- Sektor kelautan dan perikanan (KP) adalah salah satu isu yang belum populer sebelum 20 Oktober 2014. Setelah tanggal tersebut, Joko Widodo dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia ketujuh dan langsung menggagas sektor tersebut sebagai unggulan program kerjanya
- Saat itu, Jokowi menempatkan sektor KP sebagai jagoan untuk program utama Poros Maritim Dunia (PMD). Program tersebut dijadikan jargon utama kepemimpinan selama lima tahun pertama
- Akan tetapi, hingga sepuluh tahun kepemimpinan Joko Widodo yang berakhir pada Oktober 2024 nanti, program PMD dinilai gagal terwujud. Kegagalan tersebut memengaruhi kegagalan menata kembali sektor KP yang di dalamnya ada masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil
- Banyak sebab kenapa PMD dan sektor KP gagal dibangun, salah satunya karena keberpihakan kepada masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil tidak ada. Meskipun, mereka adalah pemeran utama di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
Dua periode sudah Joko Widodo menjadi Presiden Republik Indonesia. Selama periode yang dimulai pada Senin, 20 Oktober 2014 itu, ada banyak catatan yang terekam kuat dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Catatan itu, menguak di ujung kepemimpinannya pada 2024.
Catatan tersebut menjadi kontradiksi dari klaim keberhasilan yang dipublikasikan pada momen perayaan Hari Kemerdekaan ke-79 RI lalu di IKN Nusantara, Kalimantan Timur. Salah satunya, tentang kegagalan poros maritim dunia (PMD) yang dideklarasikan di awal kepemimpinan Joko Widodo.
Kegagalan tersebut tidak disebutkan oleh dia saat membacakan klaim keberhasilan selama sepuluh tahun memimpin Indonesia. Padahal, poros maritim adalah salah satu gagasan utama yang dibawanya saat memulai kepemimpinan.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI Parid Ridwanuddin mempertanyakan kenapa Presiden RI ketujuh itu enggan mengelaborasi isu kelautan dan perikanan pada momen tersebut. Padahal, isu tersebut menjadi salah satu janji kampanye pada pemilihan presiden 2014.
“Masyarakat luas perlu mempertanyakan kenapa Jokowi tidak berani mengangkat janji kampanye pada tahun 2014 megenai poros maritim,” ungkapnya kepada Mongabay belum lama ini.
Bukti bahwa PMD menjadi perhatian di awal masa kepemimpinan Joko Widodo, adalah dibentuknya kementerian khusus yang membawahi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM), Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Kementerian baru itu, adalah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, yang di kemudian hari menjadi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Saat itu, orang yang ditunjuk untuk menempati posisi menteri baru itu adalah Indroyono Soesilo.
Tetapi, seiring berjalannya waktu, agenda PMD yang dijanjikan akan menaungi nelayan sebagai pilar utamanya, justru tidak terwujud. Sebaliknya, kehidupan nelayan semakin sulit akibat pembangunan yang tidak memprioritaskan kepentingan nelayan dan masyarakat pesisir lainnya.
Baca : Apakah Mungkin Indonesia Jadi Negara Maritim, 2045 Nanti?
Ada sepuluh catatan WALHI atas kegagalan Joko Widodo selama satu dekade pada sektor kelautan dan perikanan.
Pertama, tidak ada kebijakan korektif yang memposisikan laut sebagai milik masyarakat pesisir, yaitu nelayan tradisional/nelayan kecil, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, pelestari ekosistem pesisir, dan masyarakat adat pesisir.
Bahkan, selama Jokowi memimpin, Indonesia masih menghadapi kondisi yang sama, di mana laut masih diperlakukan sebagai ruang perebutan antar pihak. Dalam situasi itu, masyarakat pesisir tidak ditempatkan sebagai tuan rumah di lautnya sendiri.
Kedua, selama periode 2014-2024 dipimpin Presiden Joko Widodo, sebanyak 28 provinsi sudah mengesahkan Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K).
