- Sejak diundangkan pada 21 Maret 2024, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) langsung diberlakukan
- Kehadiran regulasi terbaru itu, menjadi harapan baru bagi tata kelola lobster yang selama bertahun-tahun dinilai amburadul. Berbagai upaya kemudian diturunkan untuk menerjemahkan Permen KP 7/2024 agar bisa diterapkan dengan tepat dan efisien
- Salah satu upaya itu, adalah dengan memberlakukan sertifikasi cara budi daya ikan yang baik (CBIB) untuk kegiatan budi daya lobster. Sertifikat diberlakukan, agar jaminan mutu bisa ada selama kegiatan budi daya dilaksanakan
- Fokus utama pengaturan yang ada dalam Permen KP 7/2024 adalah melaksanakan pengelolaan lobster yang berkelanjutan, dan memastikan kebermanfaatan sumber daya BBL bagi nelayan kecil, serta pengembangan budi daya lobster di dalam negeri
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus melakukan perbaikan tata kelola lobster melalui berbagai cara dan upaya. Salah satunya, melalui pemberlakuan sertifikasi cara budi daya ikan yang baik (CBIB) untuk lobster di seluruh Indonesia.
Rencana menerbitkan CBIB untuk budi daya lobster, dilakukan KKP sebagai bentuk penjaminan mutu lobster hasil budi daya. Cara tersebut diharapkan bisa mengokohkan posisi Indonesia sebagai rantai pasokan global (GSC) lobster di masa mendatang.
Penerbitan sertifikat CBIB untuk lobster akan dilakukan oleh Badan Pengendalian dan Pengawasan Mutu Hasil Kelautan dan Perikanan (BPPMHKP) dan bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Perikanan Budi daya (DJPB) KKP.
Kepala BPPMHKP Ishartini mengatakan, pihaknya sudah menyusun standar CBIB yang baik beserta dengan petunjuk teknisnya. Semua itu dilakukan dengan menggandeng DJPB di lokasi-lokasi budi daya lobster.
Menurut dia, penerbitan sertifikat CBIB untuk memastikan bahwa kegiatan budi daya lobster yang sedang berjalan di seluruh Indonesia dilakukan sesuai dengan standar budi daya yang berlaku secara global di seluruh dunia.
“Mulai dari ketelurusan dan mutu benih, infrastruktur budi daya, hingga pakan yang diberikan,” ungkapnya belum lama ini di Jakarta.
Penjaminan mutu lobster yang dilakukan melalui kegiatan budi daya, juga akan memperbesar peluang keberterimaan lobster hasil budi daya di Indonesia. Selain itu, sertfikasi juga bisa mendukung pencapaian target menjadikan Indonesia sebagai pemasok lobster global.
Proses sertifikasi akan dilakukan di setiap lokasi utama budi daya lobster di seluruh Indonesia. Misalnya, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang dikenal sebagai penghasil utama lobster dari alam dan budi daya. Selain itu, NTB juga memiliki unit pelaksana teknis (UPI) BPPMHKP.
“Kami punya UPT di setiap provinsi, di mana lokasi-lokasi budi daya (lobster) berada, misal NTB. Inspektur mutu di UPT siap melakukan sertifikasi cara budi daya ikan yang baik,” tuturnya.
Baca : Harapan Besar dari Transformasi Tata Kelola Benih Lobster Pasca Ekspor ke Vietnam
Kepala Pusat Standarisasi Sistem dan Kepatuhan BPPMHKP Woro NES menyebut kalau penerbitan sertifikat CBIB pada lobster akan mengacu pada standar nasional Indonesia (SNI) mutu benih bening lobster (BBL) yang sedang dikerjakan bersama DJPB.
Nantinya, SNI akan menjadi acuan untuk menentukan apakah BBL memenuhi standar mutu yang berlaku ataukah tidak. Dengan demikian diharapkan itu bisa menjadi dasar dalam penerbitan sertifikasi CBIB kegiatan budi daya lobster.
“Sehingga benih yang dibudidayakan memiliki penjaminan mutu,” ucapnya.
Diketahui, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) diterbitkan sebagai dasar pengelolaan lobster di Indonesia.
