- Warga di sejumlah area konflik lahan di Indonesia berbagi kisah di Jagongan Warga, di Gunung Batur Bukit Payang, Kintamani, Bali.
- Mereka membangun solidaritas antara kelompok warga yang sedang menghadapi konflik penguasaan lahan pertanian dan hutan karena pemerintah memberikan hak penguasaan pada pengusaha yang menggusur warga.
- Selain mengalami kekerasan fisik dan psikis, modus intimidasi adalah kriminalisasi tokoh-tokoh gerakan penolakan warga.
- Warga dalam pusaran konflik ini berharap ada distribusi lahan yang adil dan partisipasi dalam pengelolaan lahan.
Sejumlah warga yang masih berkonflik dengan pemerintah maupun investor berbagi ceritanya di lokasi konflik lahan di Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Batur Bukit Payang, Kintamani, Bali, beberapa waktu lalu. Muara kisah dan harapan mereka sama, mengharapkan distribusi lahan pertanian yang adil.
Warga yang berkonflik di Lombok, Banyuwangi, dan Papua berbaur dengan warga Batur yang belum banyak mengetahui konflik-konflik lahan di Indonesia. Karena itu, sebelum Jagongan Warga ini, beberapa warga Batur diajak berkunjung ke Banyuwangi, Jawa Timur, di lokasi konflik Pakel.
I Wayan Arimawan, warga yang menolak digusur karena TWA Gunung Batur dikonsesikan ke investor wisata memulai berbagai cerita. Ia bermukim pada 1982. Area hutan saat itu kerap gundul, karena tiap musim kemarau kebakaran. “Awalnya 13 KK, sekarang sudah banyak sampai anak cucu kumpul. Saya tidak sekolah, mau bantu kehutanan untuk mencegah kebakaran,” sebutnya.
Ketika itu ia diizinkan pemerintah membuat rumah atap blau dan bermukim. “Saya terkejut sekali, memikirkan warga miskin jadi pengungsi di hutan. Pernah membantu pemerintah, sekarang saya diserobot, mata pencaharian hilang. Kami minta sebisanya tinggal di sini agar tak diserobot orang terkaya,” jelasnya mencurahkan isi hati.
Warga lainnya Kadek Sugiantara mengatakan kini pembangunan oleh investor sudah dimulai. Menurutnya ada masyarakat yang pro investor, ada yang abu-abu.
Baca : Konflik TWA Batur Payang: Dampak pada Perempuan dan Peran Komnas Perempuan
Rezky Pratiwi, Direktur LBH Bali mengingatkan konflik ini dampak dari industri pariwisata begitu masif dan keterlibatan masyarakat yang terdampak pembangunan jarang dilibatkan dalam proses perencanaan. “Terlebih perizinan terpusat omnibus law. Warga tidak mengetahui saat izin dikantongi, ketika investor datang warga harus direlokasi dan mengikuti rencana mereka,” keluhnya. Saat ini, LBH Bali mendampingi warga korban.
Tiwi memaparkan, menurut warga, status lahan yang ditinggali di hutan konservasi TWA Gunung Batur, ditetapkan pada 2014. Namun ada kewajiban pemerintah menyelesaikan hak warga. Sehingga warga harus didata. Sayangnya proses itu tidak selesai. Menurutnya, dalam dokumen kehutanan versi negara, masyarakat dinyatakan tidak ada dalam hutan, hanya negara. Karena itu negara berhak memberi hak perusahaan untuk membuka lahan.
“Setelah perusahaan kantongi izin baru datang ke warga, mau bangun taman wisata akomodasi, panggung pertunjukan, hotspring, dll. Mereka beri solusi sepihak, dipindah dari pinggir danau ke wilayah lain. Bagaimana dengan rumah, tidak dipikirkan. Ketika ada laporan polisi, ada yang ditetapkan tersangka pengancaman, warga protes,” cerita Tiwi. Penetapan tersangka ini kini sudah dianulir, statusnya dicabut setelah ada pendampingan hukum dan advokasi sejumlah pihak.
Namun, ada laporan lain yang menyebutkan digunakannya UU No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAE) untuk pengusiran warga., ada belasan warga menerima surat klarifikasi. “Jika dipaksakan ratusan orang itu rentan dipenjara, warga minta Polda Bali agar tak main-main. Ada banyak warga yang sudah tinggal turun temurun,” jelas Tiwi.
Sejumlah perwakilan warga sudah ke Jakarta minta dukungan ke Komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman, dan ke Pakel untuk berbagi pengalaman. Menurutnya solidaritas masyarakat sipil dibutuhkan dalam berbagai konflik lahan di Indonesia yang kerap mementingkan pengusaha konsesi lahan.
Baca juga : Pariwisata Picu Persoalan Agraria dan Lingkungan di Bali
Konflik Lahan di Pakel
Warga Pakel yang berbagi cerita secara bergantian adalah Jay, Supri, dan Usman. Mereka bercerita bahwa pada tahun 1972, warga disuruh menanam kopi, cokelat, cengkeh. Ketika tanaman sudah besar, ada pihak yang berusaha menduduki hutan. Warga melawan dengan bertani, tapi dituduh merusak hutan. Sudah banyak peristiwa kekerasan, ada yang ditangkap, tidak tahu salahnya, diangkut, dilempar ke truk.
