- Perempuan dinilai punya peran penting dalam memutus mata rantai kemiskinan pada nelayan. Mereka punya waktu dan kegigihan. Selain itu di beberapa kebudayaan, perempuan adalah pengelola keuangan dan urusan domestik keluarga.
- Dalam tradisi budaya Bugis-Makassar di pulau-pulau dikenal budaya yang disebut pampidokang, yang berarti siri’ atau adanya rasa malu bagi suami untuk mengurusi keuangan dan belanja keluarga.
- Upaya lain yang bisa dilakukan untuk memutus mata rantai kemiskinan di nelayan adalah dengan mempersingkat rantai pasok nelayan ke dunia industri, dalam hal ini nelayan diberi kemudahan untuk menjual langsung produk hasil tangkapannya ke industri.
- Melalui program Proteksi Gama, para istri nelayan di Pulau Langkai dan Lanjukang Makassar difasilitasi untuk memproduksi sambal dari gurita dan abon ikan. Mereka juga diajarkan literasi keuangan oleh YKL Indonesia.
Nelayan kecil, khususnya di pulau-pulau kecil menghadapi banyak persoalan dan berdampak pada kemiskinan yang berlarut. Salah satu persoalan yang dihadapi nelayan adalah utang yang tak pernah tuntas. Ketergantungan utang yang dipelihara dari para punggawa atau juragan membuat mereka sulit keluar dari garis kemiskinan.
“Masalah utama nelayan itu di utang, akan susah memberdayakan mereka jika mata rantai hutang tak diputus. Mereka akan selalu bergantung pada punggawa pemberi hutang. Berapa pun hasil tangkapan mereka tak pernah cukup. Selain itu, nelayan yang punya hutang biasanya mendapatkan harga jual yang lebih sedikit karena ada ikatan utang ke ponggawa,” ungkap Irham Rapy, Co Management Cordinator Sustainable Fisheries Partnership (SFP) di Makassar, beberapa waktu lalu.
Menurut Irham, harus ada upaya yang radikal untuk memutus mata rantai utang tersebut. Kurangnya literasi keuangan juga menjadi faktor nelayan tak berdaya. Mereka menerima begitu saja harga yang dipatok ponggawa mereka, sementara mereka juga tak pernah mencatat dengan baik hasil tangkapan ataupun utang mereka ke ponggawa. Hal inilah yang harus diretas jika ingin memberdayakan nelayan.
Menurut Yusran Nurdin Massa, Enviromental Technical Advisor (ETA) di Blue Forests, beberapa hal yang bisa dilakukan untuk memperkuat posisi tawar nelayan skala kecil dan memutus mata rantai ketergantungan terhadap pemodal adalah dengan memperkuat koperasi yang diharapkan bisa menggantikan ponggawa.
Koperasi atau dapat juga berupa Kelompok Usaha Bersama (KUB) juga menjadi wadah belajar bersama nelayan terkait pengelolaan keuangan usaha dan keuangan rumah tangga yang menjadi salah satu kendala penghidupan nelayan dan masyarakat pesisir.
Lazim ditemukan jika musim lagi baik, pendapatan nelayan kecil pada setiap trip penangkapan lumayan tinggi, hanya saja pengeluaran harian juga sangat tinggi, tidak hanya untuk kebutuhan primer.
“Kadang kala juga mencakup kebutuhan sekunder seperti jajan anak, arisan dan lainnya. Sehingga kadang kala besar pasak daripada tiang. Nelayan skala kecil mesti mulai membenahi pengelolaan rumah tangga dan usahanya,” ujar Yusran.
Langkah pentingnya adalah dengan memberdayakan perempuan, para istri nelayan. Perempuan dinilai punya peran yang besar dalam memberdayakan nelayan. Mereka punya waktu dan kegigihan. Selain itu di beberapa kebudayaan, perempuan adalah pengelola keuangan dan urusan domestik keluarga.
“Mereka bisa diberdayakan dengan menghitung seluruh pendapatan dan pengeluaran, sekaligus mencatat dengan baik utang-utang ke ponggawa,” tambahnya.
Baca : Begini Cara Perempuan Nelayan Pulau Langkai Hadapi Perubahan Iklim
Budaya Pampidokang
Menurut Hamzah, Lurah Barrang Caddi, Kecamatan Kepulauan Sangkarrang, Makassar, dalam tradisi budaya Bugis-Makassar di pulau-pulau dikenal budaya yang disebut pampidokang, yang berarti siri’ atau adanya rasa malu bagi suami untuk mengurusi keuangan dan belanja keluarga. Semuanya diserahkan ke istri, yang menunjukkan besarnya peran perempuan dalam pengelolaan keuangan nelayan. Ia sepakat bahwa pemberdayaan istri bisa menjadi jalan keluar pemberdayaan bagi nelayan.
