- Lahan gambut bekas terbakar di area konsesi maupun non konsesi di tujuh provinsi prioritas restorasi banyak dalam kondisi mengkhawatirkan.
- Temuan terbaru dalam kajian Pantau Gambut berjudul ‘Gelisah di Lahan Basah’ memperlihatkan, banyak lahan gambut bekas terbakar justru berubah jadi perkebunan monokultur dominan kebun sawit, kondisi sekat kanal rusak, hingga tinggi muka air tanah (TMAT) tak sesuai standar.
- Berdasarkan kawasan, 57% lahan gambut dengan fungsi lindung terbakar berubah menjadi sawit. Padahal, aturan gambut jelas melarang pembukaan lahan di ekosistem gambut dengan fungsi lindung.
- Wahyu Perdana, Manajer Advokasi Pantau Gambut mengatakan, klaim keberhasilan penataan lahan gambut, muncul di ajang pembicaraan soal karbon tetapi kondisi lapangan menunjukkan hal berbeda.
Lahan gambut bekas terbakar di area konsesi maupun non konsesi di tujuh provinsi banyak dalam kondisi mengkhawatirkan. Temuan terbaru dalam kajian Pantau Gambut berjudul ‘Gelisah di Lahan Basah’ memperlihatkan, banyak lahan gambut bekas terbakar justru berubah jadi perkebunan monokultur dominan kebun sawit, kondisi sekat kanal rusak, hingga tinggi muka air tanah (TMAT) tak sesuai standar.
Kajian dilakukan pada 289 titik sampel gambut di area restorasi pemerintah dan 240 titik sampel gambut di restorasi konsesi. Kedua jenis lokasi ini diambil di Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) pada tujuh provinsi: Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Papua Barat.
Dari titik-titik itu, hanya 3% area sampel gambut di kawasan hutan negara dan 1% konsesi perusahaan jadi hutan kembali. Padahal, kawasan ini merupakan lahan bekas terbakar dan rusak.
“Lokasi riset kami di tempat yang degradasinya parah, dan kehilangan area luas di rentang 2015-2020,” kata Almi Ramadhi, Data Analyst Pantau Gambut saat rilis temuan mereka di Jakarta, akhir Juli lalu.
Lahan gambut rusak tak jadi hutan kembali ini jelas melanggar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57/2016 jo Nomor 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (PP Gambut). Parahnya, 95% lahan yang pernah terbakar ini 91% berubah jadi sawit, 4% akasia, 2% karet dan 3% semak belukar.
Kalau melihat berdasarkan kawasan, 57% lahan gambut dengan fungsi lindung terbakar berubah menjadi sawit. Padahal, PP gambut jelas melarang pembukaan lahan di ekosistem gambut dengan fungsi lindung.
Sementara di konsesi perusahaan, 48% lahan yang pernah terbakar berubah menjadi tanaman monokultur, dan 50% jadi semak belukar.
Berdasarkan jenisnya, 47% lahan bekas terbakar berubah jadi sawit, 38% jadi akasia, 12% eukaliptus, dan 2% karet.
“Ada indikasi pembukaan lahan dilakukan perusahaan dengan cara dibakar,” kata Almi.
Sayangnya, kebakaran lahan gambut di konsesi tidak mendapatkan penindakan hukum. Padahal, 81% dari 69 titik sampel area gambut lindung dipenuhi tanaman monokultur.
Mengacu pada Pasal 14 Peraturan Menteri LHK Nomor 16/2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut, seharusnya area bekas terbakar dan kehilangan tutupan hutan perlu penanaman kembali dengan jenis tanaman asli dan ramah gambut. Bukan, justru ditanami tanaman monokultur seperti sawit dan akasia.
“Jenis tanaman ini tidak cocok di gambut tapi dipaksa.”
Menurut dia, revegetasi serius akan menanam jenis purun atau ulam. “Paludikultur pun bisa dikembangkan di gambut, atau menanam beragam tanaman toleran seperti nanas atau kopi liberika.”
Degradasi dan pengeringan
Vegetasi tak dilakukan di lahan gambut terbakar di area restorasi berpotensi menghasilkan masalah baru. Salah satunya, berpotensi terbakar dan melepaskan lebih banyak emisi gas rumah kaca.
Dalam laporan Pantau Gambut menyebut, kemunculan semak belukar di area KHG pasca kebakaran merupakan indikasi gambut sudah terdegradasi. Semak belukar dengan liar akan jadi bahan bakar ideal menyulut kebakaran berulang.
“Dugaan kami, area semak belukar ini sedang menunggu untuk ditanami atau memang tidak bisa ditanam karena akses jauh,” kata Almi.
