- Nyamuk mendeteksi manusia melalui karbon dioksida, bau keringat, dan tanda visual
- Nyamuk betina menggigit manusia untuk menghasilkan telur yang sehat
- Penelitian terbaru mengkonfirmasi bahwa nyamuk Aedes aegypti menggunakan panas inframerah untuk menemukan dan menggigit manusia
- Para peneliti berharap, penemuan itu dapat meningkatkan cara kita menekan populasi nyamuk, misalnya membuat perangkap nyamuk panas inframerah.
Dalam cahaya remang atau bahkan gelap gulita, nyamuk bisa menemukan dan menggigit kulit manusia. Bagaimana nyamuk mengenali bidang pendaratannya adalah kulit yang menyembunyikan darah segar, cairan favoritnya?
Kini para ilmuwan semakin mengerti fenomena unik ini.
Baik nyamuk jantan maupun betina, keduanya sama-sama menjengkelkan karena suka mengerumuni manusia. Namun hanya nyamuk betina yang menggigit manusia dan mengisap darah. Mereka lakukan itu untuk menghasilkan telur yang sehat. Sementara nyamuk jantan memilih makan nektar dan tanaman yang mengandung gula.
Sebelumnya ilmuwan telah mengetahui bahwa nyamuk mendeteksi keberadaan manusia melalui karbon dioksida yang dikeluarkan lewat napas, bau keringat, juga tanda visual. Oleh nyamuk semua isyarat ini kemudian diramu bersama-sama. Jika hanya mengandalkan satu isyarat, nyamuk belum tentu bisa membedakan manusia dengan target lainnya.
Namun masih menjadi tanda tanya bagi ilmuwan, bagaimana nyamuk bisa menemukan manusia dalam jarak yang cukup jauh, bahkan dalam kondisi tanpa cahaya.
Beberapa binatang seperti ular, diketahui memiliki kemampuan merasakan panas mangsanya dalam rentang spektrum inframerah. Para peneliti pun bertanya-tanya, apakah nyamuk seperti Aedes aegeypti dibekali kemampuan yang sama?
Baca : Suhu Makin Panas, Gigitan Nyamuk ‘Aedes Aegypti’ Makin Sering
Kombinasi Kemampuan Nyamuk
Sejumlah peneliti baru-baru ini mengonfirmasi bahwa nyamuk Aedes aegypti menggunakan panas inframerah untuk menjejak keberadaan manusia. Laporan penelitian mereka dimuat dalam jurnal Nature, Agustus, 2024.
Dalam penelitian itu mereka membuat kandang khusus berisi 80 nyamuk betina di dalamnya. Mereka menguji keaktifan nyamuk dalam mendeteksi mangsa dengan cara memberikan isyarat tertentu satu demi satu. Dimulai dengan memberikan karbon dioksida, lalu bau manusia.
Ketika mereka menambahkan cahaya inframerah dengan suhu 34 derajat celsius, nyamuk ternyata lebih aktif dua kali lipat dibanding saat diberi isyarat karbon dioksida atau bau manusia saja.
Telah diketahui bahwa Aedes aegypti paling aktif menjelang fajar dan senja. Pada waktu tersebut, suhu lingkungan berubah lebih rendah daripada suhu target. Peneliti menemukan, keberadaan panas inframerah semakin memudahkan nyamuk menemui target saat suhu lebih hangat dibanding lingkungan sekitar.
Peneliti juga mengukur berapa jarak efektif yang dipakai nyamuk untuk sampai ke target. Nyamuk juga menggunakan jejak panas yang merambat lewat udara. Jarak idealnya diketahui kurang dari 10 sentimeter. Sementara untuk panas inframerah jaraknya tentu lebih jauh. Setelah melakukan beberapa percobaan, diketahui jarak ideal isyarat inframerah bagi nyamuk adalah 70 sentimeter.
Sensor penjejak panas inframerah pada nyamuk ada pada ujung antenanya. Saat peneliti dengan sengaja menghilangkan antena, nyamuk kehilangan kemampuan untuk mendeteksi panas inframerah. Selain itu, telah diketahui bahwa ada protein khusus yang peka terhadap suhu di ujung antena. Peneliti membuktikan bahwa hewan yang tidak memiliki protein ini juga tidak dapat mendeteksi panas inframerah.
Baca juga : Dampak Perubahan Iklim, Risiko Penularan Penyakit oleh Nyamuk Meningkat
Para peneliti berharap, penemuan itu dapat meningkatkan cara kita menekan populasi nyamuk. Misalnya, seperti mengutip rilis dari Universitas California, kita dapat membuat perangkap nyamuk lebih efektif dengan memanfaatkan panas inframerah.
Temuan ini juga bisa menjelaskan mengapa pakaian longgar sangat baik dalam mencegah gigitan. Pakaian longgar selain bisa menghalangi nyamuk mencapai kulit, juga memungkinkan jejak inframerah menjadi kabur di antara kulit dan pakaian yang pada akhirnya akan menyulitkan nyamuk untuk mendeteksinya.
Dalam penelitian yang dilakukan sebelumnya, diketahui nyamuk Aedes aegypti yang aktif di siang hari dan nyamuk Anopheles coluzzi yang menggigit pada malam hari ternyata merespon secara berbeda cahaya ultraviolet. Penelitian yang dipublikasikan pada 2020 itu menjelaskan bahwa nyamuk yang menggigit pada siang hari tertarik pada cahaya siang hari apapun spektrumnya. Sementara, nyamuk yang menggigit pada malam hari secara khusus menghindari sinar ulraviolet dan cahaya biru.
Dengan memahami respon nyamuk terhadap cahaya dan panjang gelombang, kita dapat mengembangkan cara pengendalian nyamuk yang ramah lingkungan.
Baca juga : Kenanga, Penebar Wangi Alami dan Pengusir Nyamuk Demam Berdarah
Nyamuk Pembawa Penyakit
Meski terlihat lemah, jangan remehkan makhluk mungil ini. Dengan panjang kurang dari setengah sentimeter, berat tak lebih dari 2,5 miligram, lewat gigitannya bahkan nyamuk bisa menyebabkan kematian manusia.
Nyamuk Aedes aegypti diketahui menjadi perantara penyebaran virus dengue, penyebab penyakit demam berdarah. Selain virus dengue, spesies ini juga dapat membawa virus zika, chikungunya, dan demam kuning.
Menurut WHO, di seluruh dunia saat ini ada lebih dari 7,6 juta kasus demam berdarah. Dari angka itu sebanyak lebih dari 3000 kasus berakhir dengan kematian. Data dikumpulkan dari Januari hingga April saja.
Bersama sejumlah negara Afrika, Indonesia menjadi salah satu negara dengan kasus demam berdarah tertinggi. Pada 2024, di Indonesia terdapat 88.593 kasus, dan 621 kematian akibat demam berdarah.
Nyamuk berbahaya lainnya adalah Anopheles, yang menyebarkan parasit plasmodium penyebab penyakit malaria. Data WHO pada 2022 mencatat ada 249 juta kasus malaria di seluruh dunia, dengan 608 ribu di antaranya berakhir dengan kematian. (***)
Bagaimana Jika Nyamuk Punah dari Planet Bumi? Apa yang akan Terjadi?