- Amransyah, seorang petani yang mengabdikan hidupnya untuk konservasi, dengan menjaga satwa endemik, khususnya Gosong Sula (Megapodius bernsteinii), di sekitar hutan di Desa Patukuki, Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah.
- Di sekitar tempat itu terdapat banyak satwa-satwa endemik yang akhirnya hilang karena habitat mereka terganggu dengan adanya aktivitas berkebun dengan cara tebas bakar. Di sana ada tarsius, burung hantu banggai (Banggai scops owl/Otus mendemi), cekakak merah (Halcyon coromanda) dan gosong sula (Megapodius bernsteinii).
- Gosong sula yang paling terancam, mungkin tersisa hanya sepasang di Patukuki. Itu pun sulit ditemui karena burung ini tinggal di lokasi yang terisolasi. Selain perburuan untuk konsumsi, gosong sula juga terancam oleh pembukaan lahan untuk perkebunan, di mana warga biasa membabat dan membakar hutan.
- Amran banyak menanam pala di lahan-lahan yang juga dijaganya tanpa harus melakukan pembukaan lahan. Ia sekaligus menjadikan kebun palanya sebagai percontohan bagi petani lain.
Hujan deras menyambut kami di Desa Patukuki, Kecamatan Peling Tengah, Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, di pertengahan Juli lalu.
Di sebuah pondok petani di pinggir jalan raya, yang sekelilingnya adalah hutan, Amransyah (35 tahun) merapikan bibit-bibit tanaman yang berserakan karena terpaan hujan. Dari luar, pondok itu tampak tersembunyi. Memasuki gerbang pekarangan rumah, terlihat kebun kecil yang rimbun, salah satu sudutnya bertebaran bibit berbagai macam tanaman.
Amransyah baru saja pulang dari kebun pala yang tak jauh dari rumah pondok itu. Setelah membersihkan lahan palanya yang akan segera panen, ia menyempatkan diri mengumpul dan membelah puluhan kelapa yang siap dijual dalam bentuk kopra.
Amransyah adalah petani sekaligus penggiat konservasi di Banggai Kepulauan. Pondok dan sejumlah lahan sekitarnya adalah lahan warga yang ia beli untuk kebutuhan konservasi. Tak banyak yang ia ubah dari lahan-lahan, malah dibiarkan tumbuh liar. Di sela-sela pohon ia berkebun tanpa harus menebas pohon atau membakar lahan sebagaimana kebiasaan warga selama ini.
“Agak susah hutan ini dikonservasi kalau masih milik warga, satu-satunya jalan harus dibeli. Tidak sekaligus, kalau ada terkumpul beli lagi. Sudah ada beberapa lokasi yang saya beli, termasuk kebun di sekitar sungai yang mau ditanami mangrove,” katanya.
Baca : Julang Sulawesi, Jenis Burung yang Selalu Setia pada Pasangannya

Kekhawatiran Amran beralasan. Di sekitar tempat itu terdapat banyak satwa-satwa endemik yang akhirnya hilang karena habitat mereka terganggu dengan adanya aktivitas berkebun dengan cara tebas bakar. Di sana ada tarsius, burung hantu banggai (Banggai scops owl/Otus mendemi), burung cekakak merah (Halcyon coromanda) dan burung gosong sula (Megapodius bernsteinii).
Burung gosong sula bahkan kini tersisa sepasang, lokasinya jauh dari pemukiman. Gosong sula mirip ayam, dari segi postur maupun rasanya, warga menamainya manuk ponggo atau kailong sehingga banyak diburu untuk kebutuhan konsumsi. Burung ini juga sulit berkembang karena telurnya terancam predator lain selain manusia, yaitu biawak atau kumbosu. Kumbosu ini kalau di sini menjadi simbol korupsi, bukan tikus, karena semuanya dimakan.
“Gosong sula yang paling terancam, mungkin tersisa hanya sepasang di Patukuki, itu pun sulit ditemui karena burung ini tinggal di lokasi yang terisolasi, yang untuk mencapainya istilahnya ‘muka ketemu lutut’,” lanjutnya.
Ancaman lain bagi gosong sula adalah pembukaan lahan untuk perkebunan, di mana warga biasa membabat dan membakar hutan.
Sementara burung hantu, ada dua jenis yaitu celepuk Otus mendeni yang bahasa lokalnya kolu dan satunya lagi burung hantu yang lebih besar disebut kas. Meski tidak diburu, namun mengalami keterancaman karena aktivitas pembukaan lahan untuk kebun. Serangga berkurang, begitu pun tikus ekor putih, makanan utamanya, mulai berkurang karena diburu untuk dikonsumsi.
Baca juga : Maleo, Burung Endemik Sulawesi Yang Masih Menyisakan Teka Teki

