- Masyarakat yang tinggal pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (WP3K) menjadi pihak yang paling sentral atas pengelolaan wilayah laut dan pesisir. Mereka dinilai masih belum mendapatkan pengakuan yang penuh dan hak pengelolaan dari Negara
- Ada nelayan, perempuan nelayan, dan masyarakat hukum adat (MHA) yang masuk dalam kategori masyarakat pesisir. Mereka adalah pihak yang selama ini diabaikan oleh Pemerintah Indonesia, meski statusnya sangat penting di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
- Penilaian lalai dari Negara, diberikan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) saat menyoroti perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-79 yang digelar megah di Ibu Kota Negara (IKN) baru, Nusantara, Kalimantan Timur
- Berdasarkan catatan KIARA sampai 2024, pengakuan MHA melalui alokasi ruang pada Perda RZWP-3-K hanya terdapat di empat provinsi, serta masih minimnya alokasi ruang untuk MHA di pesisir dan pulau-pulau kecil melalui Perda RTRWP
Sudah 79 tahun perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia berhasil dilaksanakan, dengan tahun ini berpusat di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Kalimantan Timur. Namun, selama itu ada banyak hal yang diabaikan oleh Pemerintah Indonesia kepada warganya.
Di antara pihak yang masih mendapatkan perlakuan tidak adil itu, adalah nelayan, perempuan nelayan, dan masyarakat hukum adat (MHA) di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (WP3K). Selama ini, hak mereka masih diabaikan oleh Negara.
Kesimpulan tersebut diungkapkan oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) sesuai kegiatan perayaan Hari Kemerdekaan RI ke-79 di IKN yang baru. KIARA menyimpulkan seperti itu, karena mereka memiliki data dan fakta yang berhasil dikumpulkan.
Berdasarkan catatan KIARA sampai 2024, sudah ada 28 provinsi yang mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K). Tetapi, dari 28 provinsi itu, hanya 14 provinsi saja yang mengalokasikan ruang pemukiman nelayan dengan total luas 1.238,46 hektare (ha).
Sementara, pengakuan MHA melalui alokasi ruang pada Perda RZWP-3-K hanya terdapat di empat provinsi, yaitu Aceh, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua Barat. Fakta tersebut menjadi ironi, karena MHA menyebarluas di WP3K.
Baca : Jalinan Masyarakat Hukum Adat dengan Laut dan Pesisir Tak Terpisahkan, Seperti Apa?
Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati mengatakan, berdasarkan data sampai Agustus 2024, Perda RZWP-3-K yang sudah terintegrasi dengan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) berhasil dilakukan oleh 14 provinsi.
“Dari 14 provinsi tersebut tidak ada yang memberikan alokasi ruang untuk masyarakat adat di pesisir dan pulau-pulau kecil,” terangnya.
Bagi dia, fakta tersebut menjadi penegas bahwa Negara memang lalai untuk mengakui hak kepada mereka dan itu berimbas pada kehidupan masyarakat di WP3K. Saat ini, kehidupan nelayan ada dalam titik nadir yang membuat kondisi mereka semakin terpuruk.
Salah satu sebabnya, adalah kebijakan yang bersifat ekstraktif dan eksploitatif, baik yang tengah berjalan ataupun yang sedang direncanakan. Kebijakan tersebut memicu terjadinya tumpang tindih dengan ruang-ruang yang dikelola oleh masyarakat pesisir.
Menurutnya, sejumlah kebijakan yang saat ini disusun dan di antaranya ada yang sudah disahkan menjadi peraturan, kemudian dijadikan alat untuk merampas ruang kelola nelayan dan masyarakat pesisir lainnya.
Beberapa kebijakan tersebut, seperti liberalisasi pertambangan pasir laut dengan dalih pengelolaan hasil sedimentasi di laut, liberalisasi eksploitasi sumber daya perikanan dengan dalih penangkapan ikan terukur (PIT), dan perampasan tanah adat karena belum adanya undang-undang (UU) yang spesifik melindungi masyarakat adat.
“Atau perampasan ruang pesisir, laut dan pulau kecil dengan dalih integrasi tata ruang darat dan laut,” ujarnya.
Akibat praktik kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat pesisir, Susan Herawati menyebut kalau pengakuan atas ruang hidup dan wilayah tangkap nelayan tradisional masih minim. Begitu juga dengan pengakuan Negara terhadap perempuan yang berprofesi sebagai nelayan masih sangat minim.
