- Desa Appatanah adalah salah satu desa pemukiman orang Bajo di Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Disebut Appatanah karena lokasinya paling ujung dari pulau utama di Kabupaten Selayar.
- Tak banyak sesepuh orang Bajo yang masih paham dan meyakini sejarah dan tradisi pengetahuan leluhur. Salah satu yang tersisa adalah Ambo Taang.
- Sebagian kecil warga masih percaya pamali-pamali ketika melaut dan keyakinan gurita besar yang bisa menenggelamkan perahu. Begitu besarnya, konon, tentakelnya saja sebesar pohon kelapa.
- Mereka merupakan nelayan gurita dengan alat tradisional yang menangkap musiman antara bulan November dan Maret di musim barat. Gurita menjadi komoditas primadona nelayan.
Ambo Taang (75 tahun) usianya telah uzur, rambutnya hampir memutih semua. Fisiknya masih kuat, begitupun penglihatannya. Dia masih sanggup melaut setiap hari memancing ikan sekedar memenuhi kebutuhan hidup.
Ia hidup sendiri di rumahnya yang sederhana. Tiga orang anaknya yang telah berkeluarga punya rumah sendiri, tak jauh dari rumah Ambo Taang.
Ambo Taang adalah satu dari sekian sesepuh orang Bajo di Desa Appatanah yang masih hidup. Bicaranya fasih, bercampur bahasa Indonesia dan Bajo-Selayar. Seorang keponakannya sesekali membantu menerjemahkan.
“Hanya kadang sakit pinggang, penyakit orang tua. Selain itu tak ada sakit-sakit lain,” katanya kepada Mongabay, bulan lalu.
Desa Appatanah adalah salah satu desa pemukiman orang Bajo di Kecamatan Bontosikuyu, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Desa ini berjarak 45,9 km dari ibukota kabupaten, berjarak tempuh sekitar satu jam. Disebut Appatanah karena lokasinya paling ujung dari pulau utama di Kabupaten Kepulauan Selayar.
Penduduk desa mayoritas berasal dari suku Bajo, sebanyak 663 jiwa 817 jiwa total penduduk desa. Terdapat sekitar 241 kepala keluarga dan 205 rumah tangga. Para pendatang pun telah kawin mawin dengan orang Bajo di desa ini. Rumah tangga bukan Bajo hanya sekitar 18 kepala keluarga, berasal dari orang Selayar dan Bugis. Selain mengandalkan hidup dari hasil laut, beberapa warga juga memiliki kebun kelapa yang dijual dalam bentuk kopra.
Baca : Nasionalisme Suku Bajo Merayakan Kemerdekaan Indonesia
Di masa muda, Ambo Taang adalah pelaut ulung, sebagaimana nelayan Bajo lainnya. Ia sering melakukan perjalanan ke pulau-pulau nan jauh hingga berminggu-minggu, yang dalam tradisi Bajo disebut bangi-bangi atau babangi, yang secara harfiah diterjemahkan ‘bermalam-malam’. Nelayan di Banggai, Sulawesi Tengah, menyebutnya bapongka.
“Dulu sering babangi hingga Jinato, Rajuni, Banggai, Kupang hingga Lombok. Di sana biasa mencari ikan atau teripang. Tinggal beberapa hari di pulau-pulau. Bertemu dengan orang Bajo yang ada di sana,” kenangnya.
Berkomunikasi dengan orang Bajo di daerah lain, apalagi di daerah yang jauh tak pernah mudah. Meski masih bisa berkomunikasi, namun banyak kosa kata yang berbeda, dan kadang susah ia pahami.
Ambo Taang juga dulunya penyelam andal. Bisa bertahan di bahwa air tanpa alat selama 3 menit. Meski bagi orang biasa, waktu 3 menit adalah waktu yang lama, namun bagi sebagian orang Bajo itu masih singkat. Konon ada yang bisa tahan hingga 10 hingga 30 menit.
“Sepupu saya dulu ada yang bisa tahan di laut tahan nafas hingga 30 menit,” katanya.
Kearifan Tradisional dan Pantangan di Laut
Ambo Taang adalah generasi orang Bajo yang masih mengetahui pengetahuan-pengetahuan di laut dan tradisi, meskipun sudah banyak yang tak dilakukan karena perkembangan zaman. Kalau dulunya mereka mengenali atau menandai lokasi dengan melihat perbintangan, burung-burung dan arah ombak, kini mereka lebih banyak pakai teknologi GPS.
“Kalau dulu itu kita bisa lihat penanda ikan banyak seperti lumba-lumba dan ada ikan-ikan besar, itu menunjukkan banyak ikan-ikan kecil. Ikan kerap banyak maka banyak ikan di situ karena banyak makanannya. Namun sekarang sudah tak banyak yang tahu,” katanya.
Baca juga : Nasib Suku Bajo, Pengembara Laut yang Dicap Pelaku Bom Ikan [Bagian 1]
Dia masih paham dengan sejumlah tradisi dan doa-doa orang dulu ketika melaut. Ia juga percaya adanya pantangan-pantangan yang tak boleh dilanggar, seperti tak bisa asal bicara, tak bisa menyebut hewan berkaki empat ketika melakukan perjalanan jauh, tak bisa buang api rokok, abu gosok, lombok dan garam ke laut.
