- Tuna merupakan produk perikanan ‘favorit’ dunia. Permintaan tinggi, upaya pemenuhan pasokan pun mengikuti. Situasi itu memunculkan kekhawatiran ketersediaan tuna di masa depan dampak penangkapan berlebih atau aktivitas penangkapan secara ilegal (illegal, unreported, unregulated fising/IUUF).
- Laporan International Seafood Sustainability Foundation (ISSF) yang rilis April lalu menyebut, sekitar 10% dari total tuna yang ditangkap secara global alami penangkapan berlebih dan dinyatakan ke dalam status rentan.
- Perhitungan Garcia dan Herrera (2018) mengungkap, angka fantastis terkait tangkapan sampingan kapal-kapal tuna pada hiu. Di Samudera Hindia, volume tangkapan sampingan hiu diperkirakan mencapai 210.000 metrik ton per tahun kurun 2014-2016. Sekitar 50% dari jaring insang dan 50% rawai tuna.
- Abdi Suhufan, Direktur Destructive Fishing Watch (DFW) mengatakan, ada dua prinsip utama harus diperhatikan mewujudkan perikanan tuna berkelanjutan. Pertama, mencegah penangkapan berlebih. Kedua, memastikan tidak terganggunya ekosistem dan spesies lain.
Para pekerja kapal ikan terlihat sibuk. Dengan crane, ikan-ikan hasil tangkapan mereka turunkan dari kapal pengumpul yang sandar di dermaga Pelabuhan Benoa, Bali, akhir Juni lalu.
Lumayan banyak ikan yang diturunkan siang itu. Dominan tuna, tetapi ada jenis lain seperti kakap merah, ikan pedang bahkan sampai berbagai jenis hiu dan pari.
Dengan menggunakan roda empat, ikan-ikan yang mereka turunkan itu dibawa ke gudang perusahaan yang berada di seberang dermaga.
“Ini sudah hari ketiga (bongkar muatan). Belum habis, mungkin besok selesai. Paling banyak tuna, ” kata seorang pekerja kapal.
Jenis tuna yang ditangkap pun beragam, seperti, albacora, bigeye, bluefin, yellowfin (madidihang) dan cakalang (skipjack).
Benoa, satu sentra penghasil tuna di Indonesia. Kesibukan bongkar muat hasil tangkapan ikan di Pelabuhan Benoa, ini hanya sebagian alur sebelum tuna-tuna itu sampai ke pasar dalam maupun luar negeri.
Tuna merupakan produk perikanan ‘favorit’ dunia. Permintaan tinggi, upaya pemenuhan pasokan pun mengikuti. Situasi itu memunculkan kekhawatiran ketersediaan tuna di masa depan dampak penangkapan berlebih atau aktivitas penangkapan secara ilegal (illegal, unreported, unregulated fising/IUUF).
Laporan International Seafood Sustainability Foundation (ISSF) mengonfirmasi kekhawatiran ini. Dalam laporan yang rilis April lalu, ISSF menyebut, sekitar 10% dari total tuna yang ditangkap secara global alami penangkapan berlebih dan dinyatakan ke dalam status rentan.
Terdapat 23 jenis tuna yang jamak ditangkap untuk tujuan komersil. Terdiri dari jenis albakora (6), bigeye (4), bluefin (4), skipjack (5) dan yellowfin ada empat jenis. Dari jumlah itu, beberapa alami penangkapan berlebih seperti tuna albakora Mediterania, bigeye Samudera Hindia, madidihang Samudera Hindia, dan tuna bluefin (sirip biru) Samudera Pasifik.
“Overfishing paling banyak Samudera Hindia yang terdiri dari mata besar (bigeye), sirip biru (bluefin) dan juga sirip kuning (yellowfin),” tulis ISSF dalam laporannya itu.
Lembaga yang berlokasi di Pittsburgh, Amerika Serikat ini mengkalkulasi, total tangkapan berlebih ini mencapai 13% dari total tangkapan global.
ISSF menyebutkan, volume tangkapan tuna komersial utama pada 2022 mencapai 5,2 juta ton secara global. Angka ini meningkat 2% dibanding 2021. Rinciannya, cakalang 57%, sirip kuning 30%, mata 7%, albacore 5% dan sirip biru 1%.
Dari alat tangkapnya, sebagian besar didominasi pukat cincin (66%), rawai (9%), pancing ulur (7%), jaring insang (4%) dan alat tangkap lain (14%). Sedangkan dari wilayah tangkap, untuk cakalang di Samudera Pasific Barat dan Sambudera Hindia, yellowfin di Samudera Pasifik Barat, dan sirip kuning di Samudera Hindia, lalu, tuna sirip kuning di Samudera Pasifik Timur.
