- Provinsi Sulawesi Selatan memiliki potensi ekonomi biru tertinggi di Indonesia. Sulsel telah merancang strategi jangka panjang yang mengadopsi konsep ekonomi biru
- Baru dua dari 12 sektor ekonomi sumber daya laut yang dimanfaatkan secara maksimal di Indonesia yaitu tambang minyak dan gas serta perikanan tangkap dan budidaya
- Pentingnya kolaborasi pentahelix (akademisi, pemerintah, masyarakat, swasta, media) untuk penguatan ekonomi biru dan konservasi.
- Salah satu penerapan ekonomi biru di Sulsel adalah program Proteksi Gama di Pulau Langkai dan Lanjukang yaitu upaya penguatan ekonomi dan konservasi berbasis masyarakat penangkap gurita
Salah satu tema perikanan dan kelautan yang tengah banyak diperbincangkan saat ini adalah terkait ekonomi biru (blue economy). Kehadiran ekonomi biru sangat relevan dengan kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan. Indonesia memiliki posisi strategis, peluang dan sekaligus tantangan dalam penjabarannya.
“Sulawesi Selatan telah mencanangkan strategi jangka menengah sekaligus jangka panjang yang di mana mengambil sebagian konsep ekonomi biru dalam pertumbuhan ekonomi,” ungkap Muhammad Ilyas, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan, dalam seminar nasional yang dilaksanakan oleh Yayasan Konservasi laut (YKL) Indonesia di Makassar, beberapa waktu lalu.
Ekonomi biru tidak hanya bicara tentang ikan di laut, katanya, namun semua potensi ekonomi di bawah air, apakah itu di air payau ataupun air laut. Ekonomi biru ini memiliki dua kunci, yaitu bagaimana pertumbuhan ekonomi kita manfaatkan seoptimal mungkin dan bagaimana menjaga kelestarian lingkungan.
“Dengan segala potensi laut yang dimilikinya, Sulsel harus berkontribusi terhadap keberlanjutan potensi sumber daya hayati laut dan pertumbuhan ekonomi,” katanya.
Apalagi, menurut data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia (PPN/Bappenas), Sulsel adalah provinsi dengan indikator ekonomi biru tertinggi di Indonesia.
Menurutnya, pengelolaan sumber daya laut dalam rangka penguatan ekonomi biru dan konservasi laut sangat membutuhkan pentahelix, yaitu kolaborasi lima pihak seperti akademisi, pemerintah, masyarakat, pihak swasta, dan media, di mana peran penting untuk penguatan ekonomi biru dan konservasi laut ada di masyarakat.
Baca : Ekonomi Biru di Indonesia: antara Konservasi Laut dan Ekonomi Maritim
Potensi Sektor Perekonomian Laut
Dr. Ridjal Idrus, pakar konservasi laut dari Universitas Hasanuddin Makassar, menyatakan ada tiga krisis besar yang dihadapi dunia saat ini, yaitu perubahan iklim, pencemaran lingkungan dan hilangnya keanekaragaman hayati.
“Keanekaragaman hayati memiliki banyak manfaat yang bisa diambil, yang kemudian dikembangkan oleh pemerintah dengan istilah ekonomi biru, yaitu ekonomi yang memanfaatkan sumber daya laut untuk ekonomi namun tidak melupakan perbaikan kehidupan masyarakat secara sosial sekaligus menjaga kesehatan ekosistem laut,” katanya.
Ia menjelaskan bahwa dari 12 sektor perekonomian yang bisa dikembangkan dengan memanfaatkan sumber daya laut, hanya dua sektor yang dikembangkan di Indonesia, yaitu tambang minyak dan gas serta perikanan tangkap dan budidaya, sementara 10 sektor lainnya belum termanfaatkan secara maksimal.
“Dengan indeks 70, Sulawesi Selatan memiliki indeks blue ekonomi tertinggi di Indonesia maka seharusnya kita bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di laut tetapi tidak merusaknya dan menghasilkan ekonomi besar,” jelasnya.
Salah satu potensi ekonomi sumber laut yang bisa dikembangkan adalah pariwisata. Ridjal mencontohkan keberadaan kawasan Great Barrier Reef, wisata terumbu karang di Australia yang telah menghasilkan devisa Rp700 triliun per tahun.