Awal Mengkonservasi Burung
Amransyah mulai mengenal dunia konservasi sejak tahun 2017. Setelah selesai di jurusan pemerintahan FISIP Universitas Tadulako, Kota Palu, ia pulang kampung dan memulai aktivitasnya sebagai anggota kelompok sadar wisata (pokdarwis), mengelola wisata pesisir di desanya dan desa tetangga, Koyobunga.
“Dulu awalnya ikut kegiatan tanam-tanam mangrove, lalu ikut kegiatan ekowisata pesisir, terlibat di pokdarwis. Menanam mangrove juga tantangannya ketika lahan pesisir diklaim milik warga sehingga tidak menjamin keberlanjutan mangrove. Dari sini terus berproses belajar dari pengalaman-pengalaman,” katanya.
Di saat begitu banyak ide-ide berkelebat di kepalanya, lembaga Burung Indonesia datang dengan program-program yang ternyata sejalan dengan mimpinya selama ini. Seperti gayung bersambut, ia menangkap peluang itu. Secara pribadi bersama tiga pemuda lainnya mulai terlibat kegiatan-kegiatan Burung Indonesia.
“Kehadiran Burung Indonesia membawa cakrawala baru bagi saya pribadi. Saya banyak belajar tentang satwa-satwa dan flora penting, banyak dikasih bahan-bahan bacaan tentang nama-nama latin burung dan satwa lainnya, belajar pemetaan, dan banyak lagi.”
Dampak paling terasa dari kehadiran Burung Indonesia, menurut Amransyah adalah munculnya kesadaran bagi masyarakat. Mereka mulai paham tentang pentingnya menjaga sejumlah satwa yang dulunya diburu untuk dikonsumsi, atau bagaimana menjaga hutan untuk keberlangsungan flora dan fauna di dalamnya.
“Perburuan berkurang dan orang bisa saling mengawasi. Tak ada lagi yang berani datang berburu sekitar sini.”
Pemberdayaan lewat Ekowisata
Menurut Amransyah, di dua desa di Kecamatan Peling Tengah, yaitu Desa Patukuki dan Koyobunga, program Burung Indonesia fokus pada pengembangan ekowisata dan agrowisata. Meskipun ada juga program-program lain yang dijalankan, seperti tata guna lahan dan penetapan tapal batas desa, agroforestry dan permakultur.
Mereka juga melakukan monitoring hutan yang dijadikan kawasan lindung. Ada pelatihan bagaimana menggunakan lahan bertanam di dalam hutan berkebun dalam hutan, tak perlu pembukaan lahan yang besar.
Pengembangan ekowisata dilakukan dengan memanfaatkan potensi yang ada, berupa kawasan hutan dan pesisir. Untuk wisata di dalam kawasan hutan, mereka kembangkan melalui berjalan-jalan di kawasan hutan untuk melihat dan mendengar suara-suara burung. Ada air terjun untuk permandian, wisata susur sungai yang masih dalam tahap pengembangan.
Amransyah juga mengajak wisatawan untuk makan buah-buahan baik dari hutan ataupun kebun warga. Buah-buah tersedia di musim-musim tertentu adalah durian, manggis, dan langsat.
Baca juga : Maleo dan Prioritas Utama Konservasi di Sulawesi

Untuk wisata pengamatan burung atau bird watching sendiri tidak ada bangunan dan alat khusus yang disediakan. Wisatawan yang datang biasa bawa kamera dan teropong sendiri. Hanya saja, lokasi untuk bird watching ini hanya ada di lokasi dan waktu tertentu.
Untuk promosi wisata, Amransyah menggunakan media sosial berupa facebook dan instagram dengan nama Lasa. Sudah banyak wisatawan yang berkunjung, bahkan ada dari Bali dan Perancis. Meskipun belum ada paket wisata yang ditawarkan, pengunjung yang menginap akan dikenakan tarif Rp150 ribu/orang/hari. Mereka bisa menginap di pondok ataupun rumah warga.
Untuk agroforestry selain menyelenggarakan pelatihan, Burung Indonesia juga memberikan bantuan bibit alpukat dan pala. Amransyah dan tiga orang lainnya juga melakukan pembibitan sendiri. Untuk tanaman pala, mereka diajari cara menyambung pala yang ternyata memiliki kerumitan tersendiri.
Kini Amransyah banyak menanam pala di lahan-lahan yang juga dijaganya tanpa harus melakukan pembukaan lahan. Ia sekaligus menjadikan kebun palanya sebagai percontohan bagi petani lain. (***)