- Perwakilan masyarakat Rempang dalam beberapa hari ini datang ke Jakarta untuk menyuarakan protes dan penolakan atas proyek Rempang Eco City. Masyarakat tak mau kehilangan ruang hidup dari pemukiman sampai laut yang selama ini jadi sumber ekonomi mereka.
- Masyarakat Rempang ini mendatangi kementerian dan lembaga antara lain, Ombudsman RI, Kantor Koordinator Perekonomian, Kementerian ATR/BPN, Komnas HAM juga ke Kedutaan Tiongkok.
- Ombudsman Republik Indonesia sudah mengeluarkan rekomendasi tertuang dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) terbit Januari lalu berisikan serangkaian maladministrasi dalam proyek Rempang Eco City.
- Boy Jerry Even Sembiring, Direktur Eksekutif Walhi Riau mengingatkan, perbaikan maladministrasi tidak lantas jadi legalitas pelepasan kawasan dan sertifikasi atas tanah.
Perwakilan masyarakat Rempang dalam beberapa hari ini datang ke Jakarta untuk menyuarakan protes dan penolakan atas proyek Rempang Eco City. Masyarakat tak mau kehilangan ruang hidup dari pemukiman sampai laut yang selama ini jadi sumber ekonomi mereka.
Mereka mendatangi kementerian dan lembaga antara lain, Ombudsman RI, Kantor Koordinator Perekonomian, Kementerian ATR/BPN, Komnas HAM juga ke Kedutaan Tiongkok.
Ruslan, nelayan Rempang, Batam, Kepulauan Riau, rela jauh-jauh meninggalkan kampung halaman untuk menyampaikan kekhawatiran kalau sampai ada proyek strategis nasional di kampungnya.
Dia khawatir, kehadiran proyek ini menghilangkan tempatnya mencari hidup selama ini, sebagai nelayan. Belum lagi, tempat tinggalnya berisiko kena gusur.
“Kami sudah sejahtera dengan ketersediaan sumber alam yang ada. Saya bertekad sampai kapanpun akan mempertahankan tanah nenek moyang kami,” katanya, di sela aksi di depan Kedutaan Tiongkok di Jakarta, 14 Juli lalu.
Aksi mereka lakukan di depan kedutaan ini karena salah satu investor proyek ini dari Tiongkok.
Serupa dengan Mulyani, warga Rempang yang lain. Dia dan keluarga tidak mau dipindahkan dari tempat tinggal mereka saat ini.
Berkali-kali, katanya, bapaknya diminta tanda tangan oleh BP Batam untuk mengosongkan rumah tetapi tegas menolak.
“Takut kalau kampung kami diambil, nanti orang tua kerja apa? Mau makan dari mana?
Dia mendesak, pemerintah batalkan proyek Rempang Eco-City.
Berbagai kelompok masyarakat sipil dari organisasi lingkungan sampai mahasiswa, bersolidaritas dengan masyarakat Rempang ini, antara lain, Walhi, YLBHI, Kontras, Trend Asia dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).

Belum jalan
Sebelum itu, perwakilan masyarakat Rempang datang ke Ombudsman Republik Indonesia. Lembaga ini sudah mengeluarkan rekomendasi tertuang dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) itu sudah mereka terbitkan Januari lalu berisikan serangkaian maladministrasi dalam proyek Rempang Eco City.
Dari laman Ombudsman, LHP waktu itu langsung mereka berikan pada KATR/BPN, Badan Pengusahaan Batam (BP), Kepolisian Indonesia, Pemerintah Kota Batam dan tim percepatan pengembangan investasi ramah lingkungan.
Maladministrasi yang dimaksud berupa kelalaian, penundaan berlarut dan penyimpangan prosedur pada aspek perencanaan pembangunan, pertanahan, dan penanganan atas keberatan serta penolakan warga di Pulau Rempang terhadap proyek itu.
Johannes Widijantoro, anggota Ombudsman RI menyebut, sudah ada tim terpadu khusus oleh Kementerian Koordinator Perekonomian menindaklanjuti rekomendasi dari Ombudsman.
“Sampai sekarang kami tidak tahu apa yang sudah mereka lakukan,” katanya saat menerima perwakilan warga Rempang di 13 Agustus.

