- Makin banyak sekolah yang ingin menerapkan minim sampah plastik atau zero waste
- Bagaimana memulainya? Salah satu upaya membangun kesadaran adalah membuktikan dampak buruk limbah plastik di sekitarnya bagi lingkungan dan kesehatan
- Salah satu caranya dengan mengajak siswa meneliti kandungan mikroplastik di perairan atau di bahan makanan dan minuman yang bisa mengkontaminasi tubuh manusia.
- Kandungan mikroplastik dalam bungkus plastik panganan yang dijual di sekolah sudah pernah dianalisis sampelnya dan positif mengandung mikroplastik.
Sebuah sekolah dengan sebagian besar anak-anak yang orang tuanya nelayan di Bali barat ini belajar mengidentifikasi mikroplastik di sungai dekat sekolah yang bermuara ke laut dan Pelabuhan Pengambengan, Kabupaten Jembrana.
Kegiatan bertajuk Detektif Sungai ini dilaksanakan sekolah dasar MI Darussalam bersama siswa setingkat SMP dan SMA di bawah yayasan yang sama, didampingi Yayasan Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton Foundation) pada awal Agustus lalu.
Pelabuhan Pengambengan adalah pelabuhan perikanan besar di Bali, dilengkapi ekosistem industri pengolahannya seperti pabrik pengalengan dan lainnya. Warga menggantungkan penghasilan dari kapal penangkap ikan, buruh angkut, pekerja pabrik, sampai pemungut ikan di pesisir.
“Jika sampah terus masuk laut, jangan-jangan nanti perbandingannya satu ikan dengan 15 plastik,” ujar Kepala Sekolah MI Darussalam Muhammad Imam Muzammil. Menurutnya pengetahuan dampak limbah plastik di perairan sangat penting karena sebagian besar orang tua siswa nelayan atau pekerja di sekitar pelabuhan.
Keterhubungan sampah plastik dengan penghidupan warga makin nyata setelah belajar jadi detektif sungai. Sejumlah anak-anak diajak ke sungai, mengambil sampel air, kemudian memeriksanya dengan mikroskop dan alat lain. Mereka diajak mengenali jenis-jenis mikroplastik dalam perairan.
Imam mengakui potensi polusi dan masuknya sampah plastik ke laut ini karena belum ada tempat pembuangan sampah sementara di sekitar sekolah. Sampah dibuang di sebuah tanah kosong, kemudian dibakar. Hal ini dilakukan juga warga sekitar. Ia memperkirakan, jumlah sampah di sekolah per hari sekitar 2 karung.
Sampah ini lebih banyak dari snack atau bungkus plastik dari rumah atau kantin. Karena itu, sekolah ini ingin memulai program zero waste atau minim sampah plastik. Imam mengakui hal ini tak mudah karena harus dimulai dari penyadaran manajemen kantin agar tak banyak menjual makanan dengan kemasan, dan lainnya.
“Kami mulai dengan imbauan bawa tumbler, botol air dan kotak makan dulu,” jelasnya.
Baca : Ini Merek Sampah Terbanyak Beberapa Sekolah di Bali

Ecoton mengedukasi para siswa, guru, dan staf sekolah mengenai pentingnya mengurangi sampah plastik. Misalnya mendorong penggunaan barang-barang yang dapat digunakan kembali seperti botol air, kotak makan, dan tas belanja.
Kesadaran ini mulai muncul ketika mengetahui hasil detektif sungai yakni kontaminasi mikroplastik jenis fiber, filamen, dan fragmen yang berpotensi merusak lingkungan dan ekosistem laut. Mikroplastik adalah serpihan plastik berukuran kurang dari 5 mm yang biasanya berada di lingkungan air laut atau air tawar. Untuk menjadi mikroplastik perlu proses lama, dan dampak keberadaannya sangat berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan.
“Plastik sekali pakai termasuk sachet, botol plastik sekali pakai, dan mika yang digunakan untuk membungkus makanan dan minuman dapat melepaskan senyawa kimia racun penyusun plastik serta melepaskan mikroplastik. Senyawa racun plastik dapat mengganggu hormon insulin sehingga berpotensi menyebabkan diabetes melitus” ujar Rafika Aprilianti, Peneliti Ecoton.
Rafika sebagai Kepala Laboratorium Ecoton berusaha meyakinkan bahaya senyawa racun dalam plastik dan mikroplastik. Upaya zero waste school bisa dimulai juga dari kantin sehat tanpa sachet di sekolah.
Imam mengatakan akan menghubungi Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali untuk pendampingan sekolah ekologis dan berharap menjadi sekolah Adiwiyata lingkungan.
Mikroplastik dalam Jajanan Sekolah
Berdasarkan brand audit oleh PPLH Bali tahun 2024 di sejumlah sekolah, jenis plastik terbanyak yang ditemui adalah plastik bening, mika, kertas minyak, plastik sachet single layer, sachet multilayer, dan styrofoam untuk pembungkus makanan. Sementara untuk minuman adalah gelas plastik dan botol PET.
Bahkan ada juga temuan mikroplastik dalam penganan di beberapa sekolah di Bali. Ada empat sampel yang diperiksa yaitu sosis goreng dalam bungkusan plastik bening mengandung mikroplastik jenis fiber dan fragmen. Demikian juga nasi goreng dalam plastik mika, nasi bungkus dalam kertas minyak, dan permen. Hal yang sama nampak dalam pemeriksaan mikroplastik jajanan sekolah di Solo, dalam program kolaborasi sejumlah lembaga ini.
Pengambilan sampel dan analisis sampel dilakukan awal Januari lalu. Sampel dianalisis di laboratorium kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana menggunakan mikropskop binokuler.
Asal mikroplastik seperti fiber biasanya dari limbah kain di perairan akibat pencucian atau sudah rusak. Sementara filamen dari degradasi plastik lentur seperti kantong plastik, botol plastik, bungkus sachet, dan kemasan.
Baca juga : Cerita Setyarti, Penggerak Sedekah Sampah dari Bali

Cara menghindari mikroplastik dalam penganan di antaranya meminimalkan penggunaan plastik sekali pakai sebagai pembungkus, penyajian, dan peralatan makanan. Kemudian memastikan proses produksi bersih atau steril dari remahan kain atau lap yang digunakan ketika memproses makanan. Bisa juga menghindari pengemasan makanan dalam kondisi panas atau terpapar matahari langsung.
Menurut Diyah dari PPLH Bali, setelah disampaikan hasilnya ke para pihak termasuk sekolah banyak yang baru tahu mikroplastik bisa dideteksi dan bisa masuk ke tubuh. “Mereka prihatin dan berharap mikroplastik ini jangan sampai dikonsumsi dan terakumulasi dalam tubuh,” ujarnya.
Dari sinilah beberapa sekolah mulai berkomitmen mengurangi plastik sekali di sekolah, seperti mulai dari kantin yang menjual aneka penganan, sampai mendorong pemakaian botol minum pakai ulang dan bekal tanpa kresek. (***)