- Produksi padi di Riau terus menurun karena berbagai faktor penyebab antara lain alih fungsi lahan padi terutama jadi kebun sawit sampai perubahan iklim.
- Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Penelitian dan Pengembangan (Bappedalitbang) Riau, mencatat, penurunan produksi beras terjadi sejak 2016 padahal kebutuhan makin bertambah. Ketimpangan antara produksi dan konsumsi itu lebih dua kali lipat. Rata-rata, penurunan produksi beras per tahun berkisar 10,61%.
- Boy Jerry Even Sembiring, Direktur Walhi Riau, turut menyinggung nasib pertanian masyarakat bila terjadi alih fungsi ke perkebunan sawit. Contoh di Pulau Mendol. Meski bekas izin perusahaan hanya sedikit beririsan dengan lahan pangan masyarakat, kehadiran perusahaan tetap akan berdampak negatif terhadap tanaman lokal apabila tanah gambut dikeringkan. Pulau Mendol, tidak hanya lumbung pangan utama di Pelalawan, juga di Riau.
- Wisnu Handana, Kepala Bidang Tanaman Pangan, Dinas Pangan, Tanaman Pangan dan Hortikultura (DPTPH) Riau, bilang, Riau, dulu merupakan sentra padi gogo, jenis lokal. Hanya saja, padi yang tahan pada lahan kering ini mulai menghilang seiring pembukaan lahan besar-besaran untuk tanaman sawit. Untuk itu, mereka berupaya menyelamatkan dan mengangkat kembali kejayaan padi gogo dengan mengembangkan dan mendaftarkan di kementerian. Jenis padi ini lebih tahan perubahan iklim.
Produksi padi di Riau terus menurun karena berbagai faktor penyebab antara lain alih fungsi lahan padi terutama jadi kebun sawit sampai perubahan iklim.
Sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) Riau, tahun lalu, luas lahan 51.910 hektar dengan produksi 205.970 ton gabah kering giling (GKG). Setara 118.210 ton setelah dikonversi jadi beras.
Di Pelalawan, misal, terus menghadapi penurunan luas tanam dari tahun ke tahun di sentra padi mereka Pulau Mendol, Kecamatan Kuala Kampar, Pelalawan. Masalah ini, berimbas pada pemenuhan kebutuhan beras di pulau dengan penduduk 17.837 jiwa berdasarkan sensus 2020 itu.
“Untuk mengatasi ketimpangan ada bantuan pemerintah pusat berupa cadangan pangan,” kata Zulkifli, Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Hortikultura Pelalawan, ketika dihubungi Mongabay, beberapa waktu lalu.
Produksi beras Palalawan tahun lalu hanya 22.389,60 ton sedang kebutuhan lokal setidaknya harus mencukupi 38.518,13 ton per tahun.
Penurunan produksi juga tergambar di level provinsi. Luas panen Riau pada 2023 meningkat dibanding 2022, sebesar 1,68% atau 51.050 hektar tetapi produksi justru turun 3,55%, tahun sebelumnya 213.560 ton GKG. Begitu juga produksi beras hanya 122.560 ton.
Mengutip statistik BPS Riau, awal Maret 2024, penurunan produksi padi 2023 karena penurunan produktivitas padi dan luas panen rentang Januari-April dan September-Desember, dibanding periode sama tahun sebelumnya.
Penurunan produksi padi, tahun lalu, terjadi di wilayah sentra padi di Riau, seperti, Indragiri Hilir, Rokan Hilir dan Siak. Meski begitu, tiga kabupaten ini masih tergolong tinggi dalam produksi padi dibanding delapan daerah lain, kecuali Pekanbaru, sama sekali tak ada lahan persawahan.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Penelitian dan Pengembangan (Bappedalitbang) Riau, mencatat, penurunan produksi beras terjadi sejak 2016 padahal kebutuhan makin bertambah. Ketimpangan antara produksi dan konsumsi itu lebih dua kali lipat. Rata-rata, penurunan produksi beras per tahun berkisar 10,61%.
