- Indonesia jadi tuan rumah Pertemuan Tingkat Menteri II Komunitas Asia Nol Emisi ( Asia Zero Emission Community/ AZEC). Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia meragukan klaim inisiatif pengurangan emisi karbon (dekarbonisasi) negara-negara di kawasan Asia dan Australia. Bahkan, proyek-proyek dari inisiatif ini rawan menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan hidup dan sosial masyarakat.
- Khusus bagi Indonesia dan Jepang, pertemuan AZEC ini menghasilkan sejumlah kesepahaman, antara lain, memorandum kerja sama (MKS) tentang sektor energi antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Ministry of Economy, Trade and Industry (METI), Jepang.
- Organisasi masyarakat sipil menilai, berbagai proyek AZEC ini minim konsultasi terbuka dengan masyarakat adat dan komunitas lokal. Padahal. masyarakat adat/lokal berisiko terkena dampak langsung dari proyek-proyek dukungan AZEC ini.
- Berbagai proyek dalam AZEC di Indonesia dapat memperpanjang penggunaan energi fosil. Antara lain, hidrogen, amonia, bioenergi, LNG sampai penangkapan, (pemanfaatan) dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage).
Pekan lalu, Indonesia jadi tuan rumah Pertemuan Tingkat Menteri II Komunitas Asia Nol Emisi ( Asia Zero Emission Community/ AZEC). Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia meragukan klaim inisiatif pengurangan emisi karbon (dekarbonisasi) negara-negara di kawasan Asia dan Australia. Bahkan, proyek-proyek dari inisiatif ini rawan menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan hidup dan sosial masyarakat.
Dalam acara yang berlangsung di Jakarta, 20-21 Agustus ini, hadir para menteri dari negara-negara anggota AZEC, yakni, Indonesia, Jepang, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Kamboja, Laos, Brunei dan Australia.
Khusus bagi Indonesia dan Jepang, pertemuan AZEC ini menghasilkan sejumlah kesepahaman, antara lain, memorandum kerja sama (MKS) tentang sektor energi antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Ministry of Economy, Trade and Industry (METI), Jepang.
Berbagai organisasi masyarakat sipil ini aksi dan penyerahan petisi kepada Pemerintah Jepang, melalui Kedutaan Besar Jepang di Indonesia, 20 Agustus 2024. Petisi ini ditandatangani 41 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia.
MKS ini meliputi perumusan peta jalan transisi energi menuju emisi nol bersih dengan jalur transisi nasional masing-masing, pengembangan dan penyebaran energi terbarukan, efisiensi dan teknologi energi, termasuk tetapi tidak terbatas pada hidrogen, amonia, daur ulang karbon, dan CCS/CCUS. Serta, pengembangan energi seperti minyak, gas dan listrik untuk meningkatkan ketahanan energi.
Di samping MKS tentang sektor energi, terdapat pula penandatanganan kesepahaman kerja sama dekarbonisasi sektor energi antara KESDM dan organisasi pengembangan energi terbarukan dan teknologi industri (NEDO) Jepang.
Seturut kerja sama itu, Indonesia dan Jepang akan mengembangkan energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan bioenergi (biomassa, bio-metana dan biofuel). Kedua negara juga akan memproduksi hidrogen dan membangun rantai pasok juga mengoptimalkan teknologi konservasi energi.
Pertemuan ini juga mengkategorikan sejumlah proyek potensial berdasarkan kesiapan. Airlangga Hartanto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian mengatakan, pada kategori pertama terdapat proyek komersial siap jalan, antara lain proyek bumi Muara Laboh dan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka.
Tahap II, katanya, terdapat proyek potensial yang siap dikomersialkan namun masih tahap studi kelayakan, seperti pengelolaan lahan gambut dan proyek jaringan transmisi Jawa-Sumatera.
Kategori III, ADA sekitar 74 MoU maupun inisiatif perlu identifikasi dan pelajari lebih lanjut. “Potensi investasi yang teridentifikasi dari kategori ini akan ditingkatkan kembali ke kategori II dan kategori I,” ujar Menko Perekonomiaan.
Roslan Roeslani, Menteri Investasi/ Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengatakan, menteri-menteri negara mitra AZEC mengirimkan pesan kuat terkait dekarbonisasi guna mitigasi perubahan iklim. Sekaligus, memastikan dukungan bersama untuk mempercepat transisi energi di Asia.
“Kami senang pertemuan ini juga menandai penandatanganan 21 MoU tentang kerja sama proyek antara Indonesia dan Jepang. Kami juga berharap dapat terus menerima dukungan dari sektor swasta,” ujar Roslan.
Indonesia, katanya, menyambut baik inisiatif-inisiatif baru dari pertemuan ini antara lain, inisiatif AZEC untuk mempromosikan zero emission power, inisiatif menciptakan sustainable fuel markets dan membangun next generation industries.
Minim libatkan masyarakat, berbagai risiko
Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia menilai, berbagai proyek AZEC ini minim konsultasi terbuka dengan masyarakat adat dan komunitas lokal. Padahal. masyarakat adat/lokal berisiko terkena dampak langsung dari proyek-proyek dukungan AZEC ini.