Namun, ke-28 perda tersebut ternyata mengalokasikan ruang untuk nelayan masih sangat kecil dengan luas hanya 21.706,02 hektare (ha). Luasan tersebut berbanding terbalik dengan alokasi untuk proyek reklamasi dan pertambangan pasir laut yang ditetapkan seluas 3.590.883,22 ha.
“Pada titik Jokowi terbukti gagal mewujudkan keadilan ruang bagi kehidupan nelayan. Akibatnya, lebih dari tiga juta nelayan terancam hilang akibat ketidakadilan ruang ini,” ungkapnya.
Khusus tentang Perda RZWP3K, Parid memaparkan ada sejumlah persoalan besar yang muncul. Di antaranya, tidak menempatkan masyarakat pesisir sebagai aktor utama pengelola sumber daya kelautan dan perikanan.
Kemudian, alokasi ruang hidup masyarakat pesisir sangat kecil dibandingkan dengan alokasi ruang untuk kepentingan pelabuhan, industri, reklamasi, pertambangan, pariwisata, konservasi, dan proyek lainnya. Penyusunan peraturan zonasi hanya memberikan kepastian hukum untuk kepentingan pebisnis.
Lalu, peraturan zonasi tidak mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem laut, karena semakin banyak proyek tambang yang diakomodir oleh Pemerintah. Terakhir, mencampuradukkan kawasan tangkap nelayan tradisional dengan kawasan pemanfaatan umum lainnya.
“Hal ini meningkatkan risiko kapal nelayan ditabrak kapal-kapal besar,” terangnya.
Baca juga : Ruang Hidup Masyarakat Pesisir Dirampas oleh Perda RZWP3K?
Ketiga, selama sepuluh tahun Joko Widodo memimpin Indonesia, adalah semakin luasnya proyek pertambangan di wilayah pesisir dan laut. Berdasarkan data WALHI, selama sepuluh tahun sudah diterbitkan sebanyak 1.405 izin usaha pertambangan (IUP) di pesisir dengan luas 2.919.870,93 ha.
Sementara, pada periode yang sama juga diterbitkan 324 IUP di wilayah laut dengan luas total mencapai 687.909,01 ha. Kedua perizinan tersebut berdampak luas pada 35 ribu keluarga nelayan yang mendiami wilayah pesisir dan laut.
Mereka terdampak karena tanah dan laut di sekitar lokasi pertambangan menjadi tercemar. Itu berarti, pemberian IUP akan berdampak dalam jangka panjang, karena bisa menghancurkan kemampuan adaptasi nelayan menghadapi krisis iklim.
Keempat, tidak ada kebijakan apapun dari pemerintah berkaitan dengan bencana akibat cuaca ekstrem di laut yang menyebabkan nelayan meninggal dunia. Kejadian tersebut sudah muncul sejak satu sepuluh tahun, dengan rerata nelayan meninggal sebanyak 100 orang setiap tahun.
Parid kemudian mencontohkan, pada 2016 tercatat sebanyak 145 orang nelayan meninggal dunia karena cuaca ekstrem di laut, dan menjadi 251 orang pada 2020. WALHI terus bekerja keras untuk mengolah data nelayan meninggal dunia dari 2021 sampai 2023.
Kelima, Pemerintahan Joko Widodo selama sepuluh tahun telah memicu banyak konflik yang terjadi di wilayah pesisir dan laut, dan harus dihadapi oleh masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Mereka berkonflik, karena berhadapan dengan proyek skala besar, terutama proyek strategis nasional (PSN), pertambangan dan pariwisata.
Salah satu contohnya terjadi di pulau Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Penduduk pulau yang jumlahnya lebih dari 7.500 jiwa itu dipaksa melakukan perlawanan karena mereka akan digusur untuk kepentingan PSN bernama Eco City.
Pun demikian dialami oleh warga di pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Provinsi Sulawesi Tenggara. Mereka yang berjumla 38.839 orang itu harus berhadapan dengan proyek pertambangan nikel.
