- Selama bertahun-tahun Indonesia menjadi salah satu negara penghasil ikan hias yang diakui pasar dunia. Tetapi, selama itu pula, Indonesia tidak memiliki data yang pasti tentang ikan hias dan bagaimana penjualannya di pasaran
- Ketidakpastian data itu, ternyata juga terjadi di seluruh dunia dan itu berdampak kepada negara-negara produsen ikan hias yang berjaya di pasar internasional. Tanpa data yang jelas, negara produsen tidak bisa melakukan kegiatan konservasi yang tepat sasaran
- Kondisi itu dinilai mengkhawatirkan, karena bisa memicu terjadinya kesalahan identifikasi akibat cara yang berbeda-beda dilakukan oleh setiap negara. Bahkan, dalam satu negara pun, pengumpulan data pun menghasilkan data yang berbeda
- Supaya tidak semakin meluas perbedaan identifikasi, perlu dilakukan koreksi terhadap data yang ada saat ini dan kemudian memberikan penegasan atas data mutakhir tersebut. Caranya, dengan melakukan identifikasi langsung dari berbagai jenis spesimen yang diperdagangkan
Ikan hias laut adalah salah satu komoditas andalan dengan nilai ekonomi yang tinggi. Sejak lama, Indonesia sudah memanfaatkan biota laut itu sebagai bagian dari pengembangan ekonomi nasional. Melalui jalur ekspor, para pecinta ikan hias global bisa mendapatkan spesies dari Indonesia.
Tetapi, ikan hias laut atau marine ornamental fish (MOF) sedang menjadi perbincangan publik dunia saat ini. Sebabnya, karena masih belum ada data MOF yang pasti, baik di Indonesia ataupun yang sedang diperdagangkan di pasar dunia.
Ketiadaan ada data yang pasti, merujuk hasil kajian yang dilakukan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) dan UN Environment Programme World Conservation Monitoring Centre (UNEP-WCMC), yang menyebut ada 1.764 spesies MOF yang diperdagangkan di dunia saat ini.
Namun, data tersebut berbeda dengan yang dipublikasikan oleh The Ornamental Aquatic Trade Association (OATA) dan Ornamental Fish International (OFI) yang melaporkan ada 1.040 spesies sudah diperdagangkan di pasar dunia.
Sedangkan, International Union for Conservation of Nature (IUCN) menyebut kalau MOF yang diperdagangkan di dunia mencapai 2.682 spesies. Terakhir, lembaga dan pakar lainnya menyebut ada sekitar 258-2.667 spesies MOF yang ada dalam perdagangan global.
Upaya untuk memetakan data MOF, sudah mulai dilakukan oleh Indonesia yang berperan sebagai salah satu produsen MOF besar di dunia. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama Lembaga Pengelola Dana Pendidikan Kementerian Keuangan (LPDP Kemenkeu) RI melaksanakan proyek riset bernama Indonesia Marine Ornamental Fishes in New Paradigm (Indonesia Mantap).
Ketua Kelompok Riset Iktiologi pada Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN Kunto Wibowo mengakui kalau sampai saat ini data MOF masih sulit untuk diakses. Kondisi itu terjadi di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Agar persoalan itu bisa dipecahkan, para ahli di seluruh dunia secara aktif melakukan berbagai pendekatan untuk mendapatkan data jenis dan volume perdagangan MOF. Tujuannya, agar dunia bisa menetapkan langkah prioritas untuk konservasi dan manajemen MOF.
“Hasilnya, bisa benar, bisa juga salah. Namun harapannya bisa mendekati,” ungkapnya belum lama ini di Jakarta.
Baca : Sebesar Apa Potensi Ekonomi Ikan Hias di Indonesia?
Koreksi Data Ikan Hias Laut
Walau belum ada kepastian data, namun Indonesia sudah berupaya untuk memetakan pemanfaatan MOF untuk diperdagangkan. Kegiatan tersebut dilakukan Yayasan LINI dan pihak asosiasi eksportir ikan hias (Asosiasi Koral, Kerang, dan Ikan Hias Indonesia – AKKII dan Indonesia Ornamental Fish Exporters Association – INOFE).