“Jadi istri mengatur dan mencatat seluruh pendapatan dan pengeluaran suami. Ini juga bisa meminimalkan utang yang tak kunjung habis nelayan ke ponggawa mereka.”
Kemiskinan pada nelayan dan tumpukan utang kepada ponggawa dianggap sebagai salah satu penyebab maraknya bom ikan oleh nelayan. Mereka dituntut untuk terus berproduksi agar utangnya bisa tertutupi. Motivasi nelayan sawi, istilah untuk nelayan kecil, hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari, namun akhirnya terjebak untuk melakukan praktik perikanan destruktif.
Hasil penelitian Muh. Asri dkk. (2016) di Kabupaten Kepulauan Selayar, menemukan bahwa praktik perikanan destruktif umum terjadi pada komunitas nelayan yang terikat dalam pola hubungan patron-klien. Sementara Nurdin dan Grydehoj (2014) mengungkap praktik perikanan destruktif di Pulau Karanrang, Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Selatan, terkait dengan ponggawa-sawi yang menjebak nelayan untuk terus melakukannya.
Baca juga : Kegigihan Mariam, Perempuan Nelayan di Teluk Kupang
Mendekatkan Nelayan ke Industri
Upaya lain yang bisa dilakukan untuk memutus mata rantai kemiskinan di nelayan adalah dengan mempersingkat rantai pasok nelayan ke dunia industri, dalam hal ini nelayan diberi kemudahan untuk menjual langsung produk hasil tangkapannya ke industri.
Upaya ini dilakukan YKL Indonesia dengan memfasilitasi kerja sama kelompok nelayan fasilitasi kerjasama kelompok nelayan dengan pihak swasta.
“Inisiatif ini bertujuan untuk meningkatkan nilai dari hasil tangkapan gurita oleh nelayan Pulau Langkai dan Lanjukang. Melihat banyaknya rantai pasok pada perikanan gurita ini menyebabkan rendahnya nilai gurita di tingkat nelayan,” ungkap Nirwan Dessibali. Direktur Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia pada kegiatan diskusi di Hotel Aston Makassar, beberapa waktu lalu.
Kegiatan ini adalah rangkaian dari 3 tahun program Proteksi Gama YKL Indonesia di kedua pulau tersebut atas dukungan Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) – Burung Indonesia.
“Untuk mendukung inisiatif ini, YKL Indonesia sebelumnya memfasilitasi proses pertemuan nelayan dengan dua pihak swasta dalam hal ini perusahaan pengolah ikan yang selanjutnya memfasilitasi lokakarya dalam rangka kesepakatan kerja sama nelayan dengan pihak swasta, termasuk penguatan pasar produk perikanan skala kecil berkelanjutan,” ujar Nirwan.
Pemberdayaan perempuan nelayan juga menjadi salah satu fokus pada kegiatan ini. Para istri nelayan difasilitasi untuk memproduksi sambal dari gurita dan abon ikan. Mereka juga diajarkan literasi keuangan.
Produk nelayan ini telah menjadi perhatian dari pemerintah Kota Makassar. Muhammad Rheza, Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Kota Makassar telah berkunjung ke Pulau Langkai melihat langsung proses produksi dan kemasan produk istri nelayan.
“Produknya sangat bagus namun harus diperbaiki kemasannya agar bisa dijual di swalayan-swalayan. Kami punya inkubator dan siap untuk membantu produk ibu-ibu, termasuk membantu untuk proses PIRT dan BPOM,” ungkap Rheza.
Dedyansyah, dari Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (LPMUKP KKP) menekankan pentingnya penguatan nelayan melalui pembentukan koperasi nelayan. LPMUKP KKP telah membantu banyak kelompok koperasi nelayan di Indonesia dengan dukungan anggaran tak terbatas.
Menurut Dedyansyah, pinjaman dengan bunga rendah pada koperasi ini nantinya akan dibarengi dengan pendampingan. Ia mengajak para nelayan di Pulau Langkai dan Lanjukang untuk membentuk koperasi dan mengakses pinjaman ini.
“LPMUKP meningkatkan kemampuan nelayan yang diwadahi dalam koperasi untuk menangkap ikan di atas 12 mil, serta mendampingi koperasi dalam program Kampung Nelayan Maju atau Kalaju.”