca juga : Cengkih, Rempah Asli Indonesia yang Pernah Diperebutkan Bangsa Eropa
Kekuatan itu, mestinya bisa menjadi modal untuk membangun kembali tradisi tersebut. Tidak hanya mengangkat kembali sejarahnya, namun juga mengkaji dan memaknainya dengan sungguh-sungguh. Terlebih, sejumlah negara juga tengah berlomba menggulirkan konsep serupa, salah satunya seperti yang dilakukan negara tirai bambu yang membuat jalur sutra maritim.
Untuk itu, jejak kemaritiman perlu lebih digiatkan lagi lewat narasi maupun pameran jalur rempah.
“Pemerintah harus memberi perhatian lebih ke rempah-rempah nusantara. Sebab, Indonesia sudah memiliki sejarah yang panjang dalam kemaritiman,” imbuhnya.
Jika warisan budaya bahari ini tidak dimulai dengan merajut kembali literasi ataupun melalui pameran-pameran yang berkaitan dengan pengetahuan tradisi masa lalu, maka Ahmad mengkhawatirkan anak-anak muda akan alami amnesia sejarah.
Terapkan Paradigma Maritim
Alih-alih mengalami masa kegemilangan, karena rempah-rempah juga justru menjadikan malapetaka bagi Indonesia, hal ini tercermin dari dimulainya penjajahan oleh bangsa Eropa.
Seiring berjalannya waktu, dominasi kolonialisme berperan signifikan dalam meneggelamkan kehidupan bangsa maritim yang menguasai perdagangan rempah-rempah.
Retno Purwanti, Arkeologi dari Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menilai kolonialisme bukanlah satu satunya faktor, revolusi industri dan permintaan yang menurun dari bangsa Eropa juga turut mempengaruhi surutnya kejayaan rempah-rempah di Indonesia.
“Awal-awal abad-19 lada sudah tidak menjadi komoditi utama di Indonesia. Karena harganya sudah jatuh. Sehingga masyarakat mulai mengganti tanaman lada dengan kopi, teh atau karet yang ini menguntungkan dari sisi industri,” katanya, beberapa waktu lalu.
Kendati demikian, kehadiran bangsa kolonial di nusantara yang membentuk ‘daratisasi’ juga turut mempengaruhi kesadaran masyarakat mengenai kemaritiman bangsa ini yang hampir hilang. Begitu juga kesadaran masyarakat dalam menjaga ekosistem sungai.
Retno menyayangkan konsep daratisasi ini justru malah diikuti pemerintahan pasca kemerdekaan. Akibatnya keberadaan sungai semakin terbaikan. Rumah-rumah di bantaran sungai yang dulunya menghadap sungai, kini justru memunggungi sungai.
Baca juga : Pala dari Bayang, Jejak Jalur Rempah Masa Kolonial
Masifnya daratisasi ini juga akhirnya berdampak pada teknologi perkapalan Indonesia menjadi mandek dan terpinggirkan. Padahal, dulu jaringan pelayaran tidak bisa terlepas dari sungai.
Jika tidak ada sungai, produk-produk rempah dari pegunungan tidak bisa dikirim ke negara-negara lain.
“Kalau sekarang bangsa kita belum bisa dibilang bangsa maritim. Berbeda dengan dulu, karena kita urat nadi transportasi komunikasi kita memang di air. Tapi kalau sekarang ini kan tidak, sebab mengikuti pola Belanda yang daratisasi,” katanya.
Maritim itu, lanjutnya, bukan hanya membicarakan laut. Namun juga bagaimana mengembalikan fungsi sungai seperti dulu. Selain itu, tugas generasi saat ini dan yang akan datang adalah merevitalisasi segala aspek kehidupan bangsa dengan menerapkan paradigma maritim dalam pembangunan. (***)