- Ada banyak cara dilakukan demi menangani permasalahan sampah di Sungai Citarum, Jawa Barat yang sudah lama dijadikan pembuangan akhir sampah
- Yayasan Bening Saguling, River Recycle, Waste4Change, dan Greeneration Foundation, mencoba menghadirkan pengelolaan sampah secara terintegrasi dari sungai.
- Pemberdayaan masyarakat setempat menjadi kunci konsistensi kegiatan ini selama bertahun-tahun. Dari sampah ternyata bisa memberi beasiswa pendidikan dan pelayanan kesehatan gratis.
- Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan berkeinginan mereplikasi program pembersihan sungai seperti Citarum Harum di tujuh sungai di Jawa dan Bali.
Satu dekade terakhir ini Sungai Citarum di Jawa Barat kerap dijadikan tempat pembuangan akhir sampah. Daya rusaknya lebih berat ketimpang upaya pemulihannya, namun dibalik itu tidak sedikit pihak yang menyemai kepedulian sekalipun dihadapkan dengan masalah yang tak berujung.
***
Seperti beradu cepat dengan arunika di akhir Juli yang basah, Aan (54) bergegas mengayuh perahu kayu mengarungi “lautan” sampah di sungai yang berhulu dari Gunung Wayang. Tujuannya hanya satu mengumpulkan sampah sebelum memasuki area Bendungan Saguling di Kecamatan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.
Tangan kiri perempuan setengah abad itu mengayuh dayung, sementara tangan kanannya gesit memilah sampah yang bercampur dengan eceng gondok. Terlihat mudah, tetapi butuh keahlian agar perahu bisa melaju.
Dalam sekejap perahu sudah penuh oleh botol plastik, kresek, barang rongsok, hingga kayu-kayuan. Dalam sepekan, Aan bisa mengumpulkan sekitar enam kuintal atau setara 600 kilogram sampah dari sungai.
“Berangkat pagi pulang ke rumah habis Zuhur. Lumayan buat menambah kebutuhan sehari-hari,” ucap Aan.
Aan tidak sendirian. Ada 85 warga lainnya yang turut diperbantukan mengumpulkan sampah di kilometer 72-77 Sungai Citarum. Mereka adalah warga yang konsisten diperbantukan oleh Yayasan Bening Saguling.
Melalui lembaga itu, Aan mengaku lebih mudah mendapat rupiah. Dia juga bisa memasok eceng gondok yang kemudian diolah menjadi kerajinan tempat tisu, tas hingga produk lainnya.
Ada sosok Indra Darmawan dibalik berkah yang didapatkan warga seperti Aan. Dia adalah pendiri Yayasan Bening Saguling yang semula hanyalah berbentuk sebuah koperasi yang digunakan untuk bertransaksi antara sampah dengan rupiah.
Kini, sampah yang terkumpul bisa mencapai 80 ton per bulan. Dari jumlah itu, sebagian besar adalah sampah bernilai rendah alias low value seperti kantong plastik, kemasan saset, styrofoam, kemasan multilayer, dan lain sebagainya.
Baca : Menaruh Harap pada Keberhasilan Program Citarum Harum
Tidak hanya memberdayakan warga, yayasan ini bahkan mempekerjakan pemulung. Kata Indra, pemulung dianggap tenaga potensial yang bisa dilibatkan secara kontinyu.
Bayangkan saja, satu pemulung bisa mengumpulkan 1.000 kilogram sampah per pekan. Artinya, dia bisa memperoleh penghasil nyaris setengah dari upah minimum Bandung Barat Rp3,5 juta yakni sekitar Rp2 juta/bulan.
“Upayanya bukan hanya mengambil sampah dari sungai terus kami buang. Tapi bagaimana melibatkan masyarakat untuk menjadi subjek, mereka sebagai pelaku untuk membersihkan sungai. Harapannya tumbuh budaya baru untuk menyelesaikan sampah,” ujarnya.