Catatan ICCTF pada 2020, di Samudera Hindia, misal, tiga dari lima setok tuna utama dinyatakan dalam kondisi overfishing. Sedang tuna sirip biru selatan (Thunnus maccoyyi) masih proses pemulihan. Begitu juga tuna sirip kuning (Thunnus albaceres) dalam kondisi deplesi, serta tuna mata besar (Thunnus obesus) dan tuna albacore (Thunnus alalunga) mengarah pada penangkapan berlebih.
Di Indonesia, salah satu sentra penghasil tuna adalah Benoa, Bali. Statistik Kementerian Kelalutan dan Perikanan menyebut, pada 2021, produksi tuna di Bali mencapai 18.800 ton dan menempatkan di peringkat ketujuh secara nasional.
Daerah ini berada di bawah Sulawesi Selatan (19.000 ton), Jakarta (19.400 ton), Papua (27.600 ton), Maluku (51.200 ton), dan Maluku Utara (54.600 ton). Sedangkan Sulawesi Utara berada di peringkat pertama 56.200 ton.
Dari penelusuran Mongabay, setidaknya ada 25 perusahaan atau unit pengolahan ikan (UPI) sektor perikanan tuna di Benoa. Dari puluhan perusahaan ini, armada penangkap tuna yang beroperasi sekitar 275 kapal dengan wilayah tangkap di perairan lepas atau samudera. Jumlah ini terbatas pada armada dengan alat tangkap longline atau rawai tuna, tidak termasuk purseine.
Tantangan berkelanjutan
Abdi Suhufan, Direktur Destructive Fishing Watch (DFW) mengatakan, ada dua prinsip utama harus diperhatikan mewujudkan perikanan tuna berkelanjutan. Pertama, mencegah penangkapan berlebih. Kedua, memastikan tidak terganggunya ekosistem dan spesies lain.
Prinsip pertama, kata Abdi, dapat dilakukan dengan mengacu pada ketersediaan setok. Artinya, penangkapan secara terukur dengan memperhatikan kemampuan sumber daya yang ada.
Prinsip kedua, berkaitan dengan teknis penangkapan di lapangan. Misal, soal penggunaan alat tangkap dan cara kerjanya.
“Bagaimana kemudian alat tangkap yang digunakan itu tidak merusak ekosistem dan tidak banyak menghasilkan tangkapan sampingan,” kata Abdi.
Salah satu alat tangkap yang kini banyak mendapat sorotan adalah jaring pukat cincin (purse seine). Penggunaan alat tangkap ini dinilai kurang selektif terhadap hasil tangkapan.
Dalam konteks perikanan tuna, katanya, banyak tuna kecil (juvenile) atau ikan spesies lain ikut terjaring.
“Inilah mengapa alat tangkap ini banyak dipilih pemilik kapal. Di satu sisi lebih ekonomis, sisi lain menimbulkan ancaman keberlanjutan karena ikan-ikan kecil juga kena tangkap pancing (dibanding hand line),” katanya, Juli lalu.
Dia pun mendorong pemerintah lebih selektif dalam memberikan izin penggunaan alat tangkap ini.
Laporan International Sustaibility Seafoof Foundation (ISSF) menyebut, ada banyak alat tangkap yang dipergunakan dalam industri tuna. Semua, katanya, memiliki dampak tetapi paling mencolok adalah tertangkapnya spesies non tuna, beberapa berstatus rentan.
Riset ISSF berujung pada kesimpulan, sekitar 66% tuna yang dipasarkan secara komersil ditangkap dengan pukat cincin (purse seine), diikuti rawai tuna (longline) 9%, pancing ulur 7%, jaring insang 4%, serta berbagai alat tangkap lain 14% termasuk dalam kategori ini adalah troll.
Salah satu alat tangkap yang banyak menghasilkan tangkapan sampingan, seperti mamalia laut, adalah jaring insang.
Di Samudera Hindia, dalam dokumen ISSF, alat tangkap ini diperkirakan menghasilkan 16% total tuna komersiil.
Penggunaan alat ini cenderung kurang diawasi sekalipun dalam praktiknya banyak menghasilkan tangkapan non tuna, seperti burung laut, penyu, cetacea dan hiu.
“Jaring insang berskala besar dilarang di laut lepas sejak 1992 dan di seluruh bidang kompetensi IOTC sejak 2022, namun tetap dipergunakan,” tulis dokumen itu.
