- Hari Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus. Sebagian masyarakat menyambut perayaan hari kemerdekaan Indonesia dengan suka cita dan meriah tetapi tak sedikit yang merasakan kegetiran, was-was dan tak bebas atau tak merdeka karena tempat mereka hidup terancam atau bahkan sudah hilang.
- Novenia Ambeua, tokoh perempuan adat di Halmahera Timur, sulit bagi masyarakat terdampak menyambut Hari Kemerdekaan dengan gembira di tengah keberpihakan negara hampir tidak ada. Banyak ruang hidup orang Halmahera terampas.
- Di Merauke, Papua, saat ini pemerintah tengah canangkan pengembangan perkebunan tebu dan bioetanol sampai 2 juta hektar. Sebagian menyambut senang, banyak juga yang was-was ruang hidup mereka terancam.
- Pastor Pius Cornelis Manus berharap, pemerintah tak meminggirkan masyarakar adat dan tak merusak alam. Masyarakat adat, bagian dari warga Indonesia dengan kekhasan tata cara hidup dan hubungan dengan alam.
Pada 17 Agustus 2024, Indonesia memasuki usia 79 tahun. Tahun ini pula, kali pertama upacara peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, diselenggarakan di istana negara baru di Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur. Acara berlangsung megah dan meriah. Presiden, para pejabat dan tamu undangan pun dominan menggunakan pakaian adat dari berbagai daerah.
Sebagian masyarakat menyambut perayaan hari kemerdekaan dengan suka cita dan meriah tetapi tak sedikit yang merasakan kegetiran, was-was dan tak bebas atau tak merdeka karena tempat mereka hidup terancam atau bahkan sudah hilang.
Masyarakat di Halmahera, Maluku Utara, misal. Sebagian dari mereka harus tersingkir atau kehilangan lahan maupun perairan tempat bisa mereka menggantungkan hidup. Lahan dan hutan, sungai sampai lautan, berubah jadi konsesi bisnis seperti tambang nikel dan kawasan industrinya.
Novenia Ambeua, tokoh perempuan adat di Halmahera Timur, sulit bagi masyarakat terdampak menyambut Hari Kemerdekaan dengan gembira di tengah keberpihakan negara hampir tidak ada. Banyak ruang hidup orang Halmahera terampas.
“Nanti ketika bersuara karena tersingkir dari ruang hidup dan tanah kami, justru dianggap pemberontak terhadap pemerintah,” katanya kepada Mongabay.

Masyarakat dalam kondisi susah, katanya, sulit kalau dibilang sudah merdeka. Ada proyek pemerintah atau investasi masuk di wilayah adat, tetapi masyarakat tidak tahu.
“Torang memang tidak pernah rasa ada kemerdekaan sebagai masyarakat adat. Karena kalau torang merdeka berarti torang dilibatkan dalam setiap pengambilan Keputusan,” katanya.
“Torang, harusnya kan dilibatkan. Kalau memang betul-betul torang merdeka. Nyatannya kan tarada. Nanti sudah jalan, sudah terjadi pembongkaran, baru dilibatkan, dilibatkan itupun hanya dipaksa menerima kerugiannya.”
Yulius Burnama, warga Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara ucapkan hal senada. Sejak tambang nikel dan ada kawasan industri, katanya, mereka seakan tak punya kemerdekaan.
“Ngoni [kalian] bisa lia sandiri torang pe kampong ini. Pe kondisi kotor dan debu setiap hari yang torang rasakan.”
Debu pekat karena hilir mudik kendaraan berat perusahaan membuat hidup masyarakat terganggu.
“Pas hari kemerdekaan ini, torang mo rayakan dengan cara bagimana kalu torang pe hak-hak [lingkungan bersih] saja dong [pemerintah] abaikan.” katanya.
Lingkungan darat sampai kelut rusak. Laut tempat dia mencari ikan sudah banyak lumpur. Dulu, mereka bisa makan ikan dari menangkap sendiri bahkan menjualnya, kini malah beli dari daerah lain.
“Disini torang so tara bisa mangael [memancing ikan], aer laut so lumpur samua. Mo dapa ikan bagimana lagi? Susah sekali. Ikan-ikan saja musti torang beli dari luar.”

