- Perajin pinisi atau kapal kayu Sulawesi dari Bulukumba, Sulawesi Selatan mulai sulit mendapatkan bahan baku. Tulisan sebelumnya memceritakan persoalan ini. Juragan pembuat kapal akui kalau kayu-kayu terpaksa mereka datangkan dari daerah lain, seperti Kalimantan, Maluku sampai Papua, terlebih, area yang sedang pembangunan infrastrktur atau bisnis yang gunakan lahan skala besar. Asal kayu pun jadi pertanyaan.
- Riski Saputra, dari Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Sulawesi Selatan mengatakan, bengkel pembuatan kapal Sulawesi di Bulukumba itu bagian kecil dari industri kayu Indonesia dengan bahan baku yang perlu dipertanyakan.
- Gifvents Lasimpo, Direktur Yayasan Kompas Peduli Hutan (Komiu) berpikir hal serupa. Menurut dia, sejak ada perizinan industri ekstraktif di Indonesia Tengah hingga timur membuat pembalakan liar dan penjualan kayu ilegal juga makin marak.
- Modus penjualan kayu ilegal di Sulteng kerap menggunakan dokumen pemegang hak atas tanah (PHAT) dan dokumen ‘terbang’. Praktik ini marak terjadi sejak ada pertambangan nikel dan industri pengolahan nikel. Kayu-kayu dari bukaan lahan lalu dibawa dan dijual ke daerah lain yang memerlukan.
Perajin pinisi atau kapal kayu Sulawesi dari Bulukumba, Sulawesi Selatan mulai sulit mendapatkan bahan baku. Juragan pembuat kapal akui kalau kayu-kayu terpaksa mereka datangkan dari daerah lain, seperti Kalimantan, Maluku sampai Papua, terlebih, area yang sedang pembangunan infrastrktur atau bisnis yang gunakan lahan skala besar. Asal kayu pun jadi pertanyaan.
Bahan-bahan kayu yang mereka gunakan pun sebagian masuk dalam daftar merah menurut IUCN. Misal, ulin (Eusideroxylon zwageri), kayu bitti (Vitex cofassus), eboni (Diospyros celebica Bakh), bayam (Leguminosae) dan kandole (Sapotaceae). Untuk membuat kapal ukuran 200 GT, kebutuhan kayu masing-masing, kayu hitam 50 kubi, kandole 75 kubik, dan bitti untuk lambung 500 pohon.
Riski Saputra, dari Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Sulawesi Selatan mengatakan, bengkel pembuatan kapal Sulawesi di Bulukumba itu bagian kecil dari industri kayu Indonesia dengan bahan baku yang perlu dipertanyakan.
Dalam kasus kayu ilegal dan perdagangan kayu ilegal banyak modus dibuat agar bisnis sampai ke tangan industri kayu, baik yang kecil atau menengah. Industri kayu, katanya, kerap jadi sasaran utama dalam proses penjualan kayu ilegal.
Untuk itu, katanya, perlu ada pengawasan maksimal.
Apa yang dikatakan Riski selaras dengan temuan JPIK melalui laporan mereka berjudul “Menguji Kepatuhan Pemegang Izin Pemanfaatan dan Perdagangan Hasil Hutan Kayu.” Dalam riset itu, JPIK melakukan serangkaian analisis rantai pasok bahan baku industri primer dan pemantauan lapangan periode Oktober 2019-Juni 2020.
Lokasi pemantauan yakni di Aceh, Riau, Bengkulu, Sumatera Selatan, Banten, Jawa Timur, Kalimantan Utara, dan Kalimantan Barat. Delapan provinsi ini, katanya, merupakan daerah yang memiliki industri kayu terbesar di Indonesia. Temuan riset itu menyebut praktik pembalakan liar masih sangat marak.
Pada tingkat hulu, misal, kayu-kayu ilegal tak berlabel V-Legal dengan mudah beredar diangkut keluar-masuk melalui jalur darat maupun air. Bahkan, ada indikasi pelanggaran hukum oleh perusahaan pemegang sertifikasi legalitas kayu (S-LK) maupun perusahaan yang belum bersertifikat masih kerap ditemukan.
Ada juga kelalaian pemenuhan kewajiban pembayaran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang terindikasi dilakukan oknum pemegang izin pemanfaatan kayu (IPK) melalui pemanenan kayu untuk pembukaan perkebunan sawit.
Selain itu, konflik antara pemegang izin pemanfaatan hutan dengan masyarakat lokal atau adat, kerap ditemukan di konsesi pemilik sertifikasi pengelolaan hutan produksi lestari (S-PHPL). Dari praktik terindikasi ada kerjasama pelaku ilegal dengan oknum aparat penegak hukum.
Di hilir, pengekspor produk kehutanan yang ber S-LK ditemukan pakai produk kayu dari perusahaan tak bersertifikat hingga legalitas diragukan.
Ada juga modus tak mencantumkan jenis kayu pada dokumen yang menerangkan sahnya hasil hutan oleh oknum pemilik izin industri. Kayu-kayu yang diperdagangkan pun ada yang masuk dalam daftar Appendix II CITES, tanpa memiliki izin edar dan dokumen khusus.
Meski begitu, kata Riski, para pekerja kapal Sulawesi di Bulukumba ini bukan aktor intelektual dari aksi perdagangan kayu ilegal. Para panrita ini, katanya, hanya masyarakat yang dimanfaatkan.
Dalam kasus pembalakan liar dan perdagangan kayu ilegal, katanya, pemodal atau aktor intelektual adalah orang yang harus bertanggung jawab dan wajib ditindak aparat. Masyarakat, katanya, kerap hanya diperalat.