Yayasan yang didirikan tahun 2014 saat ini mantap menjalan pekerjaan kolaborasi. Ada dua yang menjadi andalan yaitu pengelolaan sampah melalui Citarum Repair dan Plastic Credit. Hebatnya, kedua program pelestarian sungai itu tetap konsisten memberdayakan warga.
Program Citarum Repair menghadirkan solusi lewat sistem pengelolaan sampah berkelanjutan. Bekerjasama dengan River Recycle, Waste4Change, dan Greeneration Foundation, Indra mencoba banyak cara menangani masalah sampah akut.
“Kami memulai cara baru sejak 2021 dengan masing-masing punya peran,” ucapnya.
River Recycle bertanggung jawab menyediakan trash boom dan conveyor sebagai teknologi pengumpulan sampah. Lalu, Waste4Change berperan mendaur ulang sampah menjadi barang bernilai.
Sementara Plastic Credit, punya komitmen memberikan pendanaan untuk urusan menanggulangi produk plastik ke lingkungan. Akan tetapi, pendanaan yang diterima bukan dari produsen-produsen yang ada di Indonesia.
“Yang membiayai Plastic Credit ini malahan dari produsen-produsen Eropa. Mereka sadar terhadap masalah yang ditimbulkan, dan setahu saya, di Indonesia belum ada produsen yang bertanggung jawab atas produknya yang mencemari,” katanya.
Padahal sudah banyak diketahui jika pencemaran sampah plastik di sungai-sungai yang bermuara di Laut Jawa sudah amat mengkhawatirkan. Selain sampah plastik berukuran makro, ada juga ukuran mikro yang terdeteksi di tubuh ikan.
Baca juga : Pemulihan Citarum untuk Dunia (Bagian 1)
Oleh karena itu, Indra menegaskan, dampak dari sampah sudah sangat menimbulkan kerusakan. Butuh usaha keras agar warga tidak lagi terbiasa membuang sampah di sungai.
Sejak tahun 2000, lulusan jurusan Matematika Universitas Padjadjaran Bandung ini telah bergelut dengan sampah. Sekalipun tidak mudah, Indra teguh dan mampu melakukan inovasi. Semula hanya soal mengolah sampah, eceng gondok, hingga ternak, kini sudah bisa membangun sekolah dan klinik dengan bayaran sampah.
Program “Sekolah Anak Citarum” menjadi bukti kesungguhannya. Lewat itu, Indra sudah memberikan akses pendidikan gratis dari Taman Kanak-kanak (TK) hingga jenjang SMA bagi anak-anak pemulung. Sejauh ini sudah ada 35 murid dari kalangan warga dan pemulung yang menerima beasiswa.
Selain itu, terdapat pula “Klinik Kesehatan Berbayar Sampah” di Klinik Rumah Sehat Mitra Enviro. Program ini memungkinkan masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan dengan membayar pakai sampah juga.
“Jadi kalau mau berobat kami siapkan kliniknya. Masyarakat cukup membawa sampah ke tempat kami,” terangnya.
Paradigma baru
Direktur River Recycle, Danang Winarto, menuturkan konsep pembersihan sampah di sungai acap kali tak serius dijalankan secara menyeluruh. Dibutuhkan riset, dana dan political will yang berpihak pada keadilan lingkungan.
Dan paradigma soal sampah, katanya, selalu dianggap sepele penanganannya. Tata kelola pemerintah daerah hanya berfokus pada pola usang: mengangkut sampah ke tempat pembuangan akhir. Sementara masyarakatnya acuh terhadap berdampak buruk yang ditimbulkan akibat ketidakpatuhan.
“Ini yang kemudian menjadi kebiasaan yang sulit diubah. Tahu-tahu muncul masalah serius dan kerugian secara ekonomi besar sekali,” tuturnya.
Oleh karena itu, River Recycle bersama Yayasan Bening Saguling menciptakan paradigma baru dalam pengelolaan sampah. Beruntung, niat baik itu mendapat dukungan berupa dana pinjaman dari pemerintah Finlandia.