“Indonesia seharusnya memiliki kekayaan yang lebih besar dari apa yang bisa dimanfaatkan Australia karena Indonesia memiliki spesies karang dan ikan yang jauh lebih banyak dibandingkan Australia. Kita memiliki lebih dari 548 lokasi karang yang lebih baik dari Australia. Namun meskipun cantik, ini merupakan wilayah terancam karena banyaknya sampah di laut, yang 98 persen sampahnya berasal dari darat,” katanya.
Jihad, Biodiversity dan Conservation Senior Officer Burung Indonesia, berbicara tentang konservasi di wilayah laut dan pesisir dan program yang telah dijalankan Burung Indonesia.
Ia menjelaskan arahan strategis konservasi keanekaragaman hayati pesisir dengan mengatasi ancaman terhadap spesies prioritas tinggi atau konservasi jenis, meningkatkan pengelolaan kawasan atau pengelolaan habitat, mendukung pengelolaan sumber daya berkelanjutan atau peningkatan tata kelola sumber daya alam.
“Selain itu adalah memperkuat aksi berbasis masyarakat untuk melindungi spesies dan kawasan laut atau perlindungan berbasis komunitas, melibatkan sektor swasta atau pelibatan sektor swasta, dan mengembangkan kapasitas masyarakat sipil untuk aksi konservasi di Wallacea yang efektif atau peningkatan kapasitas,” katanya.
Terkait berbagai program konservasi yang telah dilakukan Burung Indonesia, hasilnya secara jangka panjang adalah adanya perubahan indeks redlist spesies, penurunan jumlah ancaman terhadap jenis, jumlah hektar key biodiversity area (KBA) yang diperkuat perlindungan dan tata kelolanya meningkat, jumlah hektar area perlindungan yang baru, jumlah peningkatan pendapatan per rumah tangga terkait mekanisme keuangan keberlanjutan, jumlah tapak yang pengelolaannya membaik, jumlah komunitas yang mendapat manfaat langsung.
“Sampai dengan 2023 ada 45 program yang tersebar di seluruh wilayah untuk memperkuat peran masyarakat sebagai aktor konservasi,” tambahnya.
Baca juga : Ekonomi Biru Akan Berjaya pada 2030?
Perlindungan Kawasan melalui Proteksi Gama
Salah satu program konservasi yang dilakukan di Sulsel adalah perbaikan tata kelola melalui program penguatan ekonomi dan konservasi gurita berbasis masyarakat (Proteksi Gama) di Pulau Langkai dan Pulau Lanjukang Makassar, yang dilaksanakan oleh YKL Indonesia atas dukungan Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) dan Burung Indonesia.
Tata kelola wilayah laut berbasis masyarakat dilaksanakan melalui sistem buka tutup sementara selama tiga bulan. Hasilnya, selama 2,5 tahun telah terjadi peningkatan 56,6 persen rata-rata pendapatan rumah tangga. Terkait konservasi, diperoleh hasil terumbu karang di Pulau Langkai dan Pulau Lanjukang mulai pulih kembali.
“Kolaborasi ini sangat didorong kuat dari berbagai pihak seperti masyarakat, pemerintah, perusahaan swasta, akademisi hingga media,” ujar Muhammad Fauzi Rafiq, Koordinator Pemberdayaan dan Advokasi YKL Indonesia.
Menurut Fauzi, program ini juga telah membangun kesadaran nelayan dan masyarakat tentang menjaga lingkungan sekitarnya, di mana mereka mulai terbiasa mendiskusikan masalah yang dihadapi secara bersama-sama dan adanya gerakan untuk melindungi biota dilindungi khususnya penyu.
“Dampak ekonomi yaitu meningkatnya hasil tangkapan dari segi ukuran mendorong penguatan pendapatan rumah tangga nelayan. Sedangkan pada dampak ekosistem terjaganya terumbu karang menciptakan interaksi ekologi yang memberi manfaat langsung. Sistem buka tutup membuat gurita dan ikan kakap-kerapu semakin banyak dan memberikan proses pemulihan bagi ekosistem, menekan tingkat eksploitasi dan ancaman destructive fishing,” pungkasnya. (***)
“Berdansa dengan Laut”, Cerita Keberhasilan Konservasi di Pulau Langkai dan Lanjukang Makassar