Wisnu Handana, Kepala Bidang Tanaman Pangan, Dinas Pangan, Tanaman Pangan dan Hortikultura (DPTPH) Riau, tidak menampik data itu. Berdasarkan neraca pangan, Riau baru bisa memenuhi produksi beras sekitar 20-25% dalam beberapa tahun terakhir. Sekitar 80% berharap pasokan dari Sumatera Barat dan Sumatera Utara.
Penyebab
Penurunan produksi padi di Riau terus menerus terjadi beberapa tahun belakangan dengan beberapa penyebab. Pertama, keterbatasan lahan karena alih fungsi jadi perkebunan dominan sawit.
Wisnu bilang, pertanian padi terkadang tak menguntungkan. Belum lagi ketika ada gejolak harga dan inflasi. Begitu dikendalikan dan harga turun, petani justru menjerit karena menjadi sasaran utama sedangkan biaya produksi tetap tinggi.
“Itu salah satu tantangan pengembangan, peningkatan produksi dan perluasan tanaman padi di Riau,” katanya, Juli lalu.
Masalah lain dan klasik , katanya, soal irigasi atau pengairan. Data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN), lahan sawah di Riau terus menyusut. Pada 2019, masih 62.689 hektar tinggal 58.000 hektar pada 2022.
Kalau diamati lagi dari luasan itu hampir 10% tak bisa ditanami. Bahkan, dugaan dari data seri hanya 53.000 hektar bisa ditanami padi. Padahal, katanya, dulu ratusan ribu hektar.
Dari luasan lahan sawah, hanya 10% gunakan irigasi teknis, sawah lain tadah hujan dan rawa. Irigasi pun terkadang tak berfungsi terutama saat kemarau karena debit air kurang. Alhasil, baru mampu menopang pertanaman satu kali setahun. Pemerintah juga tengah menggenjot sistem irigasi perpompaan.
Wisnu bilang, bila penurunan produksi terus terjadi dan tidak ada antisipasi, tak menutup kemungkinan terjadi krisis pangan. Secara nasional maupun daerah, tren penurunan sudah terlihat dari selisih jutaan hektar sejak tahun sebelumnya.
Bila ditelisik lagi, tren penurunan produksi padi juga karena biaya petani terus melambung tinggi. Ada banyak faktor penyebab, salah satu perlu pembenahan infrastruktur jalan di sentra padi, seperti Pulau Mendol, Pelalawan.
Luas lahan sawah di sana lebih 5.000 hektar dengan perlu berjam-jam angkut hasil pertanian. Belum lagi, harus memasarkan ke luar pulau, seperti ke Pekanbaru. Mesti menempuh jalur laut sebelum beralih moda transportasi darat.
Kalau persoalan infrastruktur bisa selesai, katanya, tidak hanya jalan termasuk irigasi dan tanggul, pemerintah sebenarnya tidak perlu lagi turun tangan memikirkan hal kecil seperti menyalurkan bantuan benih.
Masalah lain, soal regenerasi petani. Hasil sensus pertanian terakhir, petani di Indonesia, termasuk Riau, makin tua. Sedang minat anak muda terjun ke pertanian makin berkurang. Padahal, katanya, guna mendukung smart farming dengan teknologi butuh tenaga masih segar. Misal dalam mengoperasikan pesawat tanpa awak buat menebar pupuk.
Dinas Pangan Riau, tengah mendorong pertanian modern di Kecamatan Bunga Raya. Ini kawasan sentra padi di Kabupaten Siak yang sudah tergolong memadai dalam ketersediaan infrastruktur, seperti irigasi sudah menopang pertanaman tiga kali setahun. Olah tanah tak lebih tiga minggu, persemaian dengan mesin. “Tentu menarik minat anak muda karena dekat dan bersentuhan dengan teknologi.”
