- Berbagai masalah air di Bali dibahas dalam Festival Air yang menghasilkan Jalan Air Bali.
- Dalam jalan air ini, tercatat masalah yang kompleks, misalnya peningkatan penggunaan air bawah tanah, intrusi air laut, krisis air di desa-desa di hulu yang menjaga sumber air, dan kesenjangan infrastruktur.
- Hal menarik adalah hilangnya kesadaran budaya dan kearifan religi karena Bali sangat menyucikan air sehingga disebut agama tirta.
- Air tak lagi sebagai benda publik tapi benda ekonomi karena makin dikomersilkan dan diprivatisasi.
Sejumlah praktisi dan aktivis lingkungan memetakan persoalan air di Bali dalam diskusi terfokus untuk mendapatkan apa aksi yang harus dilakukan. Untuk mendapatkan jalan air Bali.
Kegiatan ini dilaksanakan oleh Yayasan IDEP Selaras Alam yang memiliki program membuat puluhan sumur imbuhan air hujan bekerja sama dengan akademisi dan donatur dalam Bali Water Protection. Sumur imbuhan bertujuan menginjeksi akuiver agar terisi kembali karena makin meluasnya penggunaan air bawah tanah, terutama oleh industri pariwisata seperti villa, hotel, dan juga rumah tangga.
Dalam diskusi di Festival Air di Sanur, beberapa waktu lalu ini dipetakan enam pendekatan yakni ekonomi, sosial dan HAM, lingkungan, infrastruktur, budaya, dan teknologi. Prof. Lilik Sudiadjeng, peneliti dari Politeknik Negeri Bali (PNB) memaparkan dari riset bersama IDEP telah memetakan 2 isu utama dalam krisis air, yaitu masalah kuantitas di mana Bali mengalami penurunan muka air tanah karena eksploitasi dan masalah kualitas berupa intrusi air laut.
Karena itu, kedua lembaga berkolaborasi mengatasi kedua permasalahan tersebut melalui beberapa upaya, seperti edukasi yang menyasar publik dari berbagai kelompok usia dan pembangunan sumur pemanen air hujan. Kini sudah ada lebih dari 90 sumur imbuhan air hujan yang dibuat.
Pentingnya imbuhan untuk meningkatkan debit air bawah tanah. Ia mengingatkan warga atau lembaga yang membuat program penanaman pohon memastikan lokasi yang tepat sesuai jalur air.
Gusti Lanang Parwita, peneliti PNB lain menambahkan lambatnya infrastruktur penyediaan air bersih, membuat Bali tidak mampu memenuhi kebutuhan air penduduk dan wisatawan.
Menurutnya terdapat 4 sumber air dari danau di Bali yang bisa dimanfaatkan. Sementara sumber daya air dari sungai hanya dimanfaatkan sebesar 42% saja dan hanya mengalir ketika air hujan.
Baca : Ketika Air Makin Komersil di Bali, Subak Makin Terjebak
Gede Kamajaya, sosiolog dari Universitas Udayana mengingatkan kondisi yang kontradiktif di Bali dalam melihat air. “Secara nilai memuliakan air, namun dalam praktiknya justru melakukan pencemaran, menjadikan air sebagai komoditas,” katanya.
Edukasi dinilai tidak tepat sasaran. Pengguna air terbanyak adalah pelaku usaha terutama pariwisata tapi target edukasi justru menyasar rumah tangga. Menurutnya orang Bali pada dasarnya memiliki nilai yang berkaitan dengan konservasi, namun kesadaran publik masih minim dalam pemakaian air yang berlebihan sehingga tidak peduli pada upaya konservasi air.
Putu Ardana, tokoh adat di Catur Desa Tamblingan menilai subak terancam punah karena luput dalam memelihara ekosistemnya. Konsep Nyegara Gunung sebagai konsep konservasi yang komprehensif harus memprioritaskan perlindungan bukan hanya pembangunan.
“Petani di daerah hulu seperti Pancasari berubah karena menyesuaikan dengan kebutuhan pariwisata. Petani justru menanam tanaman holtikultura yang justru tidak baik untuk ketersediaan air tanah dan menyebabkan bentang alam di daerah hulu mengalami perubahan,” sebutnya.
Air dalam RPJPN
February Ramadhan dari Bappenas mengatakan pemerintah menuangkan urgensi air termasuk di Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 Indonesia Emas. Terutama kaitannya antara air dan energi.
Ini masuk dalam kajian terkait pembangunan berketahanan iklim dengan 4 sektor yakni pesisir dan pantai, pertanian, air, dan kesehatan. Pengelolaanya dengan cara kampanye, optimalisasi air permukaan, dan peningkatan kapasitas water storage. Tantangannya di perencanaan menurutnya belum ada data holistik, masih sektoral antara hulu dan hilir.
I Wayan Suyasa dari Perumda Air Minum Tirta Mangutama Bandung mengakui kerap ada masalah air di daerahnya yang menjadi pusat wisata. Warga seperti Pecatu dan Jimbaran kerap bermasalah dengan ketersediaan air karena adanya keterbatasan di pemompaan air karena daerah bukit berkapur. Selain itu ada keterbatasan infrastrukstur dan proses perizinan yang lama karena mengikuti alur pusat.
Baca juga : Bagaimana Menyelamatkan ‘Menara’ Air Bali?
