Sejarah peradaban manusia di Pulau Sumatera tidak terlepas dengan keberadaan gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus]. Termasuk pula di Sumatera Selatan. Beberapa literasi dari masa lalu membuktikan hal tersebut.
Di masa pra sejarah, gajah sudah dikenal masyarakat yang menetap di wilayah dataran tinggi di Sumatera Selatan atau yang dikenal sebagai wilayah Pasemah atau Besemah. Misalnya, di masa megalitikum.
Dominik Bonatz dalam “Megalithic landscapes in the highlands of Sumatra proseding dari Megaliths – Society – Landscapes: Early Monumentality and Social Differentiation in Neolithic Europe vol. 1 [hal 427-9]” secara panjang mengulas bagaimana posisi gajah berperan dalam sosial masyarakat, sebagaimana tercermin dari tinggalan pahatan gajah dan manusia yang tersebar di wilayah Pasemah.
Pada ulasan Mongabay Indonesia berjudul “Membunuh Gajah, Menghancurkan Jejak Peradaban Bangsa Indonesia” yang ditulis hampir satu dekade lalu, menyoroti bagaimana peranan gajah dalam peradaban di Sumatera, khususnya di Pasemah.
Tara Steimer-Herbet juga turut mengatakan dari batu dengan ukiran binatang, terutama gajah, kita dapat melihat prinsip nilai peradaban Pasemah yang dibangun atas keselarasan manusia dengan alam ujarnya dalam buku berjudul “Indonesian Megaliths: A forgotten cultural heritage [hal.24].”
Masa Kedatuan Sriwijaya
Kami memandang salah satu kacamata yang tepat dalam melihat bagaimana Kedatuan Sriwijaya membangun relasinya dengan alam, yaitu dengan melihat kembali isi teks Talang Tuwo.
Berikut potongan teks Talang Tuwo yang kami ambil dari “Les Inscriptions Malaises De Çrīvijaya oleh G. Cœdès” yang kami terjemahkan dengan bantuan deepl.com dari versi Bahasa Prancis ke Bahasa Indonesia:
“Kemakmuran! Keberuntungan! Pada tahun çaka 606, pada hari kedua dari dua minggu yang cerah di bulan Caitra: pada saat inilah taman [bernama] Çrïksetra ini dibuat di bawah arahan dari Yang Mulia Çrï Jayanâça. Inilah sumpah dari Yang Mulia: Bahwa segala sesuatu yang ditanam di sini, pohon kelapa, pohon pinang, pohon aren, pohon sagu dan berbagai macam pohon yang buahnya dimakan, serta bambu âur, wuluh dan pattum, dan lain-lain; dan juga, semoga kebun-kebun lainnya dengan bendungan-bendungan, kolam-kolam, dan semua perbuatan baik yang telah kulakukan, dapat memberikan manfaat bagi kebaikan semua makhluk, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, dan bagi mereka merupakan sarana terbaik untuk memperoleh kebahagiaan.”
Meskipun prasasti ini tidak secara spesifik menyebutkan gajah, namun kami melihat bahwa prinsip pembangunan Taman Sriksetra menggambarkan prinsip yang dibangun Sri Jayanasa, selaku penguasa Sriwijaya dalam berhubungan dengan alam.
Ada tiga kata penting yang menurut kami menjadi akar dari prinsip harmonisnya manusia dan alam di masa Kedatuan Sriwijaya, yaitu kata kemakmuran dan keberuntungan menjadi pembuka, atau latar belakang dari dibangunnya taman tersebut dengan penegasan pada tujuannya yaitu “…bagi kebaikan semua makhluk….untuk memperoleh kebahagiaan….”. Hal ini, kiranya dapat kita lihat sebagai prinsip Kedatuan Sriwijaya yang dibangun untuk berbagi terhadap semua makhluk, sebagaimana tercermin dalam prasasti tersebut.
Keberadaan gajah pada masa Sriwijaya juga dapat banyak ditemukan pada berbagai referensi, seperti diwartakan godnewsfromindonesia, yang mengutip ulasan S.Q. Fatimi tentang dugaan hubungan antara Dinasti Bani Ummayah dan Sriwijaya, yang dalam kajiannya menyebutkan melimpahnya gajah di Kedatuan Sriwijaya. Berita mengenai gajah di Sriwijaya juga umum diketahui hadir dalam berbagai prasasti tentang Sriwjaya, seperti dilaporkan Mongabay Indonesia.