Ia masih percaya pamali-pamali tersebut karena sering terjadi ketika tak sengaja membuang sisa lombok ke laut, tiba-tiba datang angin kencang dan ombak besar.
“Dulu ketika perahu masih pakai layar tanpa mesin ada juga nelayan yang sengaja buang lombok dan garam ke laut agar datang angin menggerakkan layar, kalau sekarang kan sudah pakai mesin semua.”
Agar dapat hasil tangkapan yang banyak maka sebelum melaut, dalam perjalanan dari rumah ke perahu, mereka tidak boleh mendengar kata tide atau ‘tidak ada’. Selain itu tak boleh menyebut penyakit dan tidak boleh mendengar tangisan anak-anak. Ketika naik perahu harus pakai kaki kanan dan dari naik perahu dari sebelah kanan perahu.
Gurita Raksasa
Salah satu ancaman yang nelayan Bajo takuti ketika melaut di sekitar perairan Selayar adalah datangnya gurita besar yang bisa menenggelamkan perahu. Gurita ini sering muncul di sebuah daerah yang mereka sebut karang besar, biasa muncul di malam hari. Begitu besarnya, konon, tentakelnya saja sebesar pohon kelapa.
“Penyelam malam biasa lihat. Orang sini menyebutnya kutta. Kalau dia muncul, semua kapal ditarik ke bawah. Pamalinya kalau sembarang bicara kotor. Biasa dilihat dari jauh malam tertentu misalnya malam Jumat atau malam Senin. Kalau gurita ini naik maka semua ikan-ikan sekitarnya ikut naik.”
Penampakan gurita raksasa ini juga dikonfirmasi oleh Condo (84 tahun), nelayan Bajo lainnya dari desa tetangga, tepatnya di Dusun Bajo, Desa Binanga Sombaiya, Kecamatan Bontosikuyu.
“Memang sering ada yang lihat, namun di kejauhan. Orang-orang takut mendekat, takut ikut tenggelam,” ujarnya.
Baca juga : Suku Bajo Torosiaje Panen Hasil saat Punya Area Lindung Gurita
Nelayan Penangkap Gurita
Nelayan Bajo di Appatanah umumnya nelayan tradisional. Selain memancing dengan kail biasa mereka juga menangkap ikan menggunakan alat yang disebut rince atau sabiki dengan 300 mata kail.
Sebagian merupakan nelayan gurita, menggunakan alat tangkap yang disebut pocong dan bole-bole. Mereka tahu alat tangkap pocong ini dari orang Madura sekitar 5 tahun lalu. Alat tangkap bole-bole yang bentuknya mirip kepiting dikembangkan dari pocong.
Penangkapan gurita bersifat musiman, antara bulan November dan Maret di musim barat. Beda dengan memancing atau panah ikan yang tak mengenal musim.
Meski bersifat musiman, gurita menjadi komoditas primadona nelayan. Hanya saja, harga gurita di Appatanah tergolong rendah dibanding daerah lain, kemungkinan karena rantai pasar yang panjang.
Sebelum sampai ke pedagang besar di Makassar, nelayan harus menjual ke pengepul kecil di desa, lalu ke pengepul besar di Benteng, ibukota kabupaten. Dari Benteng, gurita dijual ke pengepul besar di Makassar, sebelum akhirnya masuk ke unit pengolahan ikan (UPI) atau pabrik.
Sebagai perbandingan, berdasarkan data dari Yayasan Alam Indah Lestari (Lini) di Kepulauan Selayar, ketika harga gurita grade A adalah Rp40 ribu/kg, maka harga gurita di Desa Kahu-kahu, Kecamatan Bontoharu sebesar Rp50 ribu/kg. Bahkan di Desa Mekar Indah, Kecamatan Buki, harganya mencapai Rp52 ribu/kg.
Di musim paceklik nelayan rata-rata hanya bisa menangkap gurita 2-5 ekor dengan berat antara 0,5-1 kg. Sementara di musim tangkap bisa lebih dari 5 ekor dengan berat di atas 2 kg.
Menurut Irham Rapy, Fishery Co-management Coordinator pada Sustainable Fisheries Partnership (SFP), ada beberapa hal yang menjadi persoalan di rantai bisnis gurita, yaitu situasi global yang memengaruhi pasar, rantai pasar yang panjang dan kurangnya informasi harga serta transparansi harga ke nelayan. Selain itu terkait kualitas produk tangkapan nelayan turut memengaruhi harga.
“Persoalan lain bagi nelayan adalah jumlah tangkapan semakin berkurang akibat tren penangkapan gurita yang tinggi atau penangkapan yang berlebihan, serta masih adanya penangkapan ikan tidak ramah lingkungan yang merusak ekosistem gurita. Ada juga penangkapan gurita pada ukuran yang belum memijah. Ini semua berdampak pada kurangnya tangkapan nelayan,” tambahnya. (***)
Potret Pemukiman Terapung Suku Bajo Torosiaje, Adaptif Perubahan Iklim?