Kondisi ini, katanya, diperparah masih banyak kanalisasi yang mengeringkan lahan gambut. Dari 289 titik sampel di lahan restorasi pemerintah, 54% lahan gambut disebut sudah memiliki kanal dan ada pengeringan.
Dari 240 sampel di konsesi korporasi, 49% titik sudah tercabik kanal dengan 65% berada di kawasan gambut fungsi lindung.
Pengeringan ini, katanya, berkorelasi dengan upaya penanaman sawit dan akasia yang membutuhkan kondisi lahan tidak basah. Hal ini diperkuat dengan temuan 70% dari 117 sampel lahan gambut berkanal pada area terbakar di konsesi perusahaan sudah didominasi tanaman monokultur ini.
Kondisi ini, diperparah dengan gambut yang dibiarkan kering melebihi ambang batas TMAT yang sudah ditentukan. Di lahan restorasi pemerintah, 60% sampel memiliki TMAT lebih dari 40 cm.
Di konsesi perusahaan, hanya 38% sampel memiliki TMAT lebih dari 40 cm. Persentase ini terdongkrak karena lahan gambut di Papua masih baik karena belum banyak dibuka untuk perkebunan.
Semua sampel ini, katanya, diambil pada Desember 2023- Maret 2024, yang merupakan musim hujan. “Pada periode ini, harusnya gambut basah dan aman,” kata Almi.
TMAT yang tidak sesuai standar pada periode musim hujan ini sangat mengkhawatirkan. Apalagi, ada satu sampel di PT Bumi Mekar Hijau, Sumatera Selatan, juga merupakan kawasan langganan kebakaran dengan TMAT sampai 120 cm.
”Padahal 20 cm saja sudah berpotensi kebakaran. Tapi ini di musim hujan sampai 120 cm. Bisa jadi di musim kering sampai 2 meter.”
Pertanyakan keseriusan
Temuan Pantau Gambut ini bertolak belakang dengan dari ucapan pemerintah yang membanggakan keberhasilan restorasi gambut. Sebelumnya, Alue Dohong, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pernah membanggakan capaian restorasi gambut pemerintah maupun konsesi yang mencapai 5,6 juta hektar.
Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam pertemuan Committee on Forestry (COFO) ke 27 di Roma, Italia, bulan lalu bahkan menyebut akan terus meningkatkan ekosistem gambut.
“Basis klaim keberhasilan selalu numeric project. Bagaimana dengan baku mutu keberhasilannya?” kata Wahyu Perdana, Manajer Advokasi Pantau Gambut.
Klaim keberhasilan gambut, katanya, selalu muncul di ajang pembicaraan soal karbon tetapi kondisi lapangan menunjukkan hal berbeda.
Infrastruktur restorasi gambut seperti sekat kanal, 70% dari 77 di restorasi pemerintah yang jadi sampel dalam penelitian Pantau Gambut ternyata statusnya mengkhawatirkan karena kurang perawatan.
Hal ini terlihat dari beberapa sudah ditumbuhi semak belukar. Bahkan, 52% sekat kanal memiliki TMAT melebihi 40 cm dari permukaan tanah.
Dia pun mempertanyakan keseriusan pemerintah merestorasi lahan gambut dengan melihat 92% sekat kanal dibangun gunakan material kayu/papan/goni yang bersifat sementara. Hanya 5% dari beton atau besi yang bisa jadi sekat permanen.
Kondisi sumur bor pun tidak jauh beda karena banyak tidak terawat. Beberapa bahkan sudah tersumbat tanah hingga susah digunakan kalau terjadi kebakaran.
“Jangan sampai klaim keberhasilan pemerintah itu cuma jadi pencitraan di tingkat global,” kata Wahyu.
Dari sini, setidaknya ada lima hal yang Pantau Gambut dorong. Pertama, pemerintah harus memenuhi asas tanggung jawab negara.
Kedua, pemerintah harus melakukan langkah pencegahan sebagai upaya penegakan hukum.
“Sependek pengetahuan kami, sampai saat ini, penuntutan terhadap korporasi baru terjadi ketika kebakaran hutan dan lahan gambut. Padahal, regulasinya memungkinkan untuk penindakan ketika TMAT tidak memenuhi.”
Ketiga, korporasi harus bertanggungjawab mutlak pada area konsesinya. Keempat, korporasi harus membuktikan klaim keberlanjutan secara berkala dan transparan. Kelima, lembaga pembiayaan harus mengetatkan audit lingkungan.
“Karena masih banyak lembaga pembiayaan menaruh uang di bisnis yang merusak gambut.”
******
Buka Kebun Sawit Tanpa Izin, Perusahaan ini Rusak Lingkungan Subulussalam