Dalam tulisannya, S.Q. Fatimi juga mengutip surat yang diduga dikirim oleh Raja Sriwijaya, yang ia salin dari kutipan di dalam al-‘Iqd al-Farid oleh Ibn ‘Abd Rabbih dialamatkan kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Dinasti Ummayah, yang kami kutip dari versi Bahasa Inggrisnya:
“Dari Raja Segala Raja, yang ia adalah keturunan dari Seribu Raja pula, yang Permaisurinya juga merupakan keturunan dari Seribu Raja, yang di dalam kandangnya terdapat seribu gajah, dan yang di dalam wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi tanaman gaharu, rempah-rempah yang wangi, pala, dan kapur barus, yang wanginya menyebar hingga sejauh dua belas mil” [diterjemahkan dengan deepl.com].
Masa Kerajaan Palembang – Simbur Cahaya
Di masa pemerintahan Kesultanan Palembang, satu-satunya informasi yang dapat diperoleh secara langsung, menghubungkan kondisi hubungan manusia dengan gajah, yakni catatan mengenai gading gajah yang termuat di dalam Undang-Undang Simbur Cahaya, yang kami kutip dan lakukan transliterasi dari tulisannya L. W. C Van Den Berg berjudul Retchtsbronnen Van Zuid-Sumatra:
“Bab 3 Aturan Dusun dan Berladang, Pasal 29: Jika orang numpang bertemu gading atau culo yang sudah mati, melainkan dibagi tiga, dua bagi pulang pada yang bertemu dan satu lagi pada orang banyak yang punya tanah, tetapi jika orang menumpang bunuh gajah atau badak, gading dan cula ia sendiri yang punya.”
Aturan ini selain berbicara mengenai aturan tentang perkara pembagian sumber daya dari satwa liar bagi petani, yang menggarap tanah di luar kawasan marganya.
Pasal yang kami kutip juga menunjukkan, gading gajah merupakan komoditas yang umum diperdagangkan dan dianggap sebagai barang berharga, selain disebutkan juga culo [cula badak].
Pengaturannya dalam koridor hukum juga menunjukkan manajemen konflik agar gading gajah dan cula badak sebagai sumber daya, tidak menjadi sumber perselisihan. Jika ditilik sekilas, pemahaman secara terburu-buru akan aturan ini seperti menunjukkan dorongan perburuan gajah. Namun, kami mencatat sebagai bentuk kehati-hatian, penafsiran atas aturan ini memerlukan kajian socio-legal studies yang menyeluruh.
Sebagai bentuk kehati-hatian, perlu juga melihat versi dari Simbur Cahaya yang dirujuk. Versi aturan yang kami kutip di sini merupakan versi yang tersedia dari sumber masa Kolonial Belanda tahun 1894. Tentu boleh jadi, ada banyak perubahan dari versi yang dikeluarkan dalam proses perjalanan keadaan sosial di Sumatera Selatan selama berabad-abad.
Namun, versi aturan yang kami rujuk di sini merupakan versi yang tersedia di Wikipedia, yang merupakan versi hukum yang dikeluarkan di masa pemerintahan Hindia Belanda tahun 1922. Tentu boleh jadi, ada banyak perubahan dari versi yang dikeluarkan dalam proses perjalanan keadaan sosial di Sumatera Selatan selama tiga abad.
Masa Kesultanan Palembang
Kami menelusuri tulisan Pichayatapt Naisupap [Toh] berjudul “The Emblematic Elephant: Elephants, the Dutch East India Company, and Eurasian Diplomacy in the Sevententh Century” untuk tesisnya di Leiden University.
Dari tesis tersebut, Naisupap merangkum bahwa tidak ketinggalan dari berbagai negeri di belahan Asia, gajah turut menjadi komoditas yang dikirim oleh Palembang sebagai misi diplomasi. Namun, dari banyaknya sumber arsip yang tersedia di Leiden dan sumber lainnya yang dirujuk oleh Naisupap, Palembang dalam berbagai catatan VOC, diberitakan hanya dua kali mengirimkan gajah ke pihak lain.