Ada juga masalah budaya bertani di kalangan masyarakat lokal. Mereka tidak tinggal atau menetap di lahan. Hanya datang ketika musim tanam atau mengupah orang lain untuk garap sawah dengan kesepakatan bagi hasil. Model ini biasa ditemukan pada petani pemodal yang juga memiliki kebun sawit.
Budaya lain, terkait libur tanam ketika memasuki bulan puasa dan lebaran. Kebanyakan masyarakat petani tradisional istirahat menanam padi pada waktu itu, seperti Maret-April lalu. Padahal pada rentang itu curah hujan cukup mendukung pertanian. Alhasil, hilang musim tanam pada periode itu.
Perubahan iklim, katanya, juga berdampak, misal, memicu hama penyakit pada tanaman padi. Meski di Riau, katanya, masalah ini belum jadi kendala utama karena masih bergantung dengan varietas lokal.
Boy Jerry Even Sembiring, Direktur Walhi Riau, turut menyinggung nasib pertanian masyarakat bila terjadi alih fungsi ke perkebunan sawit.
Dia contohkan di Pulau Mendol. Meski bekas izin perusahaan hanya sedikit beririsan dengan lahan pangan masyarakat, kehadiran perusahaan tetap akan berdampak negatif terhadap tanaman lokal apabila tanah gambut dikeringkan.
Pulau Mendol, katanya, tidak hanya lumbung pangan utama di Pelalawan, juga di Riau.
Boy menyarankan beberapa hal pada pemerintah, seperti, memastikan tata air pada lahan pertanian selalu dalam kondisi baik dan membantu akses pasar lebih mudah. Kemudian, memperbaiki infrastruktur jalan yang sangat sulit dilalui hingga mengurangi pemakaian pupuk kimia.
Tanggungjawab itu, katanya, bukan cuma tugas Pemerintah Pelalawan, juga pemerintah pusat.
Berbagai upaya
Di Riau, upaya perluasan areal tanam mulai digenjot, sejak awal tahun ini. Menindaklanjuti kesepakatan Kementerian Pertanian dan Panglima TNI dalam guna produksi, pemerintah provinsi dan kabupaten gandeng aparat TNI di wilayah masing-masing untuk menanam padi bersama.
Sejauh ini, antara Januari-Juni sudah ada peningkatan 5.000 hektar luas tanam. Dibanding periode sama tahun lalu. Pemerintah gerak cepat karena darurat pangan benar terjadi mengingat jumlah penduduk kian bertambah.
Peningkatan produksi padi juga dilakukan dengan menambah indeks pertanaman. Dari satu kali setahun jadi dua bahkan tiga kali.
Pemerintah Pelalawan, sudah memulai sejak medio Mei lalu. Uji coba di Desa Sungai Solok 530 hektar, Sungai Upih 330 hektar dan Teluk Bakau 20 hektar.
Upaya itu didukung lewat pompanisasi untuk ketersediaan air serta tumpang sisip padi gogo.
Wisnu bilang, Riau, dulu merupakan sentra padi gogo, jenis lokal. Hanya saja, padi yang tahan pada lahan kering ini mulai menghilang seiring pembukaan lahan besar-besaran untuk tanaman sawit. Untuk itu, mereka berupaya menyelamatkan dan mengangkat kembali kejayaan padi gogo dengan mengembangkan dan mendaftarkan di kementerian.
September tahun lalu, Kementerian Pertanian melepas enam varietas padi gogo Riau. Sekarang, sudah tahap penurunan atau pengembangan sejumlah benih itu. Cara ini berjalan mulus karena petani Riau, umumnya lebih suka benih lokal ketimbang menggunakan benih unggul program nasional.
“Selain melindungi varietas lokal biar tidak punah, tentu dilindungi atau dilepas. Harapan tanam dua kali dengan padi gogo, lahan jadi produktif dan tidak alih fungsi. Kalau (lahan) lama nganggur, petani berpikiran macam-macam. Termasuk pindah ke sawit,” kata Wisnu.
