- Kucing emas [Catopuma temminckii] yang terkena jerat di wilayah Nagari Sariak, Kecamatan Sungai Pua, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, awal Agustus lalu, sudah dilepasliarkan di kawasan konservasi Sumatera Barat, Rabu [21/8/2024].
- Saat ditemukan, kucing ini berada di area penggunaan lain [APL], tepatnya di kebun masyarakat yang bukan bervegetasi Kawasan ini berbatasan langsung dengan Taman Wisata Alam/TWA Marapi.
- Keluarnya kucing dilindungi ini dari habitatnya, diduga karena erupsi Gunung Marapi yang masih berlangsung hingga saat ini. Oleh sebab itu, lokasi pelepasan dilakukan di wilayah berbeda.
- Untuk kucing liar, belum ada aturan spesifik terhadap pelepasliaran. Meski begitu, perlu adaassessment kelayakan spesies dan habitat sebelum dilakukan pelepasan.
Kucing emas [Catopuma temminckii] yang terkena jerat di wilayah Nagari Sariak, Kecamatan Sungai Pua, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, awal Agustus lalu sudah dilepasliarkan, Rabu [21/8/2024].
Kepala Seksi Konservasi Wilayah I BKSDA Sumbar, Antonius Vevri, mengatakan kucing dilindungi tersebut sudah sehat dan layak dikembalikan ke alam liar.
“Kakinya yang bengkak karena jerat kawat, telah sembuh setelah mendapat perawatan petugas Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan/TMSBK Bukittinggi,” terangnya, Jumat [23/8/2024].
Nafsu makannya juga sudah pulih.
“Sudah bisa menghabiskan makanan dan itu dilakukan berulang,” jelasnya.
Saat ditemukan, kucing ini berada di area penggunaan lain [APL], tepatnya di kebun masyarakat yang bukan bervegetasi pertanian. Kawasan ini berbatasan langsung dengan Taman Wisata Alam/TWA Marapi.
Keluarnya kucing ini dari habitatnya, diduga karena erupsi Gunung Marapi yang masih terjadi. Oleh sebab itu, lokasi pelepasan dilakukan di wilayah berbeda.
“Bila kita kembalikan ke tempat semula, dikhawatirkan turun lagi dan menimbulkan konflik.”
Lokasi baru, sebut Antonius, merupakan kawasan konservasi yang juga habitat kucing emas.
“Di wilayah ini pernah ditemukan kucing emas dan populasinya berkembang. Untuk itu, pelepasliaran segera dilakukan agar sifat alaminya tidak hilang,” jelasnya.
Baca: Kucing Emas Kena Jerat di Sumatera Barat, Begini Kondisinya
Pertimbangan wilayah
Kepala BKSDA Sumbar, Lugi Hartanto, menjelaskan terkait pemilihan wilayah pelepasliaran.
“Lokasinya merupakan habitat kucing emas di kawasan konservasi di Sumatera Barat,” terangnya, Jumat [23/8/2024].
Pertimbangan lain, untuk memudahkan perlindungan dan pemantauan. Secara rutin, petugas resort bisa juga memonitor setelah rilis.
“Untuk kucing ini tidak kita pasang GPS Collar, karena prioritasnya untuk harimau sumatera. Sejauh ini, setelah dilepasliarkan tidak ada konflik di daerah tersebut. Selain itu, karena masih liar maka adaptasinya sangat bagus,” ungkapnya.
Baca: Kucing Emas Terlihat di Solok Selatan, Ancaman Perburuan?
Pemantauan setelah pelepasan
Erwin Wilianto, founder Save The Indonesian Nature and Threatened Species/SINTAS Indonesia dan anggota Fishing Cat Conservation Alliance, mengatakan untuk kucing liar belum ada aturan spesifik terhadap pelepasliaran. Meski begitu, perlu ada assessment kelayakan spesies dan habitat sebelum dilakukan pelepasan.
“Bahkan, untuk Felidae keseluruhan belum ada standard operating procedure spesifik. Pastinya, harus melibatkan kelayakan fisik, medis, behaviour, dan habitat,” terangnya.
Secara fisik, diutamakan satwa yang tidak cacat fisik, sehingga tidak menghambat kehidupannya. Satwa juga sehat, tidak membawa penyakit dari luar ke hutan. Selanjutnya, proses pengkandangan selama habituasi dipastikan tidak mempengaruhi perilaku alaminya.
“Untuk kelayakan habitat tentunya diukur dari daya tampung dan daya dukung. Cukupkah pakan di sana, amankah dari jerat, dan aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar,” ungkapnya.
Terkait lokasi, idealnya dikembalikan ke tempat asalnya. Namun, bila rawan perburuan dan perambahan, lebih baik ditranslokasi ke tempat lain.
Terpenting, setelah pelepasliaran diupayakan pemantauan. Caranya, bisa pengamatan langsung, pemasangan kamera trap, hingga penggunaan GPS Collar. Selain itu, edukasi dan pembinaan habitat harus selalu dilakukan, sebagai bagian dari mitigasi konflik.
Mengenai berulangnya kasus jerat, Erwin berharap kejadian ini bisa ditangani.
“Kolaborasi bisa menjadi kunci utama pengelolaan satwa liar di dalam dan luar kawasan konservasi. Jika masyarakat siap sebagai subyek konservasi [seperti inisiatif PAGARI], ini bisa menjadi indikator keberhasilan intervensi konservasi,” ujarnya.
Terkait jerat, sebelumnya BKSDA Sumbar telah melakukan operasi lapangan. Hanya saja, personil yang ada tidak sebanding dengan jumlah jerat yang dipasangan di suatu wilayah.
“Kami selalu patroli dan melakukan aksi sapu jerat. Hanya, kemampuan kami tidak sebanding dengan jumlah jerat yang dipasang pemburu. Jerat harus dicari, karena umumnya dipasang di tempat-tempat tersembunyi,” ujar Antonius Vevri.