Pertama tahun 1641 dari Palembang kepada VOC dan kedua pada 1668 dari Palembang ke Mataram, yang masing-masing satu individu gajah. Tidak disebutkan dengan jelas bagaimana Palembang memperoleh gajah diplomasinya. Namun dari kecilnya jumlah pengiriman, kami menyangsikan kalau Kesultanan Palembang terdapat “sekolah gajah” sebagaimana yang Indonesia miliki pada masa Orde Baru dengan menangkap gajah liar untuk dijinakkan.
Informasi pendukung yang kiranya dapat menjadi perhatian adalah berita mengenai sejarah asal-usul Cimahi yang berkaitan erat dengan Palembang. Kuatnya peran gajah asal Palembang dalam sejarah Batulayang [Cimahi hari ini] tercatat dalam uraian Robert Wessing dalam Spirits of the Earth and Spirits of the Water: Chthonic Forces in the Mountains of West Java yang seorang penguasanya mengambil nama Rangga Gajahpalembang, sebagai gelar kekuasaannya hingga dinasti kekuasaannya [istana/court] turut dinamakan sebagai dalem Gajah Palembang oleh penerusnya, sebagaimana diuraikan Wessing [hal. 50].
Kami kesulitan menemukan sumber primer mengenai asal-usul penamaan, namun dari informasi yang diwartakan detik.com, Mahmud Mubarok yang tergabung dalam Tjimahi Heritage menjelaskan bahwa Dalem Abdul Rohman, penguasa di Batu Layang, memeroleh satu individu gajah atas jasanya dalam membantu Kesultanan Palembang dalam menangani konflik manusia dengan gajah. Ini pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin Jaya Wikrama atau penerusnya Sultan Ahmad Najamuddin Adi Kusuma.
Dengan membandingkan catatan Wessing dengan Mubarok, kami menduga keberhasilan Dalem Abdul Rahman dalam menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Kesultanan Palembang dengan gajah yang telah ditaklukkan menjadi simbol kharismatik kehebatan penguasa Batulayang, sehingga nama gajah Palembang disematkan kepada beliau dan selanjutnya dilestarikan oleh penerusnya sebagai nama dinasti keturunan [court].
Catatan sejarah Cimahi ini juga sekaligus menunjukkan bahwa Kesultanan Palembang tidak mempunyai penangkaran gajah, ataupun tim penakluk gajah sehingga kejadian langka berupa konflik manusia dengan gajah memaksa penguasa Palembang mendatangkan ahli satwa liar dari Tanah Sunda.
Masa Hindia Belanda
Keadaan relasi manusia dan gajah pada masa Hindia Belanda [pasca 1825, terhitung dari diasingkannya Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom], kami menyajikan tiga gambar yang didapat dari arsip KITLV [The Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde] di Belanda.
Ketiga foto ini, menunjukkan gajah sudah sebagai komoditas kepemilikan oleh orang-orang Eropa di Palembang. Tapi, gambar yang didapatkan tidak memberikan keterangan lebih lengkap mengenai persis fungsi ataupun tujuan dari gajah-gajah tersebut ditangkarkan.
Gambar pertama menunjukkan “Gajah besar dan kecil [di] Palembang”, namun dari gambar tersebut kita dapat melihat bahwa gajah besar yang ditunjukkan masih belum mencapai usia dewasa, terlihat dari gadingnya yang berukuran kecil.
Hal menarik yang menjadi perhatian juga adalah bagaimana metode penjinakan gajah pada masa itu. Ini dikarenakan, dari gambar kita tidak menemukan gancu yang umum diketahui sebagai alat yang digunakan mahout untuk mengingatkan gajah akan rasa sakit sewaktu masa penjinakan, sehingga gajah diharapkan dapat patuh.
Dua gambar berikutnya, menunjukan afeksi yang diberikan orang-orang Eropa terhadap gajah. Ada kemungkinan, penangkaran gajah ini juga berfungsi sebagai tempat wisata. Kumpulan anak-anak gajah tanpa kehadiran induknya pada gambar juga menjadi pertanyaan tambahan. Apakah mungkin anak-anak gajah ini diambil dan dipisahkan dari induknya di alam?