Selain Samudera Hindiia, situasi sama juga terjadi di perairan Samudera Pasifik. Penggunaan jaring insang dengan sasaran tuna sirip kuning (yellowfin) banyak berdampak pada keberadaan lumba-lumba. Bahkan, terhitung sejak 1959, angka kematian lumba-lumba secara kumulatif mencapai lebih 6 juta.
Kasus kematian terparah juga terjadi pada 1986 mencapai 132.000 lumba-lumba. Melalui sejumlah intervensi, kematian mamalia ini berhasil ditekan dengan ‘hanya’ mencatatkan 965 lumba-lumba pada 2022. Selain lumba-lumba, penyu juga termasuk spesies non target yang banyak terdampak penggunaan jaring insang.
Dampak sama juga terjadi pada penggunaan pukat cincin atau purse seine, meski sebagian besar dilepasliarkan dalam keadaan hidup setelah pelatihan penanganan awak kapal.
Hal lain yang juga patut diwaspadai dari penggunaan rumpon pada saat penggunaan alat tangkap purse seine ini. Sebab, penempatan rumpon berpotensi menyebabkan penyu atau ikan pelagis besar terjerat yang berujung kematian.
Wardai, nakhoda kapal purse seine di Benoa, Bali mengatakan, rumpon biasa dipasang dengan posisi sekitar 30 meter di bawah permukaan samudera. Agar tidak terombang ambing atau terbawa arus, rumpon dilengkapi pemberat dengan panjang sekitar 1.500-3.000 meter. “Itu biasa bisa bertahan sampai setahun lebih,” katanya.
Rumpon dipakai untuk memancing kerumunan ikan. Setelah terpasang, rumpon biasa ditinggal beberapa hari. Setelah dipastikan ada kerumunan ikan, kapal menabur jaring dengan pola melingkari rumpon.
Dia mengklaim, bahan rumpon yang dipakai ramah lingkungan karena terbuat dari material mudah terurai, seperti pelepah kelapa dan bambu. Namun, dia tak menampil bila tali pemberat ribuan meter itu berpotensi jadi ghost gear bagi spesies lain.
Budi Wiryawan, Ketua Pembina Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI) menyebut, sejauh ini belum ada laporan berkaitan dampak ekologis rumpon.
Beton pemberat yang turunkan hingga ke dasar samudera juga dinilai tidak berdampak signifikan terhadap ekosistem bawah laut. Sebab, berbeda dengan perairan dangkal, pada laut lepas biasa didominasi dasar berpasir.
Menurut Budi, sejauh ini polemik seputar penggunaan rumpon pada perikanan tuna terbatas pada tali pengait atau material rumpon yang tidak terurai. Selain bisa menjadi sampah laut, material rumpon terbengkalai berpotensi menjadi ‘alat tangkap’ tak bertuan yang mengakibatkan spesies tertentu terjerat hingga mati.
Budi sempat mendapat keluhan dari kalangan Asosisasi Kabel Laut yang terganggu dengan rumpon liar. Apalagi, biaya perbaikan jaringan kabel putus karena terkena rumpon bisa Rp2 miliar lebih. Hal itu pula yang kemudian mendasari Kementerian KKP menerbitkan regulasai tentang penggunaan dan penempatan rumpon ini, kendati dalam implemetasi belum maksimal.
“Dari wilayah perairan Bitung saja, sampai saat ini baru ada dua rumpon berizin.”
Ada juga penangkapan pancing rawai tuna (longline) yang dianggap lebih ramah terhadap spesies non target meskipun begitutetap menghasilkan tangkapan sampingan tak sedikit. Studi oleh Peatman pada 2023, memperkirakan, penyu yang tertangkap di Perairan Samudera Pasifik bagian barat meningkat dari 9.000 pada 2003 jadi 33.000 pada 2009.
Bagi hiu, alat tangkap tuna yang berdampak terhadap spsesies predator ini adalah jaring insang. Disusul long line, dan purse seine.
Murua dkk., pada 2018, dalam laporan di laman Bycatch Management Information System menyatakan, penggunaan jaring insang menyumbang 61% dari tangkapan hiu di Samudera Hindia, sedangkan rawai tuna berkontribusi sekitar 18%.
Perhitungan Garcia dan Herrera (2018) mengungkap, angka lebih fantastis terkait tangkapan sampingan kapal-kapal tuna pada hiu. Di Samudera Hindia, volume tangkapan sampingan hiu diperkirakan mencapai 210.000 metrik ton per tahun kurun 2014-2016. Sekitar 50% dari jaring insang dan 50% rawai tuna.
