- Gaya hidup modern masa kini yang sedang digandrungi di Kota Bandung adalah zero waste lifestyle atau gaya hidup nol sampah.
- Kota Bandung punya dua bulk store atau toko yang menunjang gaya hidup minim sampah.
- Pemerintah Kota Bandung memilih RDF sebagai solusi mengatasi timbunan sampah plastik.
- Juga dikembangkan magotisasi untuk mengurai sampah anorganik.
Ditengah gaya hidup modern masa kini, muncul konsep yang memupuk kesadaran untuk peduli terhadap masa depan Bumi. Salah satu yang sedang digandrungi adalah zero waste lifestyle atau gaya hidup nol sampah.
Pada prinsipnya konsep zero waste menekankan pada upaya meminimalkan sampah, mulai dari hulu saat produksi hingga produk digunakan. Prinsip dasar itu mirip dengan pola reduce (mengurangi), reuse (menggunakan ulang), dan recycle (mendaur ulang) atau biasa disingkat 3R.
Bagi Dzakiyyah Junaidi (30), hidup nol sampah sudah dianggap ikhtiar menjadi manusia yang berguna. Hal itu dia tunjukan dengan tak lagi memakai produk sekali pakai. Semaksimal mungkin tidak menyumbang sampah sekalipun berat menjalani karena dia juga beraktivitas sebagai wanita karir.
“Pengen aja mengurangi plastik sekali pakai. Untungnya ada toko yang mendukung pola hidup nol sampah,” katanya yang sudah menerapkan pola itu lebih dari 5 tahun.
Toko Organis, salah satu tujuan Dzakiyyah. Dia selalu membeli sabun pembersih, deterjen, hingga desinfektan. Alasannya, produk yang dijual dirasa lebih ramah lingkungan.
Toko yang biasa disebut refill store atau bulk store ini berlokasi di kantor Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB), Cikutra, Kota Bandung, Jawa Barat. Toko tersebut jauh dari kesan toko-toko yang bersolek mengikuti trend Bandung masa kini.
Sepintas tampak biasa saja dengan puluhan jerigen tersusun pada rak kayu berwarna polos. Tiap jerigen itu terisi beragam produk dengan takaran sekitar satu sampai lima liter.
“Pelanggan harian paling banyak empat orang. Ada konsumen yang belanja harian, per dua-tiga hari, mingguan, ada juga yang bulanan,” kata Muhammad Zaenal Abidin (24) staf pengelola Toko Organis, saat ditemui akhir bulan lalu.
Baca : Bandung yang Masih Berkutat dengan Sampah, Sampai Kapan?
Toko berukuran kira-kira 4 x 3 meter tersebut tidak menyediakan wadah untuk berbelanja. Pembeli disarankan membawa wadah sendiri. Bagi konsumen yang tidak membawa wadah atau tas belanja, mereka bisa menggunakan hasil sumbangan dari konsumen lainnya.
Ada banyak produk yang menunjang hidup bebas polutan. Mulai dari toiletries seperti sabun mandi, sampo, deterjen bubuk dan cair, sabun cuci tangan, sanitizer, pembersih lantai serta kaca. Ada juga produk penunjang gaya hidup mulai dari sendok, botol minum, tas, menstrual pads, sikat gigi.
Menyoal kenapa tidak menjual produk kebutuhan harian, kata Zaenal, Toko Organis masih setengah hati menyediakannya. Hasil riset mereka menjadi standarnya, sebab hasilnya menyimpulkan sulit menemukan produk yang punya tanggung jawab terhadap lingkungan.
“Kami juga harus teliti produsennya punya visi soal keberlanjutan lingkungan atau enggak,” tuturnya.
Untuk itulah, toko yang berdiri sejak 2014 ini tidak mengejar profit. Sebab kehadirannya merupakan bagian dari sistem pendukung kampanye ihwal gaya hidup yang lebih baik bagi Bumi kelak.
“Karena gagasan awalnya muncul dari keprihatinan terhadap jumlah sampah yang tak kunjung menurun. Kami hanya mencoba menawarkan solusi melalui gaya hidup dimulai dari aktivitas kita,” jelasnya.
Menularkan Kebaikan
Bandung punya banyak cerita soal kepedulian mengurangi jumlah sampah yang menimbulkan kerusakan lingkungan. Contohnya saja dari apa yang dirintis Toko Nol Sampah.
Berada di Jalan Bima, Cicendo, toko yang didirikan tahun 2020 itu tampak sederhana. Tak ada plang nama maupun informasi toko, hanya tertulis nomor 40 di antara pohon mahoni yang besar.
Ada puluhan stoples berbahan kaca tersusun rapi dalam rak kayu cukup menyita perhatian ketika memasuki toko berukuran 6 x 6 meter. Tiap stoples terisi ragam produk seperti bumbu masak, makanan ringan, hingga biji-bijian.