Baca juga : Nasib Abu-abu Nelayan Tradisional dan Kecil
Keenam, sumber daya ikan terus mengalami eksploitasi dalam sepuluh tahun terakhir melalui penetapan status pemanfaatan sumber daya ikan (SDI), yaitu Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 50 tahun 2017 dan Kepmen KP Nomor 59 Tahun 2022.
“Keduanya menggambarkan status pemanfaatan sumber daya ikan Indonesia berada situasi berbahaya, di mana statusnya telah fully exploited dan over exploited,” tegasnya.
Tetapi, saat kondisi SDI sedang dalam bahaya, dia menyebut kalau Pemerintah Indonesia justru menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur. Aturan tersebut diyakini akan mendorong eksploitasi sumber daya ikan semakin kuat, karena korporasi besar diberi keleluasan untuk mengeruk SDI di lautan Indonesia.
Ketujuh, agenda rehabilitasi mangrove yang ditargetkan 600 ribu hektar tidak mencapai target, dan bahkan capaiannya tidak sampai 50 persen atau hanya seluas 130 ribu ha saja. Kegagalan tersebut sering ditutupi oleh Joko Widodo dengan diplomasi mangrove kepada berbagai kepala negara.
Kedelapan, tidak ada perbaikan kualitas hidup pada nelayan wilayah perbatasan seperti di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Mereka merdeka di darat, tetapi tidak di laut, karena setiap hari harus berhadapan dengan kapal-kapal ikan asing, terutama berbendera Cina dan Vietnam.
Dia menegaskan bahwa jargon keamanan maritim tidak pernah terwujud, karena delapan nelayan Natuna harus ditahan selama lima bulan oleh polisi Malaysia karena diklaim memasuki perairan Malaysia. Padahal terbukti mereka tidak bersalah.
“Nelayan di Natuna sebagai wilayah terdepan, terusir dari lautnya sendiri dan harus terus berhadapan dengan kekuatan kapal negara lain,” tuturnya.
Kesembilan, selama sepuluh tahun, banyak peraturan perundangan bermasalah yang diproduksi oleh Jokowi dan menterinya yang memicu perampasan ruang laut. Terdapat sepuluh peraturan yang dinilai bisa memicu terjadinya perampasan ruang laut.
Baca juga : Mengurai Konflik Pemanfaatan Ruang Laut dan Pesisir
Perampasan Ruang Laut
Pertama, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. UU tersebut mengatur bidang kelautan dan perikanan dan telah mengubah esensi dari izin lingkungan menjadi persetujuan lingkungan. UU tersebut juga menyederhanakan perizinan yang dikhawatirkan akan mendorong ekspansi usaha besar-besaran pada wilayah pesisir dan ruang laut.
Kedua, PP Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan. Peraturan tersebut diwaspadai, karena ada perubahan zona inti di kawasan konservasi menjadi kawasan Strategi Nasional (Pasal 2 sampai Pasal 7).
Lalu, peraturan juga membolehkan penggunaan alat penangkapan ikan (API) yang dilarang seperti jaring hela (pukat hela) (Pasal 116) yang sebelumnya dilarang. Juga, membolehkan kegiatan alih muat kapal atau transhipment (Pasal 115b, 118).
Peraturan berikutnya, adalah PP No.18/2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Menurut WALHI, peraturan tersebut berpotensi menciptakan okupansi dan perampasan pulau-pulau kecil oleh korporasi domestik maupun asing, termasuk okupasi di wilayah pesisir.
Berikutnya adalah PP No.43/2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak atas Tanah. Aturan tersebut mengizinkan pemanfaatan ruang laut dan reklamasi, dan WALHI menyebutnya itu sebagai neo hak pengusahaan perairan pesisir.
Kemudian, Permen KP No.53/2020 tentang Perubahan atas Permen KP No.8/2019 tentang Penatausahaan Izin Pemanfaatan Pulau Kecil dengan Perairan di sekitarnya dalam rangka Penanaman Modal Asing dan rekomendasi Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dengan luas di bawah 100 kilometer persegi (km2).
“Memberikan karpet merah ke pihak asing untuk mengelola dan menguasai pulau-pulau kecil,” terangnya.