Riset lain Peatman dkk, bisa menjadi petunjuk betapa penggunaan purse seine dan rawai memberi dampak bagi masa depan hiu.
Dalam ulasannya, Peatman menyebut, lebih 1,8 juta hiu jadi tangkapan sampingan penggunaan rawai tuna di perairan Pasifik Barat dan Tengah hanya pada 2019. Dari purse seine, sekitar 100 ribu hiu.
Hiu biru mendominasi tangkapan sampingan atau 55%. Disusul hiu koboi 3%, hiu mako 6%, hiu sutra 12% dan ikan pelagis lain 13%.
Situasi sama juga terjadi di Perairan Pasifik sebelah timur. Tangkapan hiu dari penggunaan purse seine mencapai 530 ton pada 2020, meningkat jadi 782 ton pada 2021.
Tangkapan sampingan hiu dari penggunaan rawai tuna bahkan menunjukkan angka mencengangkan, mencapai 44.178 ton pada 2020 dan 9.820 ton pada 2021.
Hasil survei Loka Riset Perikanan Tuna Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kian mengonfirmasi bagaimana penggunaan rawai tuna berdampak terhadap spesies hiu. Survei yang disusun dengan observasi langsung penangkapan oleh KM. Mutiara 06 yang berbasis di Benoa, Bali.
Selama trip, KM. Mutiara 06 melakukan 30 kali setting rawai dengan hasil 1.076 ekor terdiri dari berbagai jenis, seperti tuna albakora (Thunnus alalunga), tuna mata besar (Thunnus obesus), madidihang (Thunnus albacares), yang semua merupakan ikan target tangkapan. Selain itu, ada juga beberapa tangkapan sampingan seperti tuna sirip biru selatan (Thunnus maccoyii).
Kemudian, setuhuk hitam (Istiompax indica), setuhuk biru (Makaira mazara), setuhuk loreng (Tetrapturus audax), layaran (Istiopharus platypterus), todak (Tetrapturus angustirostris), hiu aer (Prionace glauca), dan hiu lanjaman (Carchahirusobsearus). Juga, hiu tikus (Alopias superciliosus), hiu macan (Galeocerdo cuver), lemadang (Coryphaena hippurus), ikan gindara (Lepidocybium sp), penyu lekang (Lepidochelys olivacea), dan banyak lagi ikan non target lain.
Sebuah laporan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) di area penangkapan tuna di peraiaran kepulauan di Indonesia (IAW) mengungkap temuan menarik. Hand line dan trolling line menangkap sekitr 91% tuna sirip kuning dari parairan setempat.
Sedangkan pole and line dan purse seine menangkap 95% untuk tuna jenis cakalang.
YKAN menyebut, kendati pole and line dan purse seine memiliki tangkapan lebih rendah tuna sirip kuning, itu tidak berarti tidak berdampak terhadap setok perikanan. Karena rata-rata tangkapan tuna sirip kuning dari kedua alat ini justru masih berukuran kecil dengan panjang fork length (FL) antara 15-35 sentimeter untuk purse seine dan 20-50 sentimeter untuk pole and line. Ukuran itu, jauh lebih kecil dari usia kematangan dengan panjang 103 FL.
Menurut YKAN, ekstraksi tuna sirip kuning muda dengan pole and line mengakibatkan hilangnya biomassa stok pemijahan 47.000 MT per tahun. Sedangkan purse seine, mencapai 9.400 MT per tahun. “Kerugian ini sangat besar karena perkiraan setok biomassa pemijahan saat ini mencapai 295.000 MT,” tulis YKAN dalam laporannya itu.
Kalau tidak ada upaya pengendalian, stok tuna dan cakalang di wilayah IAW dimungkinkan akan habis hanya dalam beberapa tahun ke depan.
Budi membenarkan, penggunaan alat tangkap tak ramah jadi salah satu tantangan pengelolaan tuna.
Purse seine, misal, dalam praktik justru banyak menghasilkan tangkapan tuna remaja (juvenil).
“Sebetulnya itu tidak boleh, karena belum layak tangkap. Jika ini diteruskan, pasti berdampak pada ketersediaan setok masa depan karena tuna-tuna yang masih belum waktunya, ikut terjaring,” katanya kepada Mongabay.
Situasi itu makin rumit lantaran hampir dipastikan tangkapan sampingan tidak terdata karena tidak dilaporkan.
Budi mengatakan, sekitar 27% tangkapan sampingan tuna yang diperkirakan hilang karena tak tercatat di logbook. Dia menduga, ikan-ikan itu beredar di pasar domestik (konsumsi lokal) karena juga tidak masuk dalam data ekspor.