Ombdusman, katanya, memang melakukan monitoring terhadap semua rekomendasi LHP.
Dua bulan lalu, katanya, sudah ada pertemuan dengan semua pihak untuk mendiskusikan hal yang sudah dan harus dilakukan serta melihat kendala yang dihadapi dalam menjalankan rekomendasi itu.
Pertemuan di BP Batam, katanya, memperlihatkan jelas campur tangan pemerintah memastikan Rempang Eco City tetap berjalan. Ada perwakilan langsung dari Kementerian Koordinator Perekonomian, ATR/BPN, hingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Tapi kami sepakat proses Ombudsman ini harus ditindaklanjuti,” katanya.

Salah satu rekomendasi Ombudsman agar BP Batam dan Walikota Batam menunda relokasi sampai ada kesediaan berdasarkan musyawarah dengan warga terdampak. Juga ada peraturan operasional detai dan pasti terkait pembangunan dan penanganan masalah Rempang Eco City. Terkait ini, BP Batam menyebut, sudah 80% warga bersedia relokasi.
Namun, pertemuan warga Rempang dan Ombudsman sore itu membantah klaim ini. “Sampai sekarang, BP Batam tidak berikan data otentik, resmi atau valid pada kami siapa saja nama-nama dan dari mana saja warga yang bersedia direlokasi,” kata Johanes.
Ombudsman, katanya, memerlukan data itu untuk memastikan ada tidaknya warga yang bersedia relokasi. Jangan sampai, katanya, BP Batam mengucapkan itu untuk memengaruhi mereka yang masih bertahan.
Ucapan ini pun diamini warga yang bertemu Ombudsman. Dalam kesempatan itu, ada 10 perwakilan menyuarakan kegusaran mereka.
“Yang ada justru terbalik, 80% warga Rempang menolak untuk relokasi,” kata Ruslan.

Warga lain menyebut, masih ada intimidasi yang mereka rasakan. Beberapa kali, petugas dari kecamatan, kelurahan sampai aparat muncul di Rempang.
M Haris, perwakilan warga mengatakan, seharusnya pemerintah menindaklanjuti Peraturan Walikota Batam Nomor 105/2004 tentang penetapan wilayah perkampungan tua di Kota Batam.
“Sesuai perwako, legalitas Kampung Tua sudah diakui. Tapi pengakuan itu hanya formalitas,” katanya.
Hadir pula ke Ombudsman ini kelompok masyarakat sipil antara lain dari Walhi, YLBHI, dan KontraS. Dalam pertemuan yang berlangsung sekitar 70 menit ini Ombudsman berjanji memanggil BP Batam terkait kelanjutan rekomendasi mereka dan keluhan masyarakat.
“Selanjutnya mereka akan kami panggil ke sini. Kami tidak akan lagi datang ke sana. Kami akan tanyakan progres-progres yang sudah mereka lakukan,” kata Johanes.

Boy Jerry Even Sembiring, Direktur Eksekutif Walhi Riau mengingatkan, perbaikan maladministrasi tidak lantas jadi legalitas pelepasan kawasan dan sertifikasi atas tanah.
Kementerian seperti KLHK, katanya, harus hati-hati ketika mengeluarkan putusan-putusan di luar prosedur.
“Kami juga meminta Ombudsman mengingatkan BP Batam dan Pemerintah Kota Batam. Karena itu bisa jadi dasar menindaklanjuti pengakuan masyarakat hukum adat sesuai dengan permendagri,” katanya.

*******
Nasib Nelayan Pulau Rempang: Terancam Relokasi Proyek Strategis Nasional