Hasilnya, pendataan mencatat sebanyak 616 spesies MOF diperdagangkan Indonesia di pasar global. Tetapi, merujuk hasil kajian CITES dan UNEP WCMC, Indonesia disebutkan sudah memasarkan sebanyak 1.175 spesies atau sekitar 62 persen dari total spesies MOF yang diperdagangkan dunia.
Tentang perbedaan data MOF Indonesia dengan hasil kajian dari CITES-UNEP WCMC, Kunto mengatakan itu bisa terjadi karena ada kesalahan identifikasi. Hal itu, karena selama ini pelaku perdagangan MOF melakukan identifikasi menggunakan foto atau gambar.
“Bukan melalui pengamatan dan pengukuran spesimen,” ucap taksonom yang sejak 2010 fokus meneliti biodiversitas ikan laut itu.
Adanya perbedaan identifikasi itu, memungkinkan terjadi perbedaan hasil pendataan. Bisa saja, dua spesies berbeda kemudian dihitung menjadi satu spesies yang sama, yang berarti terjadi pengurangan. Atau, satu spesies dihitung menjadi dua spesies berbeda, sehingga terjadi penghitungan ganda.
Supaya tidak semakin meluas perbedaan identifikasi, dia mengusulkan perlunya dilakukan koreksi terhadap data yang ada saat ini dan kemudian memberikan penegasan atas data mutakhir tersebut. Caranya, dengan melakukan identifikasi langsung dari berbagai jenis spesimen yang diperdagangkan.
“Di sinilah bidang ilmu biosistematika bekerja,” sebutnya.
Baca juga : Pemerintah Percepat Peta Jalan Industri Ikan Hias Nasional
Tanpa ada upaya melaksanakan koreksi hasil identifikasi pada semua jenis spesies MOF yang diperdagangkan, khususnya dari Indonesia, maka ada potensi buruk yang akan berdampak pada kebijakan konservasi MOF di masa mendatang.
Itu berarti, tanpa ada koreksi dan klarifikasi, maka akan terjadi kesalahan juga dalam prioritas konservasi dan manajemen MOF. Hal itu akan berdampak bagi para pelaku perdagangan MOF, karena kesalahan data bisa menghentikan perdagangan pada jenis tertentu MOF.
“Misal ikan tidak lagi dapat diperdagangkan karena statusnya terancam punah, padahal melimpah di alam. Spesies hingga level genetik merupakan unit terkecil dalam upaya konservasi atau manajemen,” terangnya.
Kunto Wibowo yang menjadi Ketua Tim Indonesia Mantap mengatakan kalau kegiatan riset yang dilakukan bersama, menjadi bentuk keseriusan Indonesia untuk memperbarui status biodiversitas. Selain itu, riset juga bertujuan mencari valuasi perdagangan, dan memetakan kondisi sosial ekonomi perdagangan MOF.
Hasil dari riset tersebut, akan menjadi dasar pemetaan masalah dan merumuskan arah kebijakan pengelolaan, dan perdagangan MOF di Indonesia. Dengan demikian, tak hanya kajian biodiversitas saja, namun ada hasil riset sosial ekonomi para pelaku perdagangan MOF.
Dia memaparkan kalau kegiatan riset tersebut akan dimulai dari koleksi spesimen, preparasi spesimen, dokumentasi, koleksi asam deoksiribonukleat (DNA), identifikasi spesies berdasarkan morfologi atau molekuler, dan penyimpanan koleksi MOF di Museum Zoological Bogoriense.
“Sampai publikasi untuk pengembangan ilmu pengetahuan ke depan,” jelasnya.
Baca juga : Melihat Perempuan Tejakula Menjodohkan Ikan Hias
Pelibatan Masyarakat
Khusus riset tentang sosial ekonomi, Kunto mengungkap kalau itu akan dilakukan kajian tentang permasalahan mata pencaharian para pelaku usaha, pemetaan pengetahuan nelayan terhadap kondisi sumber daya, musim penangkapan, dan regulasi, termasuk nilai perdagangan MOF di Indonesia.