Baca juga : Ingin Berdaulat di Laut, Indonesia Perlu Menjaga Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dari Pertambangan
Selanjutnya, adalah PP No.11 tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur, yang dinilai sudah memberikan karpet merah bagi kapal-kapal asing untuk mengeruk SDI di perairan Indonesia, dan sekaligus meminggirkan nelayan skala kecil dan atau nelayan tradisional, serta memaksa mereka bersaing denga kapal-kapal besar.
Ketujuh, adalah PP No.23 tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, yang dinilai sudah memberikan karpet merah kepada perusahaan untuk mengeruk pasir laut, dan sekaligus menghancurkan pesisir laut dan pulau kecil.
Kedelapan, Permen KP No.58/2020 tentang Usaha Perikanan Tangkap, yang membolehkan alih muatan ikan di tengah laut (transshipment). Kesembilan, Permen KP No.59/2020 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Alat Penangkapan Ikan di WPP-NRI dan Laut Lepas, memberikan legalisasi API cantrang dan trawl.
Terakhir, Permen KP No.12/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.), lalu direvisi menjadi Permen KP No.17/2021 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia.
Menurut Parid, aturan tersebut membuka keran ekspor benih bening loster (BBL), memicu dampak terjadinya monopoli dan kargo ekspor, serta akan memicu munculnya kasus yang berkaitan dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Catatan kesepuluh Walhi, dalam sepuluh tahun kepemimimpinan Joko Widodo, adalah nasib nelayan semakin terpuruk dan miskin dikarenakan terdampak krisis iklim, serta oleh pembangunan yang tidak berpihak kepada mereka.
Pada 2022, jumlah penduduk miskin di wilayah pesisir Indonesia sudah mencapai 17,74 juta jiwa. Sebanyak 3,9 juta jiwa di antaranya masuk kategori miskin ekstrem. Itu artinya, kemiskinan wilayah pesisir menyumbang 68 persen dari total angka kemiskinan di Indonesia.
Akibat dampak buruk krisis iklim dan pembangunan yang tidak berpihak pada nelayan, pada 2030 nanti, hampir satu juta nelayan di Indonesia diprediksi akan hilang. Ini merupakan angka kehilangan yang sangat besar bagi negara kepulauan terbesar seperti Indonesia.
Baca juga : Nasib Nelayan Indonesia ditengah Jepitan Krisis Iklim dan Industri Ekstraktif
Kebijakan Merugikan Masyarakat Pesisir
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati menyebut kalau sepuluh tahun terakhir adalah momen terjadinya perubahan isu yang signifikan, khususnya kedaulatan dan kesejahteraan masyarakat di pesisir dan pulau-pulau kecil.
“Banyak sekali kebijakan yang dibuat dan merugikan masyarakat pesisir dan pulau pulau kecil. Kondisi itu diperburuk dengan diterbitkannya UU Cipta Kerja, yang dampaknya juga dirasakan nelayan,” ungkapnya kepada Mongabay.
Dia mengatakan kalau sampai sekarang masih banyak kasus penjualan dan privatisasi pulau, yang kemudian negara abai dan tidak mengambil peran yang cukup tangguh untuk masyarakat. Justru, mereka melaksanakan liberalisasi ruang sebagai lahan penanaman modal asing, dengan konsep izin ruang.
Pada forum internasional, pemerintah juga selalu menyerukan komitmen untuk mengurangi permasalahan iklim. Tetapi pada saat bersamaan, izin tambang justru dikeluarkan berkali-kali. Cara tersebut menjadi kamuflase, karena menambang adalah sama dengan merusak alam.
Menurutnya, menyikapi krisis iklim yang terjadi sekarang, pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan mendorong energi terbarukan. Padahal, dalam penggunaannya energi terbarukan akan memerlukan nikel dengan jumlah yang banyak.
“Jadi energi terbarukan dengan merusak ruang hidup lain. Menyelesaikan krisis iklim harus dilakukan dengan cara holistik, melibatkan banyak pihak, dan komitmen tinggi,” pungkasnya. (***)