Baca juga : Atas Nama Sungai Citarum (Bagian 3)
Danang senang pihaknya menjadi salah satu yang dipercaya mendapat pendanaan dari kredit plastik. Apalagi infrastruktur yang dibangun menghabiskan anggaran sekitar Rp16 miliar. Sebagian besar digunakan untuk teknologi trash boom dan conveyor serta peralatan pendukung.
Sejumlah teknologi dibutuhkan sebagai penunjang. Sebab, pencemaran plastik di perairan bermula dari buruknya pengelolaan sampah di daratan. Karena itu, tata kelola harus dibenahi.
Danang memastikan program Citarum Repair dan Plastic Credit berbasis komunitas lokal. Sumber daya manusia yang mengerjakan kegiatan pemulihan sungai ini berasal dari kawasan Cihampelas dan sekitarnya. Konsep dasarnya adalah keikutsertaan masyarakat dan pembangunan ekonomi sirkuler.
Sebetulnya solusi yang dikerjakan Danang dan Indra ini sudah berjalan di berbagai negara, semisal, Filipina, India, Bangladesh, hingga Ghana. Namun, pola semacam ini malah masih jarang diadopsi di Indonesia.
“Tantangannya ada pada paradigma soal sampah. Terbukti produk olahan dari sampah masih minim dukungan, kebanyakan hanya melihat sebelah mata hanya karena dari sampah. Tapi jika aksi ini tidak kita mulai, perubahan tidak akan muncul,” katanya.
Merawat yang baik
Sementara itu, pemerintah pusat berencana mereplikasi Program Citarum Harum demi menangani permasalahan di tujuh daerah aliran sungai (DAS) yang ada di Pulau Jawa dan Bali. Hal itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan saat berkunjung ke sektor 9 Satgas Citarum Harum, Kecamatan Batujajar, Bandung Barat, Sabtu (10/8/2024).
Alasannya, lewat Citarum Harum masalah sampah dan mutu air perlahan dapat diperbaiki di sungai vital Jawa Barat ini. Apalagi penyelesaiannya diselesaikan secara tuntas dengan bekerja sama.
Baca juga : Pemulihan Sungai Citarum, Kisah Lama Dalam Cerita Baru (bagian 5)
Di sana, Luhut mengamati beberapa inovasi. Salah satunya, mesin yang diinisiasi oleh TNI AD. Ada juga pemaparan soal upaya penghijauan DAS kritis dengan penanaman lebih dari 30 juta pohon.
Setiap mendengarkan paparan dari berapa pihak, senyum Luhut mekar. Sekalipun pensiunan tentara bintang empat ini terbilang rajin berkunjung ke wilayah Sungai Citarum sejak Peraturan Presiden No.15/2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum diteken Joko Widodo. Namun kunjungan kali ini tampak optimis.
“Saya ingat enam tahun lalu waktu saya bisa jalan di atas (sungai) karena sampah semua. Saya agak pesimistis. Tapi, ternyata sudah baik bersih seperti ini dan ikan-ikan pun mulai hidup dan bisa ditebar. Kita patut bersyukur untuk itu,” katanya.
Keberhasilan ini, lanjut Luhut, perlu ditularkan kepada kebiasaan masyarakat. Anak-anak sekolah perlu diajarkan memisahkan sampah, sehingga mereka terbiasa disiplin terutama menjaga lingkungan.
“Sampah itu sangat berbahaya buat kesehatan. Jika dibuang sembarang akan muncul mikroplastik. Sampah kecil-kecil itu dimakan ikan dan ikan dimakan manusia. Itu berbahaya sekali. Dan jauh hari sudah saya sampaikan jika generasi orang di Jawa Barat ingin bermasalah silahkan buang sampah di sungai,” ujarnya.
Di akhir kunjungannya, Luhut menegaskan, skema pembersihan sungai nantinya bakal menggandeng sejumlah pihak, termasuk dari Uni Emirat Arab. Dia ingin hasil positif dari Citarum Harum memberikan inspirasi untuk kelestarian sungai yang lebih baik. (***)