Agar pembaruan data MOF bisa berjalan baik, dia mengharapkan seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dalam perdagangan MOF di Indonesia bisa ikut bergerak bersama untuk mendukung inisiatif ini. Gerakan ini akan menjaga kelestarian dan keberlanjutan perdagangan MOF Indonesia di pasar global.
Dia juga berharap, masyarakat Indonesia, termasuk nelayan, pengepul, pecinta ikan, hingga eksportir bisa turut berpartisipasi pada proses pembaruan data. Cara itu mencontoh Jepang yang sukses melibatkan warga pada prosesnya.
Di sana, antusiasme warga terkait pengungkapan jenis ikan sangatlah tinggi, bahkan di tingkat nelayan sekalipun. Saat mereka menemukan ikan yang tidak dikenal, dengan penuh semangat akan segera dibawa ke museum untuk dilakukan identifikasi.
Direktur Sekretariat Kewenangan Ilmiah Keanekaragaman Hayati (SKIKH) BRIN Amir Hamidy menilai kalau persoalan yang terjadi di Indonesia saat ini adalah berkaitan dengan legalitas perdagangan MOF yang dilakukan Indonesia.
Menurutnya, Indonesia adalah salah satu negara pengekspor utama perdagangan MOF dunia, itu karena jenis MOF di Indonesia adalah terbanyak di dunia. Namun, kekayaan itu memang tidak diikuti dengan pendataan yang baik, karena banyak jenis MOF belum diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.60/2007 tentang Konservasi Sumber daya Ikan.
“PP 60 terkait konservasi sumber daya ikan sendiri hanya berlaku pada spesies-spesies dilindungi menurut regulasi nasional maupun apendik CITES saja,” jelasnya.
Baca juga : Cuaca Ekstrem Jadi Kendala Pelaku Usaha Ikan Hias
Status Indonesia di pasar MOF dunia memang sudah jelas sebagai negara eksportir dengan keanekaragaman komoditas perdagangan nomor satu. Merujuk data CITES dan UNEP-WCMC, dari 1764 spesies MOF non-CITES yang diperdagangkan di level internasional, sebanyak 1.175 spesies diantaranya dapat diperoleh dari perairan Indonesia.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia dianugerahi jenis ikan sebanyak 4.899 spesies, dimana 3.706 spesies adalah kategori ikan laut, dan sekitar 500-700 spesies dimanfaatkan untuk ikan hias. Sementara, nilai valuasi ekonomi perdagangan MOF Indonesia seelama periode 2015-2019 diperkirakan mencapai USD33.123.218 atau senilai USD6,6 juta per tahun.
Sebagai pemegang otoritas ilmiah (scientific authority) CITES di Indonesia, BRIN merasakan dilema karena CITES fokus pada perdagangan MOF dunia. Dilema itu dirasakan, karena ada pertentangan antara sisi ekologi dan ekonomi dalam pemanfaatan MOF di Indonesia.
Sisi ekologi menegaskan bahwa CITES diharapkan mampu memperbaiki tata kelola perdagangan MOF dunia. Tetapi dari sisi ekonomi, upaya itu dikhawatirkan akan memengaruhi stabilitas perdagangan MOF Indonesia, di mana itu sudah menjadi sumber mata pencaharian masyarakat pesisir sejak 1962.
Pembudidayaan Ikan Hias Laut
Tentang pengelolaan MOF di Indonesia, Kepala Pusat Riset Perikanan BRIN Fayakun Satria memiliki pandangan lain. Menurutnya, selain pemanfaatan melalui penangkapan di alam, diperlukan juga pendekatan dari sisi budi daya dalam pengelolaan MOF.
“Sehingga pemanfaatan MOF tidak selalu harus bergantung hasil tangkapan alam, namun juga bisa diproduksi dari hasil budi daya,” jelasnya.