Fanny Tri Jambore, Kepala Divisi Kampanye Walhi Nasional mengatakan, inisiatif AZEC tidak mempertimbangkan aspirasi dan partisipasi berarti dari masyarakat.
Selain itu, katanya, Pemerintah Indonesia dan Jepang juga gagal mempertimbangkan dampak sosial, lingkungan hidup dan hak asasi manusia yang mungkin berdampak proyek ini.
Dia contohkan, kurangnya partisipasi bermakna dari komunitas seperti dalam proyek PLTPB Muara Laboh di Sumatera Barat.
“Padahal, dampak proyek itu terasa bagi petani yang mengalami gagal panen, maupun warga yang tinggal tidak jauh dari lokasi proyek,” katanya.
Sigit Karyadi, dari Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA) menilai, AZEC berpotensi mengulangi masalah, dari konflik agraria, lingkungan hiduo dan pelanggaran HAM di berbagai tempat. Karena, inisiatif ini tak mengakomodasi kepentingan masyarakat.
Dia contohkan, proyek geotermal masif menimbulkan banyak persoalan. “Misal, ada pulau panas bumi tanpa membaca atau merefleksikan persoalan yang selama ini muncul dari geotermal,” katanya.
Begitu pula proyek energi sampah (waste to energi/WTE) yang diklaim sebagai energi bersih, dia sebut akan memberi dampak bagi lingkungan dan manusia. Insinerator yang membakar campuran berbagai jenis sampah, organik maupun plastik, dia nilai tetap melepaskan emisi gas rumah kaca.
“Laporan dari negara lain yang sudah mengimplementasikan proyek itu (WTE), kemudian menyebut hak kesehatan bagi masyarakat akan bermasalah.”
Koalisi masyarkat sipil juga khawatir, dukungan AZEC pada sejumlah proyek, berdampak pada lingkungan dan komitmen iklim Indonesia dan Jepang.
Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi menerangkan, inisiatif ini mengakui keberadaan proyek reducing emissions from deforestation and forest degradation in developing countries (REDD).
Padahal, katanya, REDD sekadar proyek konservasi lahan untuk penyeimbangan karbon dan tidak menjawab permasalahan iklim.
Selain itu, proyek ini juga tidak mengoreksi konsumsi energi dari pembongkaran batubara, nikel dan pelepasan emisi dalam konteks industrialisasi.
“Jadi, para emiter tetap bisa melepas emisi sembari menyeimbangkan dengan tindakan lain, konservasi hutan dan lain sebagainya.”
Saat ini, Indonesia punya 16 konsesi restorasi ekosistem dengan luas 624.000 hektar yang berpotensi jadi proyek REDD tetapi rentan menimbulkan konflik. Dia sebutkan, proyek di Katingan, Kalimantan Tengah, yang menyingkirkan masyarakat adat/komunitas lokal dari ruang hidupnya.
Selain itu, Uli melihat, proyek “kajian teknologi pengelolaan air lahan gambut berbasis setok untuk pasokan biomassa kayu yang stabil” yang juga didanai AZEC akan mengulang kegagalan.
Dampak perusakan lahan gambut, katanya, menyebabkan kebakaran hutan dan lahan. Karena, intervensi dengan cara pengeringan atau kanalisasi yang akan merusak ekosistem gambut, dan membuat rentan terbakar.
“Kalau AZEC tetap membiayai atau mengimplementasikan program dalam konteks pengelolaan lahan gambut di Kalteng, maka ceritanya juga sama, cerita kegagalan,” ujar Uli.
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menambahkan, berbagai proyek dalam AZEC di Indonesia dapat memperpanjang penggunaan energi fosil. Antara lain, hidrogen, amonia, bioenergi, LNG sampai penangkapan, (pemanfaatan) dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage).
Proyek pendanaan hidrogen belum menunjukkan pendekatan cukup jelas. Kalau gunakan gas alam, katanya, akan memperpanjang eksploitasi energi fosil. Sementara, green-hidrogen dari sumber energi terbarukan disebut membutuhkan air dalam jumlah sangat besar.
“Selain itu, energi intensif hidrogen untuk transportasi dan pembangkit listrik itu biaya energinya juga mahal. Sangat merugikan dalam posisi indonesia, bahkan negara Asia lain.”
Bhima menilai, komitmen iklim Jepang melalui AZEC seharusnya dengan mendorong pensiun dini PLTU batubara. Juga, mendukung pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas, yang sesuai dengan karakter negara kepulauan seperti Indonesia.
“Jangan langsung loncat pakai amoniac, hidrogen dan CCUS,” katanya.
Tak itu saja, komitmen negara-negara maju seperti Jepang, mestinya dengan melaksanakan Perjanjian Paris, di mana negara-negara maju harus menyediakan sumber pendanaan untuk membantu negara berkembang jalankan mitigasi dan adaptasi.
Dukungan pendanaan sebagai tanggung jawab negara maju itu, seharusnya melalui skema hibah, bukan utang. Negara maju, katanya, punya utang iklim sangat besar.
“Bahkan sekarang sudah ada kampanye, US$5 triliun (setara Rp77.500 triliun) per tahun sampai 2030 untuk membantu negara berkembang,” katanya.
********
PLTP Muara Laboh II Khawatir Perburuk Kondisi Lingkungan dan Masyarakat