- Kerusakan alam dari hutan tergerus sampai sungai-sungai tercemar, terjadi pendangkalan bahkan kering berdampak ke tradisi masyarakat yang hidup di sekitar. Seperti tradisi seperti biduak gedang di Jambi, mulai hilang dalam kehidupan masyarakat sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari. Fertival Budaya pun dihelat, dengan salah satu agenda Kenduri Swarnabhumi 2024. Ia sebagai upaya menguatkan kembali nilai-nilai kepedulian masyarakat terhadap alam.
- Tradisi biduak gedang, ritual yang sarat makna sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan alam yang menjadi sumber kehidupan mereka.
- Dulu, setiap tahun, perahu besar yang dikenal sebagai biduak gedang melayari sungai yang menghubungkan desa dengan ladang-ladang jauh di pedalaman. Bagi masyarakat sepanjang Batang Tabir, biduak bukan sekadar alat transportasi, melainkan simbol dari hubungan harmonis antara manusia dan alam.
- Sri Purnama Syam, Kurator Budaya Lokal, menyebutkan, dengan mengangkat budaya akuatik di tengah masyarakat diharapkan membawa memori masa lalu nilai-nilai luhur masa lampau arif dengan alam.
Iringan perempuan, anak-anak dan remaja berjalan cepat dari Sungai Batang Tabir, Jambi. Diringi pantun dan sorak –sorai menuju gelanggang bantai adat. Gelanggang bantai adat, jadi tempat Festival Biduak Gedang angkut padi diadakan. Ia merupakan areal sakral bagi warga Tabir dan Rantau Panjang dalam tradisi menyembelih kerbau dan sapi menyambut puasa.
Ratusan orang, perempuan paruh baya, remaja laki dan perempuan berpartisipasi dalam drama kolosal “Biduak Gedang Angkut Padi,” bulan lalu. Ia bagian dari kenduri Swarnabhumi 2024, merupakan rangkaian festival budaya di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari. Festival ini memasuki tahun ketiga.
Tahun ini, Kenduri Swarnabhumi mengangkat narasi ”Menemu-kenali Kebudayaan DAS Batanghari” mendorong kemandirian dalam mengangkat kearifan lokal.
Tradisi biduak gedang, ritual yang sarat makna sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan alam yang menjadi sumber kehidupan mereka.
‘Usia padi empat bulan diadakan sedekah sebagai ungkapan syukur atas hasil yang diberikan alam. Doa dipanjatkan dengan harapan agar tanaman padi tetap sehat hingga waktu panen tiba,” kata Sumarni, perempuan dukun padi.
Setiap tahun, perahu besar yang dikenal sebagai biduak gedang melayari sungai yang menghubungkan desa dengan ladang-ladang jauh di pedalaman. Bagi masyarakat sepanjang Batang Tabir, biduak bukan sekadar alat transportasi, melainkan simbol dari hubungan harmonis antara manusia dan alam. Kini, kondisi lingkungan, termasuk DAS Batanghari banyak alami kerusakan,. Hutan tergerus, sungai dangkal bahkan mengering. Tradisi biduak gedang pun terkikis.
Sumarni mengatakan, penghormatan leluhur pada alam terlihat lewat berbagai kearifan lokal. Misal, padi tidak hanya komoditi dan sumber pangan, ada beragam ritual berladang mulai dari mempersiapkan ladang, menanam benih hingga panen. Semua dirayakan dalam budaya.
Saat padi mulai ‘bunting’ di ujung tangkai, para dukun panen mempersiapkan diri untuk tahap selanjutnya. Mereka mengumpulkan tujuh tangkai padi pertama, yang dianggap sebagai simbol keberkahan.
Tangkai-tangkai padi ini diikat dengan tali yang dipenuhi bahan-bahan ritual seperti kemenyan, sabut kelapa, kulit bawang merah, kulit bawang putih, sabut pinang tua, benang wol bekas, dan buah piak dari hutan. Proses ini bagian dari ritual untuk memastikan keselamatan dan keberkahan hasil panen.
Di ladang, balian, atau dukun, upacara pengasapan bilik padi dengan menggunakan tunam, sejenis campuran sabut kelapa dan bawang merah.
Ritual dalam biduak gedang bukan sekadar tindakan. Ia simbol dari keselarasan hidup dengan alam dan kebijaksanaan dalam menghargai setiap proses kehidupan.
Ahmad Mahendra, Direktur Perfilman, Musik, dan Media, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbud Ristek, mengatakan, melalui tradisi biduak gedang , nilai-nilai luhur diwariskan ke generasi sekarang.
“Tradisi biduak gedang sebagai kekayaan dan keragaman budaya, bagaimana nilai gotong royong, saling asih dan kasih sesama manusia, syukur pada Tuhan”
“Bagaimana arif dengan alam sudah dicontohkan sejak dulu oleh nenek moyang. Ini yang sekarang sudah hilang, ingin dihidupkan lagi dalam hati generasi muda,” katanya.
Sri Purnama Syam, Kurator Budaya Lokal, menyebutkan, dengan mengangkat budaya akuatik di tengah masyarakat diharapkan membawa memori masa lalu nilai-nilai luhur masa lampau arif dengan alam.
Kondisi Sungai Batanghari dan anak-anak sungainya saat ini merana,katanya, bisa jadi peringatan. “Ada yang salah dalam pengelolaan alam yang tidak arif. Biduak gedang yang tidak ada lagi di tengah masyarakat , kita hadirkan dalam festival ini untuk mengingatkan bagaimana Sungai Batang Tabir itu megah . Ini juga perayaan bagi para petani mereka pejuang yang menyediakan semua pangan kita,” katanya.
Seharusnya, budaya tak lekang waktu, nilai-niali baik milik nenek moyang seperti kepedulian dengan sesama dan alam harus tetap ada hingga kini. Namun, dia melihat ada pergeseran nilai itu di generasi muda.
“Misal, tradisi beselang, makan besamo dengan dulang, ini nilai kebersamaan, kepedulian dan kepekaan terlihat dalam tradisi. Sekarang itu ditinggalkan, termasuk juga dulu leluhur kita tidak mengenal plastik, mereka membawa makanan dengan pelepah pinang dan untuk air minum biasa disimpan dengan botol labu. Melalui festival ini kita perkenalkan kembali memori kolektif melalui pertunjukkan.”
*******
Festival Budaya Lembah Baliem, dari Bakar Batu sampai Anyam Noken