Cara pandang tersebut diungkapkan, karena MOF secara umum adalah komoditas komersial yang penting bagi sektor perikanan. Pertimbangan itu juga yang melatarbelakangi BRIN membentuk Kelompok Riset Budidaya Ikan Hias, Tanaman Akuatik dan Coral sejak 2022.
Baca juga : Botia, Si Ikan Hias Eksotik dari Jambi yang Terancam Punah
Fayakun menerangkan, dari banyak spesies MOF yang diperdagangkan di pasar dunia, saat ini sudah terdapat 311 spesies yang berhasil dikembangkan melalui kegiatan budi daya. Jumlah tersebut sama dengan sekitar 18 persen dari total MOF yang diperdagangkan di pasar dunia.
Dari 311 spesies yang sukses dikembangkan lewat budi daya, hanya sebanyak 110 spesies yang umum ditemukan dalam perdagangan dunia. Fakta tersebut diharapkan semakin memotivasi BRIN mengambil peran dan berkontribusi strategis terhadap kelestarian dan kemajuan MOF di Indonesia dan dunia.
Selain faktor data yang tidak sama, persoalan MOF saat ini adalah tentang aktivitas penangkapan di alam yang berlebihan. Kegiatan bersifat eksploitatif itu dikhawatirkan akan mempercepat laju kepunahan berbagai spesies MOF di alam.
Pada ikan-ikan terancam punah, aktivitas bersifat eksploitatif menjadi sangat sensitif dan akan memberikan dampak beresiko tinggi (high risk). Tetapi, jika dikelola dengan bijak, perdagangan MOF akan memberikan manfaat bagi masyarakat dan komunitas lokal.
Nilai Perdagangan Ikan Hias Laut
Berdasarkan catatan yang dirilis oleh UN Comtrade, selama periode 1997 sampai 2016 total nilai perdagangan MOF di seluruh dunia mencapai angka USD17 miliar atau rerata sebesar USD850 juta per tahun.
Oleh OATA dan OFI, kondisi itu menempatkan perdagangan MOF ke dalam Sustainable Development Goals (SDGs) Nomor 1 (No Poverty), 8 (Decent Work and Economic Growth), dan 14 (Life Below Water). Ketiganya kampanyekan UN Department of Economic and Social Affairs (UN DESA).
Isu MOF sendiri sejak 2016 sudah dihembuskan oleh CITES dalam Conference of the Parties ke 17 (CoP17), namun belum masuk dalam agenda pengusulan ke kategori apendik CITES. Kemudian, pada 2019 dan 2022, isu MOF kembali diangkat secara berturut-turut pada CoP18 dan CoP19.
Pada dua gelaran tersebut, berhasil menelurkan rekomendasi untuk segera melakukan workshop teknis yang mempertemukan Animal Committee CITES, perwakilan negara-negara yang menjadi wilayah persebaran MOF, negara eksportir dan importir, stakeholder perikanan, perwakilan industri, organisasi pemerintah, dan NGO (Keputusan CoP nomor 18.296 – 18.298 dan 19.237 – 19.238).
Selanjutnya, pada 7-10 Mei 2024, Sekretariat CITES bekerjasama dengan UNEP-WCMC menggelar Technical International Workshop on Marine Ornamental Fishes dengan untuk membahas prioritas konservasi dan kebutuhan manajemen berkaitan dengan aktivitas perdagangan MOF yang tidak terdaftar dalam CITES (MOF non-CITES).
Perdagangan MOF saat ini kerap dikaitkan dengan ancaman terhadap kelestarian Keanekaragaman Hayati dan kerusakan ekosistem terumbu karang yang menjadi habitat berbagai jenis biota laut, termasuk MOF.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono beberapa waktu lalu mengatakan bahwa Indonesia berhasil menjadi negara eksportir ikan hias terbesar nomor dua di dunia pada 2022, menggeser posisi Singapura dan Belanda.
Capaian itu membuatnya yakin kalau Indonesia akan mampu menjadi eksportir ikan hias terbesar di dunia dalam beberapa tahun ke depan. Mengingat, banyaknya aneka ikan hias endemik yang belum dioptimalkan dengan baik. (***)