- Petani garam tradisional di Jeneponto, Sulawesi Selatan, menghadapi tantangan serius akibat perubahan iklim. Cuaca ekstrem seperti hujan di luar musim dan peningkatan curah hujan telah mengganggu siklus produksi garam, mengakibatkan penurunan hasil panen dan pendapatan petani.
- Selain tantangan cuaca, petani garam tradisional juga menghadapi tantangan akses ke gudang penyimpanan. Hal ini membuat petani sulit menyimpan hasil panen untuk dijual saat harga tinggi, sehingga pendapatan mereka menjadi tidak stabil. Padahal harga garam sering kali turun drastis selama musim kemarau.
- Penelitian (2020) di Jeneponto menyebutkan terjadi peningkatan curah hujan dan musim kemarau sangat singkat sejak 2009. Pergeseran musim kemarau dan hujan membuat produksi garam kian tak stabil. Dampaknya, masa bertani makin pendek dan mengurangi produktivitas garam.
- Artikel ini menyajikan potret-potret persiapan petani garam tradisional di Jeneponto, Sulawesi Selatan.
Butir-butir garam mulai terbentuk di tambak Abdul Azis Daeng Sitaba, petani garam tradisional Kecamatan Bangkala, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Setidaknya tiga hari lagi, Azis bisa memanen garam pertama kali akhir Juni lalu. Dia sudah berhitung berapa tabungan yang kira-kira bisa didapatkan pada musim kemarau tahun ini.
Azis menggantungkan nasib pada terik matahari. Dalam satu bulan, dia mempersiapkan tambak garam agar mendapatkan garam dengan kualitas terbaik. Harapannya pada akhir Juni lalu, Azis sudah bisa punya tabungan.
Nahas, sehari sebelum panen yang ditunggu-tunggu, hujan turun menyapu butiran garam. Tabungan panen garam Aziz sirna. “Ikhlas mami, sambil tunggu-tunggu dua tiga hari (tambak) kembali diperbaiki,” ceritanya.
Baca juga: Sebuah Studi Menyebutkan Ada Mikroplastik pada Garam di Pulau Jawa
Tak lantas putus asa, tangan Azis mulai memukul-mukul tanah dengan pakkai ce’la untuk meratakan kembali pematang yang rusak karena hujan.
Alat pemukul khusus ini biasa digunakan petani garam tradisional untuk membuat pematang. Selain meratakan dan mendirikan pematang, petani biasa memperbaiki kincir angin dan membersihkan lumut.
Sudah tiga dekade, Azis menjadi petani garam di Jeneponto. Awalnya hanya membantu kedua orangtuanya, kini dia menyewa dan mengelola dua petak tambak garam seluas 2.200 meter persegi bersama anak laki-lakinya. Saat panen, dia membagi hasil sekitar 60% untuknya dan 40% buat pemilik lahan.
“Kami petani garam biasanya meminjam (uang) di awal musim karena persiapan lahan yang panjang dan tidak langsung menghasilkan, sedangkan biaya kebutuhan sehari-hari seperti makan harus tetap jalan,” cerita Azis.
Sayangnya, musim tak menentu membuat penghasilan kian menurun. Saat kemarau datang, petani Jeneponto mulai menyulap tambak ikan dan udang jadi tambak garam. Kalau persiapan tambak selesai, panen bisa dua sampai tiga hari sekali.
Keresahan Azis juga dirasakan Juru, juga petambak garam tradisional. Juru mematung di tanah kering yang mulai retak. Angin monsun timur menggerakkan kincir angin dan membawa air dari saluran ke petak-petak tambak—tonrang.
Air dalam tonrang akan menguap dan meninggalkan kristal garam di atas permukaan tanah. Tangan Juru dengan cekatan membuat pematang, membersihkan lumut dan mengalirkan air ke tambak garam miliknya. Setiap hari, hampir satu bulan, para petani garam Jeneponto bekerja mempersiapkan tambak.
“Persiapannya bisa sampai satu bulan, ini sudah minggu ketiga,” ujarnya.
“Tapi kalau hujan datang, semua akan sia-sia,” kata Juru. Kristal garam tidak terbentuk dan pematang tambak runtuh.