Salah satu produk yang menarik adalah biji sabun (soapnuts). Bentuknya mirip kacang, namun tidak untuk dimakan melainkan digunakan untuk bahan pencuci ramah lingkungan.
“Konsep toko ini sama saja seperti warung pada umumnya, tapi yang membedakan konsumen membeli sesuai dengan kebutuhan. Harapannya agar semua aktivitas jual beli ini dapat meminimalkan potensi munculnya sampah” kata Sari Nirmala (34), salah satu pengelolanya.
Baca juga : Inilah Lima Produsen Pencemar Sampah Saset Terbanyak di Indonesia
Mimpi toko ini pun dibangun dari kesadaran sang pemilik setelah ikut pelatihan zero waste. Ketika itu muncul asa bahwa ada pilihan untuk hidup minim sampah. Oleh karena itu, Toko Nol Sampah berkeinginan menjadi kepanjangan tangan konsep zero waste.
“Prinsipnya itu people, planet, dan profit. Jadi keuntungan itu ditaruh paling akhir,” imbuhnya.
RDF Dipilih Bandung
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung 2023, jumlah produksi sampah di Kota bandung mencapai 1.594,18 ton per hari. Tercatat produksi sampah plastik mencapai 266,23 ton per hari atau 16,70 persen. Sisanya, didominasi sampah organik.
Dalam pengelolaan sampah yang kadang tak berjalan mulus, Pemerintah Kota Bandung untuk pertama kalinya memilih teknologi Refuse-Derived Fuel (RDF) sebagai kebijakan pengelolaan sampah paling mutakhir. RDF diklaim mampu mengurangi volume sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Pasalnya, ritase pembuangan sampah mencapai 241 dalam sehari.
Kepala Bidang Pengelolaan Persampahan dan Limbah B3 Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bandung Salman Faruq menjelaskan RDF sudah diujicobakan di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST). Tiga diantaranya sudah difungsikan demi meminimalisir timbunan sampah dari kawasan padat penduduk.
Ongkos tiap satu unit pengelolaan RDF tidak murah yakni senilai Rp3,5 miliar. Beroperasi sekitar 8 jam sehari, teknologi tersebut mampu mengolah sampah 10 ton sampah plastik. Artinya, ada 300 ton sampah plastik yang bisa diolah dalam satu bulan.
Namun, Salman mengaku belum ada hitung-hitungan perihal ekonomi sirkuler dari RDF. Seberapa lama daya lenting hingga bisakah investasi yang berasal dari APBD ini balik modal? Salman menjawab masih dipelajari.
“Karena masih masa transisi jadi kami masih fokus mengoptimalkan efisiensi bahan baku (sampah) dulu,” paparnya.
Baca juga : Pertama di Indonesia, Sampah RDF Jadi Pengganti Batu Bara
Dia optimis penumpukan sampah di TPS bakal berkurang. Pasalnya, persentase sampah organik dan non-organik adalah 60:40. Artinya jika RDF ini mampu bekerja optimal, maka pemerintah hanya akan mengurusi sampah organik.
Salman menjelaskan Kota Bandung sudah lebih dulu memiliki TPST yang mampu mengolah lebih dari 60 ton sampah organik per hari di Gedebage. Polanya melalui magotisasi atau larva lalat black soldier untuk mengurai sampah sisa makanan yang berasal dari restoran dan kafe.
Adapun sampah rumah tangga, sekitar 604 warga direkrut menjadi petugas pengolah sampah organik yang tersebar di 151 kelurahan. Di sisi lain, sudah ada 27 TPS yang menunjukkan komitmen dalam meningkatkan pengelolaan sampah, katanya.
“Keberlanjutan RDF ini juga berkaitan dengan pemilahan sampah. Jika sampah tercampur maka itu akan berkaitan dengan cost yang lebih mahal. Untuk sampah anorganik, kami mendorong keterlibatan RW (rukun warga) menerapkan Kang Pisman (Kurangi, Pisahkan, dan Memanfaatkan sampah),” terangnya.
Sejauh ini produk dari RDF baru digunakan di salah satu perusahaan tekstil di sekitar Kota Bandung. Jumlahnya yang bisa dipenuhi baru 3 ton per hari, meski begitu banyak perusahaan yang tertarik menggunakan bubuk plastik tersebut.
“Permintaan memang banyak, tapi kami masih mengupayakan infrastrukturnya berjalan lancar,” ungkapnya.
Sementara itu, demi masyarakat lebih akrab dengan pengelolaan sampah, TPST Babakan Siliwangi dijadikan sebagai pusat edukasi. Harapannya di saat Bandung berbenah dukungan warga kotanya bisa tumbuh. Dengan merawat sampah sama dengan menyelamatkan kota Bandung. (***)
Baru 4 Tahun, Pemuda Ini Mampu Olah 60 Ton Sampah Organik. Begini Kisahnya