- Suku Mapur di Pulau Bangka memiliki berbagai “spesies kunci budaya” yang merujuk pada tumbuhan bernilai budaya, spiritual, hingga ekologis tinggi.
- Resam dan wik peledes merupakan tumbuhan non–ikonik, tidak dilindungi, dan tidak terancam punah yang memiliki nilai penting bagi Suku Mapur.
- Penelitian terbaru menyatakan, menerapkan pengelolaan spesies penting secara budaya yang dipimpin oleh masyarakat adat, merupakan pendekatan konservasi holistik yang dapat bermuara pada tercapainya tujuan konservasi yang lebih baik.
- Untuk mencapai itu semua, kita perlu bekerja sama dengan masyarakat adat. Dengan cara, mengakui hak-hak mereka dan memberikan dukungan kebijakan yang lebih baik untuk mengimplementasikan rencana pengelolaan yang dipimpin oleh masyarakat adat.
Masyarakat adat di seluruh dunia, memiliki berbagai tumbuhan atau satwa yang sangat berarti bagi budaya mereka. Spesies kunci ini memiliki peran holistik, menghubungkan nilai budaya, spiritual, hingga ekologis yang tinggi.
Garibaldi & Turner [2004] mendefinisikannya sebagai “Spesies yang menonjol secara budaya yang membentuk identitas budaya suatu masyarakat. Ini sebagaimana tercermin dalam peran mendasar spesies tersebut dalam makanan, bahan, obat-obatan, atau praktik spiritual.”
Sebagai contoh, bagi Suku Mapur di Pulau Bangka, resam dan wik peledes bukan sekadar tumbuhan biasa.
“Ini tumbuhan penting bagi kami. Tanpanya, ritual “nambek kubur” tidak bisa terlaksana,” kata Abok Gedoi, saat menunjukkan salah satu tumbuhan penting bagi Suku Mapur, pertengahan Agustus tahun lalu.
Wik peledes adalah jenis rotan terkenal sebagai produk hutan non-kayu terpenting di dunia, khususnya di Asia Tenggara. Ia masuk dalam Genus Daemonorops. Kulitnya berduri, tumbuh merambat, membentuk semak secara acak. Tumbuh subur di sepanjang aliran air Celengge di kaki Gunung Cundong, salah satu wilayah sakral Suku Mapur.
Menurut Abok Gedoi, panjangnya bisa puluhan meter. Selain dijadikan bahan kerajinan, tumbuhan ini juga sering digunakan untuk nambek kubur, sebuah ritual pemakaman Suku Mapur. Dalam salah satu bagian ritual, wik pledes akan ditimbun di gundukan tanah kuburan. Lalu, ujungnya ditarik dari sisi berlawanan.
“Orang yang menarik dilarang menoleh ke belakang jika tidak ingin kerasukan,” terangnya, yang juga dukun obat tersisa di Suku Mapur.
Baca: Di Hutan, Perempuan Suku Mapur Bahagia
Tumbuhan bernilai ekologis
Wik Peledes juga termasuk tumbuhan yang memiliki nilai ekologis signifikan. Fungsinya sebagai penjaga sumber air, memelihara kesehatan tanah, dan habitat beragam satwa.
“Memanfaatkan potensi rotan [dan bambu] akan membantu masyarakat global dalam mencapai tujuan ambisiusnya terhadap pembangunan, perubahan iklim, dan lingkungan,” tulis penelitian Zhao dan kolega [2022] dalam jurnal The Innovation.
Wik peledes juga terhubung dengan beruk [Macaca nemestrina], mungkin menjadi satu-satunya satwa yang dapat menyebarkan biji rotan dari spesies Daemonorops calicarpa dan Calamus castaneus [Ruppert et al., 2014].
“Beruk juga sangat kami hormati, karena merupakan inspirasi bagi pengetahuan obat dan gerakan silat Suku Mapur,” kata Abok Gedoi.
Selain itu, ada juga tumbuhan resam, yaitu bahan songkok resam yang menjadi identitas masyarakat Suku Ketapik di Dusun Belit, Kabupaten Bangka Barat. Tapi bagi Suku Mapur, resam juga digunakan sebagai gelang penanda bagi orang luar yang ingin memasuki hutan larangan.