Lebih ironis, pengakuan terhadap wilayah adat yang holistik yang mencakup darat dan laut juga ternyata masih sangat minim. Kondisi itu berpengaruh pada perlindungan dan pemenuhan hak-hak MHA sebagai nelayan, perempuan nelayan, dan masyarakat P3K yang berdaulat dan merdeka atas ruang hidupnya.
Baca juga : Perlindungan Masyarakat Adat Makin Tak Jelas
Susan menilai, masih minimnya pengakuan dari Negara, menjelaskan kalau saat ini ada upaya untuk memperluas ruang industri ekstraktif dan eksploitatif pada pembangunan WP3K melalui kebijakan penataan ruang secara nasional.
Akan tetapi, kebijakan tersebut justru akan melanggengkan perampasan ruang masyarakat adat dan komunitas lokal yang menyebabkan krisis ruang di WP3K. Ancaman tersebut yang membuat posisi nelayan, perempuan nelayan, dan MHA belum merdeka secara utuh.
“Belum merdeka sepenuhnya dalam menentukan bentuk pengelolaan dan pemanfaatan ruang dan kekayaan alam yang ada didalamnya,” tegasnya.
Perlindungan MHA
Walau sadar mendapat tekanan dan kritikan dari banyak pihak yang menilai perlindungan kepada MHA masih kurang, Pemerintah tetap bergerak untuk mengidentifikasi dan menetapkan kelompok MHA di seluruh Indonesia.
Upaya itu, selaras dengan misi yang diemban dan disebarluaskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pada 2024, PBB mendorong untuk menyebarkan pesan perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat. Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) diperingati sesuai Resolusi PBB Nomor 49/214 pada tanggal 23 Desember 1994.
Peringatan tersebut berlaku untuk MHA yang mendiami wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di seluruh provinsi. Hal itu diungkapkan oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Victor Gustaaf Manoppo.
Saat membuka kegiatan Forum Adat 2024 yang digelar KKP di Jakarta, pekan lalu, dia menyebut kalau PBB mengusung tema peringatan pada 2024 dengan “Protecting the rights of Indigenous Peoples in Voluntary Isolation and Initial Contact”.
Menurut dia, tema tersebut dipilih untuk menguatkan pentingnya perlindungan dan pengakuan hak MHA dalam menjalankan pola kehidupan yang telah diwariskan sejak turun temurun, serta melakukan praktik kearifan lokal di wilayahnya.
“Hal ini juga dilakukan oleh MHA di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia dengan berbagai sebutan seperti Sasi, Mane’e, Ombo, Egek, Kera-kera dan sebagainya,” ungkapnya.
Melaksanakan perlindungan dan pengakuan hak MHA di Indonesia, harus dilakukan Pemerintah Indonesia dan para pihak terkait, karena wilayah pesisir dan laut menjadi sumber daya laut yang bernilai sangat besar dan menjadi sumber penghasilan bagi MHA.
Baca juga : Masyarakat Adat, Penjaga Bumi yang Terabaikan
Katanya, merujuk kepada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo UU 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, masyarakat dapat diklasifikasikan berdasarkan karakteristiknya, yaitu MHA, Masyarakat Lokal, dan Masyarakat Tradisional.
Pengakuan terhadap keberadaan MHA di Indonesia tertuang dalam pasal 18B ayat 2 pada Amandemen UUD 1945 kedua. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan MHA beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diatur dalam UU.
Kemudian, Pasal 6 UU 31/2004 juga menjelaskan bahwa MHA adalah bagian dari masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Keberadaan mereka dikuatkan melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri No 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan MHA oleh Kementerian Dalam Negeri.
Setelah itu, KKP menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 8 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penetapan Wilayah Kelola MHA dalam Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Semua regulasi itu sebagai upaya pelestarian eksistensi MHA dan hak tradisionalnya.
Pengakuan MHA
Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil KKP Muhammad Yusuf mengatakan, terdapat 34 kelompok yang teridentifikasi sebagai MHA di Indonesia. Namun, baru 27 MHA yang sudah ditetapkan oleh masing-masing daerah melalui peraturan daerah (Perda) di Kabupaten/Kota yang ada di lima provinsi.
Kelima provinsi yang dimaksud, adalah Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Maluku, Papua, dan Papua Barat. Proses perlindungan dan penguatan MHA tersebut dimulai sejak 2016 lalu dengan menetapkan enam MHA di lima provinsi.
Rinciannya, MHA pulau Siompu, Buton Selatan, Sulawesi Tenggara; MHA Kakorotan, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara; Negeri Haruku, Maluku Tengah, Maluku; MHA Kaimer dan Manggur, Kota Tual, Maluku; MHA Malaumkarta, Sorong, Papua Barat; MHA pulau Namatota, Kaimana, Papua Barat; dan MHA pulau Owi dan pulau Auki, Biak Numfor, Papua.