Cerita pembuat kapal Sulawesi di Bulukumba ini, katanya, harus dilihat sebagai informasi yang perlu ditindaklanjuti, bukan sekadar bahan bacaan.
Senada disampaikan Mustam Atif, Direktur Perkumpulan JURnaL Celebes. Menurut dia, para cukong kerap memanfaatkan masyarakat sekitar hutan untuk melakukan praktik penebangan. Temuan ini didapati ketika pemantauan kayu dan hutan di Sulawesi Selatan pada 2020.
Mustam bilang, para pengusaha dan masyarakat bersimbiosis membalak liar dengan memanfaatkan situasi, ketika intensitas pengawasan hutan menurun karena pembatasan sosial berskala besar (PSBB) COVID-19. Modusnya, masyarakat lokal menebang, para pengusaha yang angkut.
Dalam praktik ini, kata Mustam, terindikasi kuat ada kesepakatan antara penjual dan pembeli untuk saling tutup mulut dengan imbalan kompensasi tertentu. Kalau ada yang tertangkap, katanya, kesepakatan itu sebagai langka menghilangkan jejak dalam mengungkap siapa yang mengajak kerja sama.
Dengan begitu, katanya, masyarakat lokal yang terlibat dalam jual beli kayu memiliki risiko hukum tinggi dibanding pengusaha atau pembeli kayu yang memanfaatkan jasa mereka. Akibatnya, ketika praktik terlarang ini terbongkar, hanya masyarakat lokal ditangkap petugas sebagai tumbal, pengusaha jarang tersentuh hukum.
Dari sembilan kasus penangkapan kayu ilegal yang dicatat JurnaL Celebes selama pandemi, hampir semua yang proses hukum adalah masyarakat yang tertangkap tangan menebang atau mengangkut kayu. Penyelesaian kasus-kasus hukum kayu ilegal belum transparan.
“Kami menduga para pengusaha yang melakukan perdagangan kayu ilegal ini menggunakan pola ‘rantai putus’ untuk menghilangkan jejak mereka, seperti dikenal dalam kejahatan peredaran narkoba,” kata Mustam.
Supintri Yohar, Direktur Kehutanan Auriga Nusantara mengatakan, praktik pembalakan liar dan perdagangan kayu ilegal sedang mengarah ke wilayah timur. Kondisi ini, katanya, karena potensi kayu dan lahan tersisa hanya tinggal berada di wilayah Indonesia bagian tengah dan timur.
Apalagi, kata Supintri, kebijakan pemerintah Indonesia saat ini terkait perizinan usaha komoditas mengarah ke timur. Misal, proyek hilirisasi nikel di Sulawesi dan Maluku, dan proyek sejuta hektar kebun tebu di Merauke Papua Selatan itu mendorong ada perdagangan kayu ilegal.
Argumentasi itu juga selaras dengan data Auriga Nusantara yang menggambarkan deforestasi Indonesia marak terjadi di timur Indonesia. Konsesi kebun kayu, konsesi tambang, hingga konsesi sawit banyak keluar di Indonesia timur, menjadi penyebab utama.
Data Auriga Nusantara akhir Maret 2024 menunjukkan, deforestasi Indonesia pada 2023 mencapai 257.384 hektar, naik dari 230.760 hektar tahun sebelumnya. Ini menunjukkan, deforestasi Indonesia pada 2023 meningkat sekitar 26.624 hektar.
Gifvents Lasimpo, Direktur Yayasan Kompas Peduli Hutan (Komiu) berpikir hal serupa. Menurut dia, sejak ada perizinan industri ekstraktif di Indonesia Tengah hingga timur membuat pembalakan liar dan penjualan kayu ilegal juga makin marak. Fenomena ini banyak terjadi di Sulawesi Tengah (Sulteng).
Modus penjualan kayu ilegal di Sulteng kerap menggunakan dokumen pemegang hak atas tanah (PHAT) dan dokumen ‘terbang’. Praktik ini marak terjadi sejak ada pertambangan nikel dan industri pengolahan nikel. Pembukaan konsesi pertambangan sangat ‘ramah’ dengan praktik terlarang ini.
“Coba kita lihat saja, ketika perusahaan membuka wilayah di konsesi mereka. Pertanyaannya ke mana kayu-kayu yang mereka tebang? Rata-rata mereka menggunakan PHAT untuk menjual kembali kayu ini,” kata Gifvents.
Selain itu, katanya, kayu-kayu yang didapatkan dari pembukaan konsesi wilayah pertambangan ini sering dikirim ke Sulsel dan Surabaya. Ketika sampai di Surabaya, katanya, kayu-kayu itu diduga dikirim ke Eropa menggunakan perusahaan pemegang sertifikasi legalitas kayu (S-LK).
“Coba kita lihat di Sulteng, izin hak pengusahaan hutan itu tidak ada, tapi angka deforestasi itu naik. Ketika kita menelusurinya, ternyata ada praktik modus PHAT yang ikut mendorong deforestasi di Sulteng.”
Padahal, kata Gifvents, pembalakan liar adalah kejahatan luar biasa yang berdampak bukan hanya hilangnya paru-paru Indonesia juga dunia yang mengakibatkan pemanasan global. Sejumlah penelitian menyebut, perusakan hutan pada gilirannya menyumbang hingga 20% emisi karbon global dan memicu pemanasan global.
Dampak lanjutan, katanya, akan terjadi banjir bandang, kebakaran hutan, tanah longsor yang menimbulkan korban baik manusia maupun sumber-sumber ekonomi masyarakat. Negara secara ekonomi pun akan sangat dirugikan dan masyarakat yang bergantung pada hutan akan tergerus.
“Penebangan liar juga menimbulkan kerusakan flora dan fauna serta punahnya spesies langka.”
*******