Jauh sebelum negara Indonesia dilahirkan, Nusantara adalah wilayah yang pernah dikuasai beragam kerajaan dan kesultanan, yang terhubung dengan berbagai kekuatan asing, seperti di Tiongkok, India, Timur Tengah, dan Eropa.
Setiap penguasa melahirkan kelompok-kelompok yang dikalahkan. Baik terkait dengan politik, ekonomi, kepercayaan, maupun moral. Mereka yang dikalahkan dan tidak mau tunduk, memilih menetap jauh dari wilayah kekuasaan, misalnya di sekitar hutan atau pulau-pulau kecil, yang selanjutnya menjadi komunitas yang terisolasi.
Hidup di sekitar hutan atau pulau-pulau kecil, membuat mereka membangun hubungan khusus atau etika dengan alam, yang dijaga dalam sebuah aturan atau hukum.
Beberapa komunitas tersebut, hingga saat ini masih bertahan di berbagai wilayah Indonesia, yang disebut sebagai masyarakat atau komunitas adat.
Saya pernah berinteraksi dengan beberapa komunitas tersebut, misalnya Suku Anak Dalam di Jambi dan Sumatera Selatan, Wong Lebak [Rawang] di Sumatera Selatan, serta Suku Mapur dan Suku Jerieng di Pulau Bangka, Kepulauan Bangka Belitung.
Dari kisah yang dituturkan, komunitas mereka terbentuk dimulai adanya benturan dengan pihak-pihak yang tengah berkuasa di masa lalu, yang umumnya para pendatang. Benturan ini disebabkan penguasaan sumber daya alam.
Sebagai komunitas yang terisolasi, selama ratusan tahun mereka berkembang sebagai hidden population. Hak hidupnya diabaikan para penguasa. Disembunyikan atau diasingkan. Bahkan, mereka diberi berbagai stigma negatif seperti manusia terbelakang, tidak beragama, atau tidak berbudaya, dan seolah mereka pantas untuk “lenyap” dari muka Bumi ini, jika tidak meninggalkan prinsip atau keyakinan yang mereka pegang.
Namun, di sisi lain, keterasingan itu juga memberi dampak positif bagi kelestarian alam. Hubungan harmonis berbagai komunitas tersebut dengan alam membuat sebagian kawasan hutan dan laut terjaga. Misalnya, banyak kawasan hutan terlindungi dari ekspansi berbagai komoditas seperti lada, kopi, teh, tebu, tembakau, kapas, cengkih, karet, hingga aktivitas penambangan emas, batubara, migas, dan timah.
Setelah berdiri negara Republik Indonesia, seharusnya keberadaan berbagai komunitas tersebut diakui dan hidupnya tidak lagi terasing. Hak mereka sebagai manusia atau warga negara difasilitasi, khususnya ruang hidupnya. Seperti, tecermin dalam Pancasila dan UUD 1945.
Tapi, sejak terbentuknya pemerintahan desa dan dilanjutkannya berbagai kebijakan pembangunan ekonomi yang berbasis eksploitasi kekayaan alam, yang terus berlangsung hingga saat ini, membuat mereka tetap terasingkan. Terancam hilang.
Jika ingin bertahan di ruang hidupnya, mereka dipaksa untuk berubah mengikuti budaya yang diklaim lebih moderen, maju, atau beradab. Jika ada perkebunan sawit di ruang hidupnya, mereka digiring menjadi plasma di perusahaan sawit, yang kemudian dipaksa meninggalkan hutan lalu menetap di pemukiman baru dengan fasilitas lebih moderen.
Beberapa tahun lalu, seorang pengajar di sebuah perguruan tinggi di Kepulauan Bangka Belitung, kepada saya, menyatakan seharusnya Suku Mapur beradaptasi dengan perkebunan sawit dan penambangan timah yang beraktivitas di wilayah hidupnya. Bukan menolaknya, dan mempertahankan hidup dari meramu hasil hutan.
Menurut saya, “pengasingan” berbagai komunitas tersebut, bukan hanya dari sikap penyelenggara pemerintahan, pelaku usaha, juga dari masyarakat yang berada di luar ruang hidup mereka.
Misalnya, masih ditemukan pernyataan atau sikap negatif dari masyarakat di Pulau Bangka terhadap komunitas Suku Mapur dan Suku Jerieng, atau sikap negatif masyarakat di Jambi dan Sumatera Selatan terhadap Suku Anak Dalam. Termasuk pula, perlakuan yang tidak adil terhadap Wong Lebak oleh masyarakat sekitarnya di lahan basah Sungai Musi.