Infrastruktur Air Bersih
Ketut Pariantana, Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Provinsi Bali juga mengakui keterbatasan infratsruktur air bersih berkaitan dengan sistem regulasi dari pemerintah yang belum jelas. Misalnya regulasi yang sudah bagus diganti dan implementasi tidak ada. Contoh lain, belum ada regulasi infrastruktur pemanfaatan air laut. Ada juga proyek yang tidak efektif seperti Embung Sanur yang saat itu dibuat untuk konferensi G20.
Sofie Choirun Nisa dari Madani mengingatkan kawasan hutan di Bali yang sudah jauh berkurang jauh menyebabkan ketersediaan air di Bali berkurang secara signifikan.
Selain masalah, juga ada sumbangan aksi yang dicatat dalam peta jalan air ini. Selain sumur imbuhan, ada yang membuat skema pembayaran jasa lingkungan untuk mewujudkan sumur resapan dan penanaman pohon.
Selain itu ada lembaga filantropi, Rotary yang memberikan bantuan infrastruktur pemipaan untuk desa-desa yang memiliki sumber air namun tidak bisa mendistribusikan. Ada juga Yayasan Lingkungan Bambu Lestari yang fokus kolaborasi dengan warga di daerah aliran sungai untuk penanaman bambu. Aksi unik lainnya adalah pelestarian tradisi air di Desa Pedawa dan program mengasuh pohon untuk memastikan pohon yang ditanam di dekat sumber air tidak ditebang pemilik tanah.
I Gusti Ngurah Simpen dari Kelompok Tani Tabanan Lestari memberi usulan anggaran air dalam perda harus mencakup persentase anggaran air yang digunakan kembali untuk lingkungan, pengeboran air harus dengan izin dan ilegalitas harus diatur dalam tata kelola air.
Kontribusi Anak Muda
Dalam Festival Air ini, nampak kontribusi anak muda dengan karya poster dan foto. Mereka mendokumentasikan sejumlah masalah air dan tradisi air di Bali. Misalnya Made Pradipta memotret tradisi perang air dan penyucian sumber air di Suwat, Gianyar.
Ada juga Pojok Curhat Air dengan memberikan akses warga berbagi masalah tantang air dan biaya air. Sejumlah curhatan seperti air jangan diekspolitasi, air kebanyakan teralir ke villa dan hotel, atau yang lebih personal, “aku harus numpang ke kos kawanku untuk mandi.”
Sementara soal biaya air, curhat warga lebih banyak ke perusahaan negara pengelola air dan penjual air isi ulang. Misalnya, “telat bayar langsung diputus, ada rusak telat diurusnya.” Terkait bayaknya usaha air tangki dan isi ulang, berharap ada pemantauan kualitas dan bagaimana tanggung jawabnya pada sumber air.
Baca juga : Proyek Bendungan di Tamblang, Mampukah Atasi Masalah Ketersediaan Air Masyarakat Bali?
Bali baru saja menjadi tuan rumah World Water Forum (WWF). Namun event ini meninggalkan jejak kekerasan karena forum air untuk rakyat (People’s Water Forum) yang kerap bersanding sebagai alternatif dilarang, bahkan diintimidasi sehingga tak bisa dihelat oleh sejumlah LSM, akademisi dalam dan luar negeri, dan kelompok warga.
WWF sudah berlangsung 18-25 Mei 2024 dengan enam subtema. Pertama, ketahanan dan kesejahteraan air. Kedua, air untuk manusia dan alam. Ketiga, pengurangan dan manajemen risiko bencana. Keempat, tata kelola, kerjasama dan diplomasi air. Kelima, pembiayaan air dan keberlanjutan. Keenam, pengetahuan dan inovasi.
Namun di desa-desa di Bali, masih banyak yang masih sulit akses air bersih. Sejumlah cerita warga ini terangkum dalam media jurnalisme warga BaleBengong. Misalnya di Klungkung, sejumlah warga di Dangin Sabang, Desa Besan, Sanggungan, dan Desa Dawan Kaler butuh perjuangan dalam memenuhi kebutuhan air bersih. Meski memiliki sumber air permukaan dan bawah tanah, sekitar 60 keluarga yang berada di Desa Dawan Kaler dan Desa Besan itu harus berjuang mendapat air karena belum juga mendapatkan aliran air yang dikelola PDAM.
Beberapa wilayah di Bali utara mengalami kekeringan dengan jangka yang panjang. Seperti di Sumberklampok dan Les. Desa Les menghadapi ancaman krisis air lebih dari 40 tahun. Hampir 80 persen penduduknya menjadi petani, tetapi kekeringan dan distribusi air masih melanda. Alhasil banyak yang gagal panen.
Kondisi tersebut dialami sebagian masyarakat petani di Bali. Pada 2012 silam, Stroma Cole melakukan penelitian tentang A Political Ecology of Water Equity and Tourism di Bali. Kajiannya menemukan air yang mengairi pertanian cenderung bersaing dengan pariwisata. Keadaan ini tidak bisa terlepas dari faktor lingkungan dan politik yang menghasilkan ketidakadilan pendistribusian dari pertanian ke pariwisata. Selain itu, ada industri air minum dalam kemasan (AMDK) dan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang memanfaatkan air permukaan maupun air bawah tanah. (***)