Menurut Abok Gedoi, tumbuhan resam yang tumbuh di kiri dan kanan jalan kebun merupakan ‘pengantar’ atau ‘jalur’ menuju sebuah wilayah larangan.
“Penggunaan resam bertujuan agar para ‘penghuni’ hutan menganggap kita sebagai bagian dari hutan. Gelang ini penting agar selama perjalanan menyusuri hutan, mereka [penghuni hutan] menjaga kita, sehingga tidak ada kejadian buruk menimpa kita,” lanjutnya.
Resam, secara umum tersebar di wilayah tropis hingga sub tropis, dan dikenal sebagai salah satu spesies kunci, karena berbagai kemampuannya dalam menjaga kesehatan tanah.
Tumbuhan ini juga tergolong jenis pakis purba dan memiliki peran penting dalam proses pemulihan ekosistem hutan, tahan terhadap tekanan lingkungan, dan pengendali suksesi [Yang et al., 2021; J. Zhao et al., 2012].
Baca: Hutan Tergerus, Songkok Resam Bangka Belitung Terancam Hilang
Tradisi behume
Dalam konteks pertanian tradisional, resam juga berkaitan dengan tradisi behume [berkebun], yang umum dilakukan oleh masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung.
Pembukaan lahan behume dilakukan dengan cara membakar sepetak hutan sekunder [kurang setengah hektar], dan resam berperan penting dalam proses regenerasi lahan pasca-perladangan.
“Setelah ditanami dan dipanen, lahan dibiarkan pulih kembali. Biasanya banyak resam yang tumbuh duluan, diikuti pohon lainnya,” kata Atok Kasmin [78], yang sudah puluhan tahun mempraktikkan tradisi behume.
Menurut Jessix Amundian dari Tumbek for Earth, tumbuhan seperti wik peledes dan resam, adalah sedikit contoh dari keanekaragaman hayati yang bernilai budaya, spiritual, dan ekologis tinggi bagi masyarakat adat di Kepulauan Bangka Belitung.
“Tumbuhan ini penting dijadikan sebagai fokus dalam upaya konservasi, terlepas dari apakah terancam punah ataupun tidak. Yang jelas, mereka punya nilai luar biasa penting bagi budaya, spiritual, dan ekologis dalam lanskap biokultur mereka,” katanya.
Baca: Menjaga Tradisi “Behume”, Menyelamatkan Bangka Belitung dari Krisis Pangan
Perbedaan cara pandang perlindungan
Seperti resam, rotan dan spesies non-ikonik atau terancam punah lainnya, sering tersisih dari kebijakan konservasi karena tidak termasuk dalam spesies terancam punah atau dilindungi undang-undang.
Sebuah penelitian terbaru yang melibatkan masyarakat Suku Bundjalung di pesisir timur Australia, menyatakan bahwa hal ini terbukti bermasalah dari sudut pandang kebijakan dan praktiknya.
“Karena, penunjukan dan pengelolaan CSE [Culturally Significant Entities] oleh pribumi, dapat ditolak oleh para pembuat keputusan jika tidak sesuai dengan persyaratan kerangka hukum dan peraturan,” tulis Goolmeer dan kolega [2024], dalam penelitian mereka yang terbit di jurnal Nature Ecology and Evolution.
Dalam konteks Autralia, CSE merupakan entitas yang signifikan secara budaya, yang mencakup spesies dan komunitas ekologi. Penelitian partisipatif Goolmeer dan kolega, menghasilkan 25 spesies dan sembilan tipe habitat yang signifikan secara budaya.
Menariknya, lima dari delapan CSE prioritas, koala, platipus, elang ekor baji, emu pesisir, dan ekidna, adalah spesies ikonik Australia dan tercantum dalam undang-undang spesies terancam punah. Hal ini mengisyaratkan peluang untuk pengelolaan kolaboratif dilakukan.