Baca juga: Tingkatkan Kualitas Garam, Petani Lamongan Gunakan Geomembran
Harga rendah hingga akses gudang penyimpanan
Saat kemarau panjang, harga garam akan turun drastis. Sebaliknya, musim hujan harga garam perlahan menanjak hingga berkali-kali lipat. Biasanya, petani akan menyimpan garam di gudang sebagai tabungan dan menjual saat harga baik. Pada Juni 2024, harga satu karung garam Rp40.000, turun tiga kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.
Penundaan panen juga membuat produksi garam semakin lama, dampaknya harga jual pun rendah. Cuaca tak menentu membuat produktivitas menurun dan kualitas garam kurang baik.
Hujan di musim kemarau, kata Azis, sudah menjadi tantangan dalam beberapa tahun terakhir. Pada Juni 2023, petani yang sudah mempersiapkan lahan menunda panen karena hujan terus turun. Para petani baru bisa panen di akhir Juli tetapi produksi relatif panjang hingga akhir Desember.
“Tahun 2022 lebih parah, petani memanen garam pertama pada pertengahan Juni dan berhenti di September karena musim hujan datang cepat,” ujarnya.
Baca juga: Melestarikan Garam Tradisional Bisa Mengurangi Risiko Mikroplastik
Di tengah cuaca tak pasti, petani biasa menyiasati dengan menyimpan di gudang sebagai tabungan. Sebagian besar garam dijual saat harga tinggi sebagai tabungan, sisanya langsung dijual pada tengkulak untuk kebutuhan sehari-hari.
“Garam itu termasuk tabungan untuk musim penghujan. Serta, tergantung ji dari kebutuhan, jika bisa disimpan sampai musim hujan akan lebih baik. Karena musim hujan kadang tidak ada pekerjaan, apalagi jika sawah sudah dikerjakan,” ucap Azis.
Sayangnya, tak semua petani tradisional memiliki gudang penyimpanan. Azis hanya punya ruang kecil di rumah panggungnya untuk menyimpan garam. Berbeda dengan Sahut, sama sekali tak memiliki gudang penyimpanan.
Dia menjual ke tengkulak dengan harga rendah karena tak memiliki gudang penyimpanan. “Setidaknya bisa untuk beli kebutuhan sehari-hari,” katanya.
Tahun ini, dia sudah panen ketiga kalinya. “Hasilnya tidak seberapa, harus pula dibagi dengan sang pemilik lahan, saya dapat ⅔ dari panenlah.”
Baca juga: Perjuangan Garam Rakyat Bersaing dengan Garam Industri
Tergantung musim
Petani garam tradisional beradu nasib dengan kondisi cuaca pada musim kemarau. Pergeseran musim kemarau dan hujan membuat produksi garam kian tak stabil. Penelitian (2020) di Jeneponto terjadi peningkatan curah hujan dan musim kemarau sangat singkat. Dampaknya, masa bertani makin pendek dan waktu kristalisasi garam semakin panjang.
“Persentase perkiraan produksi garam di atas rata-rata pun hanya 51,3%,” tulis penelitian itu.
Rijal M Idrus, Kepala Studi Penelitian Perubahan Iklim Universitas Hasanuddin, menjelaskan, ada kesulitan memprediksi musim hujan dan kemarau. “Pola iklim yang dipahami masyarakat mengalami pergeseran sehingga petani garam rakyat yang bergantung pada cuaca akan sangat terpengaruh,” katanya.
Dia contohkan, pola musim biasa mulai dengan musim hujan pada akhir Oktober hingga pertengahan April, sisanya kemarau. Kini sudah berubah. “Juli yang sudah musim kemarau malah hujan. Cuaca yang tidak pasti dan peningkatan intensitas hujan inilah yang dihadapi (petani) sekarang.”
Tak hanya pergeseran musim, kata Rijal, kenaikan muka air laut mulai mengintai para petambak garam. Kondisi ini, katanya, menjadi tantangan bagi petani penggarap ke depan.
“Mulai dari harga yang fluktuatif, modal besar, tak punya lahan dan kemarau yang kian tak menentu.” (***)
*M. Ridwan merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin. Dia tergabung dalam organisasi pers mahasiswa, Penerbit Kampus Identitas Unhas. Ridwan menjadi salah satu penerima fellowship Into the Climate Stories: Fight for the Future di Makassar pada Mei 2024.