Masa penjajahan kolonial Belanda juga menjadi penanda baru hubungan gajah dan manusia. Pada masa pemerintahan pribumi Palembang, hampir sulit ditemukan jejak penjinakan gajah. Pada masa penjajahan Belanda, hubungan antar spesies ini memasuki tahapan barunya, ketika gajah mulai ditangkarkan.
Meskipun dari gambar yang kami lampirkan, dari absennya gancu, besar kemungkinan metode penjinakan gajah memiliki perbedaan dengan metode yang dilakukan di Asia daratan [lihat gancu yang terdapat pada artefak orang Deccan (India) yang kami tinjau di Museum Ashmolean, Oxford].
Masa Indonesia Merdeka
Di antara peristiwa penting dalam hubungan gajah dan manusia terdapat di Sumatera Selatan, lewat Operasi Ganesha yang dipimpin oleh IGK Manila guna mengatasi konflik gajah dan transmigran yang ada di Padang Sugihan, Sumatera Selatan pada 1982.
Dikutip dari Kumparan, dijelaskan prinsip tata kelola melalui tata, bina, dan guna liman [gajah] oleh pemerintah Orde Baru. Prinsip ini dikatakan dibangun atas prinsip bahwa gajah haruslah “berguna” bagi manusia.
Kami memberikan tanda kutip pada kata berguna, dikarenakan guna pada kata tersebut kental nuansa berguna dari perspektif manusia [lihat ulasan oleh Dr Wishnu Sukmantoro mengenai tata, bina, guna liman].
Dari berbagai informasi yang kami peroleh dalam melakukan penelitian dan reportase di Sumatera Selatan, terutama komunikasi dengan mahout senior, kami juga menemukan informasi bahwa atas asas prinsip Guna Liman ini juga yang menjadi motivasi pemerintah Orde Baru untuk mendatangkan pawang pelatih [juga dikenal sebagai mahout] dari Thailand. Tujuannya, untuk memberikan pelatihan kepada masyarakat [terutama dari transmigran] guna mendukung program pemerintah atas tata kelola gajah.
Hal ini menjadikan Sumatera Selatan memasuki era baru dalam ihwal relasi manusia dan gajah, yang menggunakan prinsip penjinakan gajah dengan metode dari Asia daratan untuk mengatur hubungan manusianya dengan gajah. Sebagai contoh sederhana, yaitu digunakannya gancu oleh mahout untuk mengelola gajah yang menjadi tanggung jawabnya.
Masa Depan Gajah Sumatera
Uraian kami di atas mengulas perubahan nilai akan hubungan manusia dengan gajah dari masa ke masa. Kami mengajak bersama, untuk merefleksikan kembali nilai apa yang akan kita tulis untuk membangun peradaban kita di masa depan.
Dari uraian kami juga, kita dapat dengan jelas melihat bahwa peradaban manusia dan gajah di Sumatera Selatan tidak dapat dipisahkan. Gajah sumatera di Sumatera Selatan, masih dapat ditemukan di alam bebas maupun tidak [pusat konservasi] di berbagai wilayah di Sumatera Selatan.
Pembangunan peradaban Indonesia mendatang semestinya mengkaji ulang duduk posisi kita dalam berhubungan dengan gajah. Perubahan nilai negatif yang datang dimulai dari masa kolonial, harus ditinjau ulang dengan memakai kacamata dekolonisasi.
Prinsip keharmonisan yang dibangun di masa lalu, sudah semestinya dimaknai kembali dengan kearifan lokal masyarakat kita, dengan tidak mengesampingkan perspektif dari gajah [pandangan more-than-human].
* Yusuf Bahtimi, kandidat doktor di The Queen’s College, University of Oxford di Inggris, tengah menyelesaikan kajian mengenai koeksistensi manusia dan gajah di Sumatera Selatan.
Taufik Wijaya, jurnalis dan pekerja seni menetap di Palembang. Tulisan ini opini penulis.
Membunuh Gajah, Menghancurkan Jejak Peradaban Bangsa Indonesia