“Lebih jauh, daftar ganda spesies menekankan perlunya mempertimbangkan masyarakat adat sebagai pemegang hak dalam nominasi dan pengelolaan spesies yang terancam,” tulis penelitian tersebut.
Lebih lanjut, tindakan pengelolaan yang dipimpin Bundjalung [masyarakat adat], mengambil pendekatan bentang alam yang dikenal sebagai pengelolaan berbasis ekosistem. Tidak seperti pendekatan spesies terancam saat ini, pendekatan CSE oleh masyarakat adat lebih bersifat holistik.
“Tindakan pengelolaan tradisional yang diidentifikasi oleh masyarakat lokal dapat mencapai berbagai hasil bermanfaat untuk semua CSE Bundjalung yang diprioritaskan, habitatnya, dan spesies yang hidup berdampingan,” tulis penelitian tersebut.
Baca juga: Perlindungan Masyarakat Adat Makin Tak Jelas
Pemimpin konservasi
Penelitian yang sama juga mengidentifikasi beberapa tantangan, seperti perbedaan antara pengetahuan tradisional dan pengetahuan ilmiah, dan kebutuhan akan dukungan kebijakan yang lebih baik untuk mengimplementasikan rencana pengelolaan yang dipimpin masyarakat adat.
Selain itu, penting untuk mengakui hak-hak masyarakat adat dalam mengelola tanah dan sumber daya alam mereka. Kolaborasi antara masyarakat adat, pemerintah, dan organisasi konservasi juga sangat penting untuk mencapai tujuan konservasi yang berkelanjutan.
“Dengan memberikan mereka otonomi dan dukungan yang diperlukan, kita dapat mencapai tujuan konservasi yang lebih baik, sekaligus menghormati hak-hak dan nilai-nilai budaya masyarakat adat,” lanjut penelitian tersebut.
Di Indonesia, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara [AMAN] mencatat, sepanjang tahun 2023 terdapat sekitar 2.578.073 hektar wilayah adat yang dirampas atas nama investasi.
Perampasan ini disertasi tindakan kekerasan dan kriminalisasi yang menyebabkan 247 orang korban dan kurang lebih 100 rumah masyarakat adat dihancurkan karena dianggap mendiami kawasan konservasi negara.
Menurut Jessix, penelitian atau penggalian pengetahuan tentang tumbuhan, satwa, dan tempat bernilai budaya penting, serta sistem pengelolaan berbasis masyarakat adat, harus terus dilakukan.
“Pemerintah seharusnya menempatkan masyarakat adat sebagai sumber pengetahuan, bukannya ditenggelamkan dalam konflik berkepanjangan. Sudah saatnya, masyarakat adat ditempatkan sebagai pemimpin konservasi,” tegasnya.
Referensi:
Garibaldi, A., & Turner, N. (2004). Cultural keystone species: implications for ecological conservation and restoration. Ecology and Society, 9(3).
Goolmeer, T., Costello, O., Bolt, M., Costello, O., Close, K., Close, R., Day, K., Ferguson, M., Ivey, S., Kennedy, M., King, T., Moran, A., Telford, G., Telford, J., Telford, S., Wilson, K., Woods, M., Skroblin, A., Rumpff, L., … participants, C. S. E. workshop. (2024). Indigenous-led designation and management of culturally significant species. Nature Ecology & Evolution. https://doi.org/10.1038/s41559-024-02466-w
Yang, L., Huang, Y., Lima, L. V., Sun, Z., Liu, M., Wang, J., Liu, N., & Ren, H. (2021). Rethinking the ecosystem functions of Dicranopteris, a widespread genus of ferns. Frontiers in Plant Science, 11, 581513.
Zhao, H., Wang, J., Meng, Y., Li, Z., Fei, B., Das, M., & Jiang, Z. (2022). Bamboo and rattan: Nature-based solutions for sustainable development. The Innovation, 3(6), 100337. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.xinn.2022.100337
Zhao, J., Wan, S., Shao, Y., Xu, G., Liu, Z., Zhou, L., & Fu, S. (2012). Dicranopteris-dominated understory as major driver of intensive forest ecosystem in humid subtropical and tropical region. Soil Biology and Biochemistry, 49, 78–87.