Tiap daerah di Riau, punya sumber daya genetik varietas lokal. Kabupaten Pelalawan, misal, sudah melepas lima varietas padi pasang surut antara lain, ceko, karya, mendol, bono dan impara.
Kampar sudah melepas enam varietas padi gogo, yakni, kalpatali, sikuning, siperak, napal merah, napal putih dan kuok. Indragiri Hililir, satu varietas, karang duku.
Benih lokal itu mampu produksi padi tujuh ton per hektar, di atas rata-rata nasional tergantung perlakuan dan budidaya seperti persemaian. Bahkan masa tanam dan panen lebih cepat antara 100 sampai 110 hari. Dulu, katanya, bisa sampai empat bulan, kadang lima bulan. Usia tanam pendek, katanya, bisa menambah Indeks Pertanaman lebih sekali dalam setahun.
Mempertahankan varietas padi tahan kekeringan ini, kata Wisnu, sekaligus bentuk mitigasi atas perubahan iklim. Pada 2045-2050, katanya, diperkirakan musim kemarau makin panjang sementara musim hujan makin pendek.
Untuk antisipasi ini, DPTPH Riau juga sudah mencoret bantuan pupuk kimia. Tiga tahun belakangan, mereka sudah mulai menyalurkan pupuk organik.
Selain tahan kekeringan, Riau juga memiliki varietas padi rendah karbon tetapi masih perlu pengujian. Sejumlah ahli sudah mengidentifikasinya. Ada juga varietas gizi tinggi. Varietas dengan kekhususan ini juga akan dilepas untuk dapat pengakuan dan dipertahankan dan dikembangkan.
Buat keberlanjutan, DPTPH Riau mendirikan klinik pertanian melalui UPT Perlindungan Tanaman agar masyarakat juga bisa mengembangkan sendiri pupuk hayati itu. Klinik ini terus diperluas ke sentra pertanian daerah hingga dapat melayani masyarakat langsung.
“Alam sekitar berpotensi memulihkan kembali lahan pertanian. Banyak bisa dijadikan pupuk organik dan agen hayati dengan daya dukung sekitar,” kata Wisnu.
Wisnu mengatakan, DPTPH Riau sedang mendorong pembentukan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pangan. Dia akan memperbaiki sektor hilir dari rantai produksi padi dengan menyerap beras petani. Targetnya, disalurkan kepada 15.000 aparatur sipil negara (ASN) level provinsi.
BUMD Pangan diharapkan jadi distributor baru dan menjaga perputaran ekonomi dalam daerah dari sektor pertanian. Termasuk produk turunan seperti sekam dan dedak buat kebutuhan peternakan. Peternak pun tidak perlu datangkan bahan baku dari luar daerah lagi hingga ada integrity farming dengan intervensi pemerintah lewat BUMD Pangan.
Perbaikan di hilir juga dilakukan dengan revitalisasi Rice Milling Unit (RMU). Mesin pertanian untuk giling gabah jadi beras di Riau masih tergolong kapasitas kecil. Kualitas dan mutu beras juga jadi berkurang karena digiling dengan mesin jelek jadi perlu ganti mesin lebih modern.
DPTPH Riau tengah mendorong transformasi kelembagaan petani dengan ada koperasi pangan tingkat petani hingga dapat mengatasi masalah permodalan.
Satu contoh di Kecamatan Kempas, Indragiri Hilir. Petani padi lewat kelompok kompak tidak menjual gabah keluar sebelum diolah jadi beras. Keputusan ini tidak lepas dari peran penyuluh pertanian yang mendorong penguatan kelembagaan petani sekaligus membangun pola pikir bisnis pada petani padi.
“Masalahnya sangat kompleks sekali. Harus dibenahi dari segala lini. Semua pihak perlu terlibat,” kata Wisnu.
******
Menderitanya Petani Rawa Lebak di Sumatera Selatan Akibat Perubahan Iklim