Merujuk kepada Permen KP 7/2024, BBL dapat dimanfaatkan untuk kegiatan budi daya di dalam dan di luar negeri. Namun, untuk luar negeri bisa dilakukan dengan persyaratan ketat, salah satunya investor dari luar negeri tersebut harus lebih dulu melakukan budi daya lobster di Indonesia.
Pengelolaan Lobster Berkelanjutan
Direktur Jenderal Perikanan Budi daya KKP Tb Haeru Rahayu berkomitmen untuk terus mengawal kebijakan pengelolaan lobster yang tengah dijalankan saat ini di Indonesia. Komitmen tersebut menjadi bagian dari upaya menjaga keberlanjutan pemanfaatan sumber daya lobster bagi pembudi daya, nelayan penangkap, dan masyarakat pesisir.
Adapun, fokus utama pengaturan yang ada dalam Permen KP 7/2024 adalah melaksanakan pengelolaan lobster yang berkelanjutan, dan memastikan kebermanfaatan sumber daya BBL bagi nelayan kecil, serta pengembangan budi daya lobster di dalam negeri.
“Lahirnya regulasi ini sebagai momentum untuk optimalisasi pengelolaan lobster di Indonesia,” tuturnya.
Baca juga : Benih Bening Lobster: KKP Luncurkan Sistem Baru untuk Awasi Tata Kelola
Bukan itu saja, kehadiran Permen KP 7/2024 juga menjadi momen bagi Indonesia untuk bisa mengembangkan budi daya lobster. Salah satunya, melalui proses alih teknologi budi daya lobster dengan mengundang investor atau pelaku usaha yang mempunyai pengalaman dan reputasi yang hebat.
Sekretaris DJPB KKP Gemi Triastutik menguatkan pernyataan Tb Haeru Rahayu tentang pentingnya kehadiran Permen KP 7/2024 untuk tata kelola lobster. Kehadiran regulasi itu, diyakini akan bisa mendorong pengembangan lobster dalam negeri lebih baik lagi, dengan dukungan implementasi teknologi budi daya lobster yang telah dikembangkan di luar negeri.
Menurutnya, dalam melaksanakan penerapan regulasi tata kelola lobster melalui Permen KP 7/2024, diperlukan dukungan dan sinergi yang bagus dari para pihak yang berkaitan. Sebut saja, pelaku usaha perikanan, pemerintah daerah, dan pihak swasta.
“Dukungan dan pengawalan dari kementerian/lembaga terkait seperti dari Badan Karantina Indonesia, Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, serta Kementerian Perdagangan,” bebernya.
Dia melanjutkan, kehadiran regulasi tata kelola lobster yang baru juga diharapkan bisa mewujudkan pengelolaan kegiatan budi daya lobster lebih baik, dengan mendorong penerapan regulasi berjalan maksimal. Mencakup dari sisi penangkapan BBL, pembudi dayaan lobster, hingga sistem pengawasan pemanfaatan.
Kepala Balai Layanan Umum Balai Perikanan Budi daya Air Payau (BLU BPBAP) Situbondo Boyun Handoyo menjelaskan secara rinci tentang implementasi pengelolaan BBL merujuk kepada Permen KP 7/2024 yang berlaku sekarang.
Menurut dia, BLU mendapatkan BBL dari nelayan kecil terdaftar dalam koperasi/kelompok usaha bersama (KUB) berbadan hukum, dan memenuhi persyaratan teknis seperti Surat Keterangan Asal (SKA) dari dinas kabupaten/kota dan Surat Keterangan Sehat (SKS) dari yang berwenang.
Atau, BLU bisa mendapatkan BBL dari pasokan yang berasal dari koperasi/KUB yang sudah memiliki kuota penangkapa BBL. Namun, proses tersebut tetap memastikan BBL sudah memenuhi ketentuan tentang standar minimum yang berlaku.
Baca juga : Pertama di Indonesia, Teluk Jukung Lombok Timur ditetapkan Jadi Sentra Budidaya Lobster
Sebagai salah satu provinsi penghasil lobster yang besar, NTB akan berperan sangat penting dalam proses perbaikan tata kelola lobster di Tanah Air. Hal itu diakui oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB Muslim sekaligus mengapresiasi regulasi terbaru itu.