Dia pun mendorong, upaya lebih serius mengurangi alat tangkap yang berdampak pada setok juvenile yang akhirnya berdampak pada setok tuna masa depan.
Otoritas pengelola
Selama ini, manajemen pengelolaan tuna berada di bawah otoritas Regional Fisheries Manajemen Organization (RFMO), sebuah lembaga internasional yang mengatur dan menetapkan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan berkelanjutan spesies ikan yang bermigrasi jauh, terutama tuna. Karena alasan itu pula, wilayah kerja RFMO mencakup sebagian besar lautan di dunia.
Dalam menjalankan tugas, RFMO membagi wilayah ke dalam beberapa komisi. Yakni, International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas (ICCAT) dengan area di kawasan Samudera Atlantik, Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) yang membawahi Samudera Hindia. Lalu, Western and Central Pasific Fisheries Commission (WCPFC) dengan teritori di Samudera Pasifik Barat dan Tengah, Inter-American Tropical Tuna Commission (IATTC) yang membawahi Samudera Pasifik Timur hingga Chile, serta Commmission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) yang fokus pada konservasi tuna sirip biru selatan.
Secara berurutan, Indonesian bergabung di RFMO sejalan dengan terbitnya Undang-undang Nomor 31/2004 tentang Perikanan yang diubah dengan UU Nomor 45/2009.
Pada 2007, Indonesia menerbitkan Peraturan Presiden(Perpres) Nomor 9/2007 yang menjadikan sebagai anggota penuh IOTC.
Indonesia juga menjadi anggota penuh CCSBT dan WCPFC seiring terbit Perpres Nomor 109 tahun 2007 dan Perpres Nomor 61 tahun 2013. Keputusan Indonesia bergabung dengan beberapa organisasi pengelola tuna ini menjadi akses untuk kegiatan penangkapa tuna di wilayah dimaksud.
“Tuna ini dianggap sebagai komoditas milik dunia karena termasuk high migratory fish. Hingga, segala upaya pemanfaatannya, mengikuti ketentuan yang diatur RFMO. Termasuk, untuk melakukan penangkapan,” kata Glaudy Perdanahardja, Manajer Senior Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), dihubungi Mongabay, Juli lalu.
Dia tak menampik, tingginya permintaan tuna menjadikan setok ikan yang memiliki kandungan protein tinggi ini berkurang. Untuk itu, katanya, perlu strategi mumpuni agar pemanfaatan tidak mengancam kelestarian di masa depan. Dia usul mengatur strategi pemanenan, hingga penggunaan alat tangkap lebih selektif.
Baru-baru ini, Indonesia meluncurkan harvest strategy yang secara khusus didesain untuk mengatur pengelolaan tropical tuna di archipelagic water di tiga lokasi wilayah pengelolaan perikanan (WPP) prioritas, yakni, WPP 713, 714 dan 715 yang membentang dari Selat Makassar, Laut Banda hingga di Kepala Burung, Papua.
“Di satu sisi ini sebagai sinyal positif dan upaya Pemerindah Indonesia kelola tuna secara keberlanjutan, meski pun ada pro dan kontra,” katanya.
Namun jauh lebih penting, kata Glaudy, tindak lanjut dari program ini. Pemerintah, katanya, perlu menyusun kerangka lebih detil dari harvest strategy yang dinilai masih bersifat umum.
“Selain itu, monitoring untuk mengukur keberhasilan dari program ini. Jadi, setelah diluncurkan, lalu apa? Itu jauh lebih penting karena sejauh mana program itu berhasil, kita juga belum tahu.”
Budi pun mengatakan, sangat penting mengimbangi pemanfaatan tuna dengan upaya konservasi guna memastikan keberlanjutan di masa depan. Terlebih, dari tahun ke tahun, berbagai data menunjukkan tren peningkatan tangkapan.
Budi bilang, satu langkah penting mewujudkan perikanan tuna berkelanjutan adalah tersedianya data memadai. Data ini, katanya, mencakup segala hal yang berkaitan dengan tuna. Misal, jumlah armada penangkap, alat tangkap, hasil tangkapan berikut jenisnya.
Data ini, kata Budi, yang nanti menjadi baseline menentukan program atau kebijakan ke depan. “Masalah data ini tidak pernah selesai. Memang cukup sulit mendapatkan data yang benar-benar valid.”
*******
Nelayan Tuna Gorontalo di Tengah Krisis Iklim dan Himpitan Regulasi