Yusuf menjelaskan, MHA saat ini sudah memiliki peluang untuk bisa terus berkembang, karena sudah memiliki dasar hukum yang kuat dalam pengakuan dan perlindungan MHA, dan wilayah kelola adat dengan batas yang jelas.
Kemudian, aturan adat dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan (SDKP) yang ramah lingkungan dan lestari (berkelanjutan), dijalankan dan dipatuhi MHA secara turun temurun. Pengawasan dengan kewenangan menegakkan hukum adat dan memberi sanksi, kontrol pemanenan sumber daya dengan prinsip-prinsip pemanfaatan berkelanjutan.
“Distribusi keuntungan atau manfaat hasil panen yang adil demi kesejahteraan bersama,” terangnya.
Baca juga : RUU Masyarakat Adat: Akankah Selesai Periode Ini atau Mulai dari Nol Lagi?
Namun, terdapat juga tantangan yang harus dihadapi MHA dewasa ini. Di antaranya, adalah percepatan pengakuan dan perlindungan MHA di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (WP3K) dengan sinergitas antar pemangku kepentingan.
Kemudian, melakukan sinkronisasi wilayah kelola adat darat dan laut, alokasi ruang MHA dalam rencana tata ruang (RTR) dan/atau rencana zonasi (RZ), serta peningkatan kedaulatan lembaga MHA dalam menjaga dan mengelola wilayahnya dengan sarana prasarana yang memadai.
“Peningkatan keterampilan dan kapabilitas MHA dalam mengelola potensi SDKP di wilayahnya, dan membangun jaringan kemitraan antar MHA,” papar dia.
MHA dalam RPJPN
Direktur Kelautan dan Perikanan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia (Bappenas/Kemen PPN) Mohammad Rahmat Mulianda menjelaskan kalau MHA mendapat perhatian dalam rancangan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.
MHA disebutkan, “Jaminan pemenuhan hak berkebudayaan dan kebebasan ekspresi, serta pemberdayaan masyarakat hukum adat termasuk yang berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.” Serta, “Penguatan budaya bahari dan kemaritiman antara lain dengan pengenalan nilai-nilai maritim sejak usia dini dan promosi kegiatan ekonomi berbasis laut yang berkelanjutan.
Merujuk pada RJPN 2025-2045, MHA akan menjadi bagian dalam tahap peletakan fondasi untuk pengembangan kebudayaan Indonesia. Ada tiga fase tahapan yang sudah ditetapkan untuk proses pengembangan kebudayaan Indonesia.
Pertama, fase perkuatan fondasi yang dilaksanakan 2025-209. Fase ini akan fokus pada pembangunan kehidupan beragama dan berkebudayaan yang rukun, toleran, harmonis, dan berdaya rekat sosial dalam kebhinekaan.
Proses tersebut berorientasi kepada penguatan moderasi beragama, pemenuhan hak beragama dan berkeyakinan, pemenuhan hak berkebudayaan dan kebebasan ekspresi, serta pelibatan masyarakat hukum adat dalam pembangunan.
Kedua, fase akselerasi transformasi yang dilaksanakan 2030-2034. Fase ini fokus pada penyelenggaraan kehidupan beragama dan berkebudayaan yang mampu mengakselerasi pembangunan nasional berbasis moderasi beragama, dengan mengedepankan nilai nilai kemanusiaan, kemaslahatan umum, keadilan, keberimbangan, ketaatan pada konstitusi, dan kearifan lokal.
Ketiga, fase ekspansi global yang dilaksanakan 2035-239. Fase ini fokus melakukan perluasan peran agama dan kebudayaan dalam pembangunan berkelanjutan yang berorientasi pada pembentukan manusia unggul, bertalenta, berkarakter kuat, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, adaptif terhadap kemajuan teknologi, kreatif, dan inovatif.
Keempat, fase perwujudan Indonesia emas yang dilaksanakan 2040-245. Fase ini fokus melaksanakan peneguhan masyarakat berpengetahuan dan berkeadaban, bangsa yang menjadi pusat peradaban. Juga, mengkaji ilmu keagamaan dan kebudayaan di tingkat internasional, pusat industri kreatif berbasis seni budaya dan industri halal.
“Serta rujukan kehidupan beragama yang inklusif, moderat, dan berorientasi kemajuan,” paparnya. (***)
Menanti Presiden yang Serius Lindungi Masyarakat Adat Bukan Sekadar Janji