Baginya, Permen KP 7/2024 membawa harapan baru dalam pengelolaan lobster di Indonesia, karena bisa memberikan gambaran secara utuh dan detail dalam pengelolaan lobster. Mulai dari proses penangkapan, pembudidayaan, hingga pemasaran.
“Diharapkan bisa terwujud harapan kita semua, yaitu meningkatnya kesejahteraan nelayan dan pembudidaya lobster, serta pengembangan pembudidayaan lobster,” ungkapnya.
Penyederhanaan Aturan BBL
Tentang mekanisme penetapan nelayan dan pembagian kuota BBL, KKP juga sudah mempertimbangkannya dengan melaksanakan penyederhanaan yang meliputi persyaratan dokumen permohonan, dan perubahan jangka waktu penetapan kelompok nelayan, berikut kuotanya.
Selain itu, penyederhanaan juga mencakup proses penetapan otomatis melalui Sistem Informasi Pengelolaan Lobster Kepiting dan Rajungan (SILOKER). Itu berlaku jika jangka waktu penetapan yang ditentukan telah terlewati.
Penyederhanaan proses menjadi upaya Pemerintah untuk mewujudkan tata kelola BBL yang lebih baik, dengan fokus menjaga keberlanjutan sumber daya lobster, dan meningkatkan kesejahteraan nelayan yang berprofesi sebagai penangkap BBL.
Hal itu diungkapkan oleh Direktur Pengelolaan Sumber daya Ikan KKP Ridwan Mulyana belum lama ini di Jakarta. Menurutnya, latar belakang diterbitkannya regulasi baru untuk tata kelola lobster nasional, didasarkan pada penemuan dinamika dan tantangan di lapangan masih terus terjadi.
“Evaluasi terus dilakukan, sehingga terbit regulasi terbaru,” jelasnya.
Sebelum ditetapkan nelayan penangkap BBL, KKP memberlakukan kepemilikan nomor induk berusaha (NIB) kepada setiap nelayan yang mengajukan. Juga, diwajibkan untuk terdaftar dalam sistem online system submission (OSS), dan tergabung dalam kelompok nelayan.
Selanjutnya, kelompok nelayan tersebut mengusulkan penetapan kelompok dan permohonan kuota BBL ke dinas kelautan dan perikanan (DKP) provinsi, setelah sebelumnya mendapatkan rekomendasi dari DKP kabupaten/kota.
Jika proses tersebut disetujui, maka DKP provinsi akan menetapkan kuota per kelompok nelayan. Namun, jika ternyata setelah lewat dari tiga hari dan permohonan tersebut masih belum juga diproses oleh DKP provinsi, maka permohonan akan ditetapkan secara otomatis melalui aplikasi SILOKER.
Merujuk pada data SILOKER, Ridwan menyebut kalau sudah ada 64 kelompok nelayan yang berstatus terdaftar dengan 3.208 orang nelayan penangkap BBL. Sementara, kuota BBL yang telah terdistribusi sebanyak 31.620.625 ekor.
Penyederhanaan mekanisme tertuang dalam Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap No 28 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Keputusan DJPT No 19 Tahun 2024 tentang Mekanisme Penetapan Nelayan & Pembagian Kuota Penangkapan Benih Bening Lobster (puerulus) oleh Provinsi kepada Nelayan.
Baca juga : Penyelundupan Benih Lobster Tetap Marak
Rantai Pasokan Global Lobster
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono sebelumnya mengatakan kalau perubahan tata kelola BBL bertujuan untuk membangun Indonesia sebagai rantai GSC komoditas lobster dunia, sekaligus meningkatkan penerimaan negara bukan pajak dari sumber daya alam (PNBP SDA).
Upaya untuk meningkatkan peran dan posisi Indonesia di pasar dunia, juga dilakukan melalui kerja sama dengan Vietnam. Kerja sama itu sudah diterapkan di Jembrana, Bali dengan melaksanakan kegiatan budi daya lobster pada tahap pemeliharaan selama tiga bulan.