Ironinya, saat ini jumlah manusia terkalahkan dari penguasaan atau akses terhadap kekayaan alam bukan berkurang, justru kian bertambah. Mereka yang di masa lalu diuntungkan atau hidup sejahtera, seperti di masa kerajaan atau kesultanan, berubah menjadi manusia yang hidup menderita, seperti kehilangan lahan pertanian dan perkebunan, termasuk juga laut.
Mereka dikalahkan berbagai perusahaan atau pelaku usaha.
Tragisnya, berbeda dengan nasib mereka yang dikalahkan di masa lalu, mereka yang dikalahkan saat ini tidak memiliki wilayah pelarian untuk hidup. Hutan dan laut, nyaris sudah ada pemiliknya. Baik perorangan maupun perusahaan. Jika berlari dan menetap di kawasan konservasi, mereka dihadapkan dengan negara.
***
Perubahan iklim global yang berlangsung sekarang, juga berdampak buruk pada berbagai komunitas yang dikalahkan atau diasingkan tersebut. Mereka mulai kehilangan sumber penghidupan, akibat cuaca ekstrem tidak menentu.
Yang menetap di perkotaan menghadapi ancaman krisis pangan, krisis air bersih, serangan berbagai penyakit, hingga kehilangan pekerjaan. Kondisi yang sama dirasakan mereka yang menetap di desa atau pedalaman.
Misalnya, masyarakat Wong Lebak di Sumatera Selatan yang mulai kehilangan ikan sebagai sumber pangan dan ekonomi, serta gagal tanam atau gagal panen padi, akibat kekeringan dan banjir panjang.
Suku Mapur dan Suku Jerieng di Pulau Bangka mulai mengalami krisis air bersih. Banyak mata air dan ranting sungai di ruang hidupnya mengalami kekeringan. Termasuk pula, kian sulitnya mendapatkan beragam tanaman yang selama ini menjadi sumber pangan dan obat-obatan.
Sementara Suku Anak Dalam di Jambi dan Sumatera Selatan, hampir setiap tahun terdampak kekeringan dan banjir dalam satu dasawarsa terakhir. Berbagai satwa yang selama ini sebagai sumber pangan, juga mulai sulit didapatkan.
Dapat dikatakan, mereka adalah komunitas pertama yang paling merasakan dampak negatif dari perubahan iklim. Mereka dua kali terdampak dari aktivitas eksploitasi kekayaan alam. Pertama, terdampak dari rusaknya bentang alam. Kedua, terdampak perubahan iklim akibat rusaknya bentang alam.
***
Hari ini, sudah 79 tahun kita merayakan kemerdekaan sebagai bangsa Indonesia. Usia yang tidak lagi muda. Ibarat manusia, kita sudah memiliki cucu atau cicit.
Dan, harapannya berbagai persoalan yang pernah dirasakan bangsa Indonesia di masa lalu [sebelum kemerdekaan], hendaknya tidak lagi terjadi atau berulang. Penyakit yang pernah membuat leluhur kita menderita, seharusnya sudah terobati atau bebas dari penyakit tersebut.
Begitupun apa yang dialami berbagai komunitas yang terkalahkan, sudah sepantasnya saat ini dihargai dan diakui. Hak mereka sebagai warga negara wajib dipenuhi. Sehingga, mereka akan menangis bangga ketika melihat bendera merah putih berkibar.
Apa yang harus dilakukan?
Tampaknya sudah sering disampaikan banyak pihak untuk “memerdekakan” berbagai komunitas tersebut. Misalnya, menghentikan berbagai aktivitas ekonomi yang merusak bentang alam, serta mengakui dan menyediakan ruang hidup berbagai komunitas yang terkalahkan.
Kini, tergantung dari hati nurani. Hati nurani yang tidak mau banyak orang hidup menderita. Baik dikarenakan takut berdosa, maupun takut dikenang sebagai manusia yang jahat.
Yang takut berdosa, harus percaya hanya Tuhan yang berhak menghapus sebuah dosa. Misalnya, saya berdosa karena membuat seribu manusia menderita akibat ruang hidupnya terampas, maka dosa saya tersebut belum tentu terampuni meskipun saya melakukan banyak ibadah. Sebab, pengampunan itu adalah hak Tuhan, yang juga mempertimbangkan doa dari mereka yang menderita akibat perbuatan saya.
Tahun 2024 adalah tahun harapan. Sebab, kita akan memiliki para pemimpin baru. Baik presiden, gubernur, hingga bupati atau wali kota.
Harapannya, para pemimpin ini menjamin setiap anak bangsa hidup merdeka. Caranya, menyelamatkan Indonesia dari ancaman bencana ekologis dan krisis iklim.
Merdeka!
* Taufik Wijaya, jurnalis dan pekerja seni yang menetap di Palembang, Sumatera Selatan. Tulisan ini opini penulis.
Indonesia, Merdeka, dan Lingkungan yang Harus Kita Perjuangkan