Pada 2018 warga kembali menghidupkan lahan. Perjuangan warga adalah agar tanah kembali. Salah satu strateginya membuat organisasi Rukun Tani Pakel untuk melakukan pendudukan dengan cara membuat pondok, menanam pisang, bertani. Mereka terus bertahan, walau sering mengalami serangan fisik dan perusakan tanaman. Ada yang ditangkap dituduh pemukulan staf keamanan, padahal sebelum kejadian perusahaan masuk dan merusak tanaman warga menggunakan preman bersenjata.
Puncaknya warga memilih melawan. Situasi chaos. Warga dilaporkan perusahaan, dan ada yang ditangkap. Di sisi lain, laporan warga tidak ada tindak lanjutnya. Kriminalisasi menjadi pola lama yang direplikasi. Kampanye yang cukup meluas dan mendapat dukungan publik adalah ketika trio Pakel ditangkap, 2 kepala desa dan kepala dusun dituduh makar penyebaran berita bohong.
Warga Pakel menghadapi berbagai bentuk kekerasan fisik dan psikis, tak hanya oleh perusahaan juga preman-preman bersenjata tajam. Ironisnya, ini adalah upaya warga memperjuangkan ruang hidup, agar anak cucu bisa menanam.
Baca juga : Petani Pakel Alami Intimidasi, Pakar Hukum: Negara Harus Segera Selesaikan Konflik Agraria
Konflik di Kaki Gunung Rinjani
Budi dari Lombok juga mengisahkan upaya warga menjaga lahan pertaniannya dari investor.
Ia menceritakan Desa Sembalun, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) di bawah kaki Gunung Rinjani, mulai konflik 1987 karena revolusi hijau penanaman bawang putih. Izin perusahaan penanaman tersebut pada 1988, dengan penguasaan 555 Ha lahan. Warga mengelola 150 Ha. Sampai kemudian lahan konsesi ini tak dikelola lagi karena gagal menanam dan dampak krisis moneter 1998, HGU berakhir pada 2013.
Namun izin penguasaan terbit lagi dan lahan yang dikelola warga diambil alih perusahaan untuk agrowisata berbasis pertanian. Pemda dsebut memberi win-win solution, memberi hak kelola warga 70 Ha, namun ini dinilai memecah belah warga sebanyak 170 KK atau sekitar 2.000-an jiwa, dan sebagian warga tidak menerima.
“Pada 2021 terjadi kriminalisasi pimpinan kami dengan tuduhan pencemaran nama baik bupati saat orasi, sampai kini kasusnya tidak dicabut. Tidak ada solusi konkrit, jika menerima tawaran negara maka menggantung. Yang kita kenal cangkul dan arit,” tuturnya.
Kasus lain di Lombok menurut Budi adalah megaproyek kawasan strategis nasional, bagian dari pembangunan 10 Bali baru di sirkuit Mandalika. Dari luas lahan 1300an Ha, yang masih bermasalah 3,6 Ha belum mendapat solusi, warga bertahan di rumahnya dan lokasi bertani.
“Harapan sederhana, relokasi yang layak, luas yang diganti sama. Cuma diganti 15 juta, padahal harga tanah per are 40 jutaan,” sebutnya. Warga juga menurutnya perlu pemberdayaan, sulit bekerja di hotel, pendidikan rata-rata SMP. Akhirnya bekerja sebagai juru parkir dan tukang sapu.
Ia mengatakan warga 144 KK (di lahan 3,6 Ha) sekitar 70% pernah mendapat intimidasi dari pengerahan aparat berlebihan. Kalau ada event besar, didatangkan preman, akses dibatasi misal tidak boleh lewat ke pasar. Binatang ternak ditertibkan, tak boleh merumput. “Pembangunan ini untuk siapa? Bukan untuk rakyat. Alasan bertahan adalah tanah, tak ada tanah tak ada kehidupan,” ucapnya.
Baca juga : Belajar dari Bencana: Pariwisata Lumpuh, Sembalun Bertahan dengan Bertani
Demikian juga di Papua yang diceritakan secara singkat mengalami hal yang sama, penguasaan lahan oleh perusahaan, termasuk di kawasan hutan. Investor disebut hanya janji manis saja, bukan kesejahteraan.
Dalam Jagongan Warga ini, juga hadir solidaritas mahasiswa dan komuitas. Usai jagongan, mereka memasang spanduk penolakan lagi karena spanduk sebelumnya dilepas pihak yang berseberangan sikap.
Kawasan Kintamani kini makin ramai dengan berbagai atraksi wisata seiring dengan bertumbuhnya cafe-cafe kopi mahal dan glamping yang memanfaatkan lanskap gunung dan danau Batur. Turis kini punya tujuan baru, berfoto sambil ngopi dengan latar belakang gunung dan danau. Kawasan pertanian berkurang karena sempadan danau dan kaki gunung makin diburu pengusaha wisata. (***)
Konflik Agraria Tinggi, 5 Rekomendasi KPA pada Presiden Baru