Sistem budi daya lobster di Jembrana dilaksanakan dengan mengadopsi teknik yang diterapkan di Vietnam, yaitu penggunaaan kerangkeng dan pemeliharaan pada kedalaman 15 hingga 20 meter. Kemudian, dilakukan ekstra penanganan BBL, penyegaran kembali, seleksi dan kontrol kualitas BBL dari nelayan di Instalasi Karantina Ikan, sebelum ditransportasikan lagi pada unit budi daya.
Trenggono menjelaskan, beberapa kemajuan budi daya telah dilaksanakan bersama, di antaranya transfer teknologi manajemen budi daya lobster melalui pengembangan prosedur operasi standar (SOP) pemeliharaan lobster yang diterapkan di Vietnam dan diadopsi di Indonesia.
Semua proses yang sedang dijalani itu, diharapkan bisa mengurangi nilai risiko kematian dan sekaligus bisa meningkatkan kelangsungan hidup lobster yang sedang dilakukan budi daya di Indonesia. Harapannya, akan terjadi perbaikan tata kelola lobster di Indonesia.
Transformasi tata kelola BBL dilakukan Pemerintah Indonesia, adalah karena aktivitas penyelundupan masih terus terjadi setiap waktu. Kegiatan melanggar hukum itu, terjadi di sejumlah titik lokasi dan berubah-ubah seperti menghindari kejaran dari pihak kepolisian.
Salah satu upaya keras untuk menghentikannya, adalah dengan membuka kembali keran ekspor BBL melalui Permen KP 7/2024 yang resmi diundangkan pada 21 Maret 2024. Kegiatan tersebut boleh dilakukan dengan mewajibkan syarat yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha.
Syarat itu adalah sertifikat kesehatan, surat keterangan asal benih bening lobster dari badan layanan umum yang membidangi perikanan budi daya, serta telah membayar pungutan sumber daya alam dan/atau penerimaan negara bukan pajak.
Trenggono mengatakan, pihaknya memilih opsi pembukaan kembali jalur ekspor untuk BBL, adalah karena saat pelarangan dilaksanakan masih ada kegiatan penyelundupan yang tidak terdeteksi dan itu terjadi lebih dari satu lokasi.
Padahal, dengan nilai ekonomis yang tinggi, negara mengalami kerugian yang tidak sedikit. Hal itu, karena diyakini ada banyak penyelundupan yang tidak terdeteksi. Walaupun, negara berjuang keras untuk melakukan penggagalan upaya penyelundupan dan ada yang berhasil.
“Karena itu kita buka lagi (keran) ekspor. Biar BBL bisa berkontribusi pada ekonomi nasional,” ungkapnya.
Baca juga : Penyelundupan 795 Ribu Benih Lobster Digagalkan
Pembukaan kembali jalur ekspor ke Vietnam, dilakukan hanya melalui jalur antar Pemerintah alias Government to Government (G2G). Cara tersebut ditempuh untuk mengendalikan perdagangan BBL dan sekaligus mendapatkan PNBP.
Kebijakan pembukaan ekspor ke Vietnam itu, juga diharapkan bisa memberi peluang terbaik dalam praktik bisnis lobster. Oleh karenanya, pelaku usaha budi daya dari Vietnam menanamkan investasinya di Indonesia.
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran (FPIK Unpad) Yudi Nurul Ihsan mengakui kalau kebijakan yang diterbitkan dan dikelola kepemimpinan KKP saat ini menjadi lebih baik dibandingkan kepemimpinan sebelumnya.
Utamanya, adalah kebijakan dalam budi daya perikanan yang dinilai sudah menjadi terobosan yang sangat baik. Subsektor perikanan budi daya dinilai memerlukan berbagai terobosan karena akan menjadi masa depan perikanan Indonesia.
“Untuk memenuhi kebutuhan pangan, pertumbuhan ekonomi, maupun sebagai solusi menjaga keberlanjutan ekosistem laut,” terangnya.
Menurutnya, mengembangkan budi daya perikanan, khususnya lobster memiliki tantangan yang rumit. Namun, dengan belajar kepada Vietnam yang sukses mengembangkan budi daya lobster, diharapkan itu bisa menjadi solusi untuk jangka panjang. (***)