Dia pun merasa belum merdeka. Baginya, kalau merdeka itu dia hidup sejahtera di tanah sandiri. “Tapi samua torang pe kebutuhan hidup disini so hancur. Tambang datang ini torang menderita sekali.”
Tak hanya sertiap hari berhadapan dengan pencemaran, bencana pun mengintai. Setiap musim hujan, pemukiman terendam banjir dan debu pekat setiap kali matahari panas.
Kemiskinan di tempat pertambangan dan hilirisasi nikel di daerah Yulius relatif tinggi. Data pemerintah, Indeks Kedalaman Kemiskinan di Halmahera Tengah 1,36 poin pada 2022, naik jadi 1,80 poin pada 2023.
Apabila dibandingkan dengan kota dan kabupaten lain di Maluku Utara, indeks kedalaman kemiskinan Halmahera Tengah tertinggi kedua setelah Halmahera Timur, juga alami kerusakan antara lain dampak tambang nikel. Indeks kedalaman kemiskinan Halmahera Tengah pada 2023 bahkan melampaui nilai rata-rata nasional 1,53 poin.
Tak hanya di Halmahera, masyarakat di pulau sebelahnya, Papua juga tak jauh beda. Orang Papua di Merauke, kini cemas tanah mereka jadi perkebunan tebu yang pemerintah canangkan seluas 2 juta hektar. Pemerintah mencanangkan Merauke sebagai pusat industri gula dan bioetanol.
“Kok tiba-tiba perusahaan masuk, ambil sample-sampe tanah di kami punya tanah ulayat. Tiba-tiba kapal masuk dengan helikopter-helikopter. Masyarakat bingung, ini musuh dari luar negeri atau darimana yang datang? Tidak menghargai kami dan serobot saja begitu,” kata Pastor Pius Cornelis Manus, melalui telepon 14 Agustus lalu.

Pius adalah rohaniwan Katolik yang mendampingi masyarakat ulayat di Merauke.
Rencana pemerintah ini, keluar kurang lebih setahun setelah Papua Selatan ditetapkan sebagai saru dari empat daerah otonomi baru di Papua. Merauke menjadi pusat pemerintahannya.
Ada kaitan dengan langkah-langkah pembangunan yang sedang pemerintah lakukan. Papua punya otonomi khusus yang sudah berjalan 25 tahun. Selesai jilid pertama, belum evaluasi sudah masuk edisi kedua.
Pembentukan daerah otonomi baru, bertujuan memperpendek rentang kendali pembangunan. Harapannya, pembangunan fokus pada pemberdayaan orang Papua sesuai semangat otonomi khusus Papua.
“Ini pemerintah belum mulai laksanakan pembangunan pemberdayaan masyarakat, kami kok sudah diserahkan ke perusahaan-perusahaan? Perusahaan yang harus membangun orang Papua. Lah, kami ini warga perusahaan ka warga negara Indonesia?”
Pengembangan kebun tebu ini diperparah dengan keterlibatan aktif TNI. TNI sosialisasi ke masyarakat, tampak memegang kendali pengelolaan, dan bergaul akrab dengan perusahaan.
“Kehadiran pasukan yang memakai pakaian hijau secara psikologi dan sosial itu sudah merupakan ancaman. Walaupun tujuan mereka menjaga keamanan, tetapi ketika sesuatu terjadi di perusahaan, berdasarkan pengalaman, mereka meninggalkan kesan buruk.”
Pengalaman sebelumnya, konflik antara masyarakat dan perusahaan sering terjadi dan keberpihakan aparat keamanan kepada investor berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Kehadiran perusahaan perkebunan skala besar di Merauke, katanya, berisiko meminggirkan masyarakat adat dan merusak lingkungan.
Menurut Pius, situasi ini menambah gamang nasionalisme orang Papua di dalam Indonesia. Seharusnya, kebijakan negara benar-benar berpihak pada kepentingan orang Papua dalam berbagai aspek.
“Jangan sampai kita hanya dengan KTP mengaku diri sebagai orang Indonesia, tetapi jiwa kita sebenarnya berada dalam kenyataan gamang atau semu. Jiwa dan raga harus betul merasa dan memiliki negara ini dan di Papua, hal ini perlu perjuangan.”
Pius berharap, pemerintah tak meminggirkan masyarakar adat dan tak merusak alam. Masyarakat adat, katanya, bagian dari warga Indonesia dengan kekhasan tata cara hidup dan hubungan dengan alam.
“Kami warga negara Indonesia yang punya tata cara hidup sendiri. Ketika hak ulayat kami dihancurkan, kami akan mengalami banyak masalah, karena seluruh tatanan hidup kami sangat bergantung pada alam.”
Dari Kepulauan Aru, Maluku, warga juga merasa belum merdeka. Wilayah mereka yang terus terancam skala besar silih berganti, dari perusahaan kayu, sawit, tebu sampai peternakan sapi.
“Masyarakat kecil belum merdeka”, kemerdekaan hanya milik orang berada,” kata Paulus Pitkaem, nelayan kecil Kepulauan Aru.

Dia bilang, HUT Kemerdekaan Indonesia tiap tahun sebatas rutinitas, senang sehari sengsara setahun. Dia duga, di mata pemerintah masyarakat kecil tak punya harga.
Anace Sersian, perempuan Aru mengatakan, merdeka hanya oleh segelintir orang seperti para pejabat dan perusahaan. Sedangkan mereka, menjadi korban atas ketidakadilan pembangunan.
Masyarakat, katanya, hidup segan mati tak mau karena tidak nyaman lagi di atas tanah mereka sendiri. Padahal, kata Anace, kekayaan alam laut dan darat bisa jadikan mereka menjadi sejahtera namun terus terampas.
“Katong hanya meminta agar hak-hak dari rakyat kecil harus dikembalikan. Katong hanya ingin hidup tenang di tanah sendiri.”
Dari Timur Indonesia, bergeser ke Sumenep, Madura, Jawa Timur juga alami kegundahan tak jauh beda. Warga Kampung Tapa Kerbau, merasa belum merdeka karena hidup tak tenang. Pesisir pantai Desa Gersik Putih, Sumenep ini terancam jadi tambak garam. Pesisir pantai itu merupakan ruang hidup bagi warga.
Awal 2023, sudah ada alat berat datang ke pesisir Tapa Kerbau tetapi sukses warga halau. Warga berulang kali menolak ke instansi terkait dan protes langsung di lapangan.

Kawasan persisir seluas 41 hektar itu lahan terakhir yang bukan berupa tambak, sebagian atau sekitar 21 hektar sudah ada sertifikat hak milik (SHM).
Pesisir itu bersebelahan dengan pemukiman warga, sekaligus tempat mereka mencari biota laut seperti kerang, kepiting, dan teripang.
“Pantai tetaplah pantai, sebagaimana fungsinya. Bukan pantai jadi tambak,” kata Mutmainah, warga Tapa Kerbau., 10 Agustus lalu.
Dia ingin desanya damai, makmur, dan sentosa, tanpa kerusakan lingkungan. Pembangunan desa, katanya, tidak boleh merusak alam dan lingkungan.
Ahmad Shiddiq, Ketua RT Tapa Kerbau, heran karena lahan pesisir bisa terbit SHM. BPN, katanya, harus bertanggung jawab atas apa yang mereka perbuat dengan menerbitkan SHM. Pantai, katanya, tidak boleh dimiliki siapapun.
“Harapannya, ruang publik untuk kehidupan bersama itu tidak dicaplok secara pribadi tapi untuk kepentingan pribadi. Biarlah jadi pantai, tidak diprivatisasi tapi miliki bersama.”
Persoalan masyarakat pesisir dan pulau kecil juga terjadi di Kepulauan Riau. Di Kepulauan Riau saat ini, banyak pulau kecil bakal jadi bagian dari proyek strategis nasional, salah satu rencana pembangunan proyek Rempang Eco City di Pulau Rempang. Dampaknya, masyarakat yang tinggal di dalamnya harus pergi.
Sriwahyuni, warga Rempang mengatakan, kampung halamannya terancam tergusur untuk PSN Rempang Eco City. Baginya, warga Rempang belum merdeka.
“Saye heran, bendera yang sudah saya pasang, ikat warna merahnya lepas selalu ke bawah, apakah ini pertanda,” kata Sri.
Pemerintah, katanya, harus memberikan hak atas tanah warga. “Yang kami inginkan merdeka atas tanah adat ulayat kami, tidak ada ancaman penggusuran seperti sekarang. Tahun inilah kami merasa belum merdeka.”


*******